Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Musibah Adalah Tanda Cinta

Dua hal yang sangat akrab dalam kehidupan kita ialah nikmat dan musibah. Betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sehingga terkadang kita sering tidak bisa merasakan kehadirannya kecuali saat posisinya telah digantikan oleh musibah. Betapa sering kita lalai terhadap nikmat Allah sehingga Allah menegur kita dengan musibah.

Setiap manusia di dunia ini pasti pernah melewati masa-masa ujian dari Allah subhanahu wa ta’ala, beragam ujian yang dialami manusia di dunia menjadi sarana yang membuktikan sejauh mana kesabaran, kerelaan dan penerimaannya terhadap ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk/67: 2)

Nilai dan derajat yang membedakan seseorang yang tertimpa musibah terletak pada bagaimana ia menyikapinya. Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kondisi seseorang yang tertimpa musibah yang tidak mungkin dihindari kejadiannya seperti wafat seorang anak, sakit, kehilangan harta dan seterusnya- terbagi kepada empat tingkatan:

  1. Tingkatan lemah

Maksudnya tidak menerima kondisi sambil diiringi rasa kesal. Kondisi manusia pada tingkat ini dicirikan dengan rasa kesal kepada Allah. Kesal dengan beragam bentuknya, baik sekedar di hati ataupun dengan lisan dan perbuatan. Maka pada tingkatan ini berarti seseorang tertimpa dua bentuk musibah sekaligus; musibah urusan dunianya, dan musibah dalam urusan agamanya lantaran sikap buruk menghadapi musibah.

  1. Tingkatan Sabar

Pada tingkatan ini, seseorang tidak menyukai musibah yang melandanya