![niat pengaruh sahnya amal niat pengaruh sahnya amal](https://kuncikebaikan.com/wp-content/uploads/2025/02/niat-pengaruh-sahnya-amal-678x381.png)
Niat Berpengaruh Pada Sahnya Amal – Seseorang muslim hendaknya memperhatikan niat dalam segala hal, baik dalam berwudhu, mandi janabah, shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Karena niat sangatlah penting dan bisa berpengaruh dalam keabsahan ibadah. seperti seseorang melaksanakan shalat dzuhur, maka tidak sah shalatnya jika diniatkan shalat maghrib, begitu pula dalam berpuasa maka harus ditentukan dalam niat apakah puasa wajib ataukah sunnah, begitu pula dalam ibadah lainnya. Maka dari itu, kami akan membahas seputar niat agar tidak salah dalam menghukumi niat.
Dalam hadits disebutkan, Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khaththab rodhiyallahu ‘anhu dia berkata: ”Aku telah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها إو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Artinya: “Sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, mka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”. (HR. al-Bukhori. kitab Bad’ul Wahyi, bab: kaifa Bad-ul wahyi ilaa Rasuulillahi shallahu ‘alahi Wasallam (no.1), Muslim, kitab al-Imaarah, bab: Qauluhu shallahu ‘alaissalam innamal A’maalu binniyyah wa annahu yakhdhu al-Ghazwa wa Ghairibi minal A’maali, (no.1907(155)).
Perkataan ‘Umar: “Aku telah mendengar” merupakan dalil (tanda) bahwasannya beliau mendengar langsung dari beliau Shallahu ‘alahissalam tanpa adanya perantara. Yang sungguh mengherankan bahwa hadist yang sangat penting ini tidak ada sahabat yang lain yang meriwayatkannya kecuali ‘Umar meskipun pentingnya perkara ini didukung oleh ayat dan hadist yang banyak. Dalam al-Qur’an seperti firman Allah Ta’ala:
وما تنفقون إلا ابتغاء وجه الله
Artinya: ‘’Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah Ta’ala (QS. Al-Baqoroh: 272)
Ayat diatas menunjukkan adanya niat. Adapun dalam hadist, seperti sabda beliau kepada Sa’ad bin Abi Waqqash:
واعلم أنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت عليها حتى ما تجعله في في امرأتك
Artinya: “Dan ketahuilah tidaklah nafkah yang engakau berikan kepada keluargamu dengan mengikhlaskan diri mengharap wajah-Nya, melainkan Allah akan membalas mu atasnya, sampai-sampai sesuatu yang engaku letakkan pada mulut istrimu.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Sabda nabi shallahu’alahissalam ”Engkau berharap dengan wajah Allah ini menunjukkan adanya niat.
Pengertian Niat:
Niat secara bahasa adalah maksud atau tujuan.
Adapun secara istilah syar’i artinya; kuatnya hati untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tempat munculnya niat adalah hati, dan niaat pada dasarnya adalah perbuatan hati yang tidak ada kaitannya dengan amalan anggota tubuh lainnya (seperti mulut).
Tujuan adanya niat dalam suatu ibadah adalah untuk menjadi pembeda antara suatu perbuatan yang hanya merupakan alat kebisaan (yang tidak bernilai pahala dengan suatu amal ibadah (yang bernilai pahala). Tujuan lainnya adalah untuk menjadi pembeda antara ibadah yang satu dengan lainnya.
Niat sebagai pembeda antara amal kebiasaan dengan amal ibadah, misalnya:
Pertama: Seseorang makan sesuatu dengan dorongan keinginan saja, sementara teman yang satunya makan makanan dalam rangka melaksanakan perintah Allah dalam salah satu firman-Nya, bunyinya adalah : كلوا واشربوا yang artinya: “Makanlah dan minumlah” (QS. Al-A’raf: 31), maka kesimpulannya, orang kedua sedang melakukan ibadah (yang dibalas dengan pahala), sedangkan pertama sedang melakukan sesuatu kebiasaan, yang tidak mendatangkan pahala.
Kedua: Seorang mandi karena ingin kesegaran tubuh, sementara yang lain mandi dengan niat mandi junub. Maka orang yang pertama sebatas melakukan mandi sebagai kebiasaan, adapun orang yang kedua sedang beribadah. Oleh karenanya, bila seseorang yang sedang sedang dalam keadaan junub. Lalu ia mandi dengan dengan niat untuk mendinginkan badannya saja kemudian shalat, maka hal itu tidak sah, sebab mandinya tidak dibarengi dengan niat. Dengan kata lain, ia tidak berniat untuk ibadah, tetapi hanya untuk mendinginkan badannya saja.
Oleh karena itu kita dapatkan ungkapan sebagian ulama’: Ibadahnya orang-orang lalai menjadi adat kebiasaan, dan adat kebiasaan orang yang istiqamah dan hadir hati (niat)nya itu menjadi ibadah. Ibadah orang lalai akan menjadi adat saja, seperti seseorang yang bangun dari tidur, kemudian berwudhu, lalu shalat. Dan lakukan itu semua tanpa kehadiran dalam hati bahwa dirinya sedang melakukan ketaatan. Sebaliknya kebiasaan orang yang istiqamah menjadi ibadah. Seperti seorang yang makan dengan menghadirkan niat dalam hati bahwa dirinya sedang melakukan perintah Allah, supaya dengan makannya ia menjadi sehat, juga ingin supaya kehormatannya terjaga dari manusia. Inilah yang menjadikannya bernilai ibadah. Contoh lain, seseorang yang memakai baju baru dengan niat ingin berlaku sombong dengan baju nya, ini jelas tidak bermanfaat, sementara yang lain dia memakai baju baru dengan niat supaya orang lain mengetahui bahwa dirinya telah diberikan kenikmatan oleh Allah, maka padanya diberikan pahala selama tidak sombong dan ria dan orang berikutnya memakai pakaian yang paling bagus yang ia miliki untuk menghormati hari jum’at dan mengikuti contoh Rasulullah, maka ia melakukan suatu ibadah.
Adapun contoh dari fungsi niat sebagai pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya, adalah: seseorang shalat dua rakaat dengan niat shalat sunnah, sementara yang lain shalat dengan rakaat yang sama dengan niat shalat wajib. Secara zhahir dua mal ini sama, hanya saja dibedakan dengan niat. Jadi, maksud dari adanya niat adalah untuk membedakan suatu ibadah dengan ibadah yang lain seperti yang wajib dengan yang sunnah, atau membedakan antara amalan ibadah dengan amalan kebiasaan.
NIAT ITU, APAKAH ADA DI MULUT/LISAN ATAUKAH DI HATI?
Ketahuilah bahwa tempatnya (muncul) niat adalah hati, sama sekali tidak membutuhkan pengucapan, karena kita semua beribadah kepada Dzat yang Maha Mengetahui apa yang nampak maupun yang bathin. Allah Ta’ala mengetahui semua yang terlintas di hati manusia.Anda tidak sedangmenghadap sesuatu yang tidak mendengar sehingga membutuhkan pemberitahuan bahwa Anda akan melakukan suatu peribadatan, akan tetapi sungguh Anda akan menghadap Dzat yang mengetahui apa yang dibisikkan hati Anda untuk Anda. Dia-lah yang Maha mengetahui semua hal tentang perbuatan Anda di masa dahulu maupun sekarang. Hal ini yang perlu dicamkan baik-baik tentang perkara pengucapan niat ini, bahwa hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallahu ’alahi Wasallam (pembawa ajaran islam), maupun juga oleh para sahabat beliau rodiyallahu ‘anhum. Oleh kareana itu pengucapan niat ini termasuk perbuatan bid’ah (yang diada-adakan dalam agama) dan dilarang untuk dilakukan baik secara sir ( dipelankan) maupun secara jahr (dikeraskan). Sungguh salah, pendapat sebagian ulama yang mengatakan: Niat boleh diucapkan secara terang-terangan, sebagian yang lain membolehkannya dengan dipelankan, mereka beralasan agar terjadi kesesuian antara perbuatan hati dan lisan.
(Komentar beliau): Ya, Subhanallah, jadi dimanakah posisi Rasulullah shallahu ‘alahis salam dari urusan ini? Jika hal ini betul-betul syari’atnya, maka tentunya beliaulah yang pertama kali mengamalkannya dan menjelaskannya kepada manusia . [Ada satu kisah unik, seseorang bercerita bahwa ada seorang awam diantara penduduk Mekah sedang sholat dimasjidil Haram yang kebetulan bersebelahan dengan orang yang sholat dengan mengeraskan niatnya, seraya berkata: “ Saya berniat empat rakaat karena Allah Ta’ala dibelakang masjidil Haram”. Tatkala akan mengangkat tangannya untuk takbiratul ihram, orang Mekah ini bilang: ‘’ Tunggu, tunggu! Sabar dulu! Kamu belum menyebutkan harinya, tanggalnya, bulannya, dan tahunnya .”
Tentu orang yang berniat dengan keras ini kebingungan.
Semoga dengan penjelasan artikel di atas kita memahami hakikat niat yang sesungguhnya. Kemudian mengetahui dimana meletakkan niat yang sebenarnya. Waalllahu’alam bis-showwab…
Referensi:
Syarah Hadist Arbai’in karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin .
Diringkas oleh : Nensi Lestari (pengajar ponpes Darul Qur’an wal Hadist OKU Timur)
BACA JUGA :
Leave a Reply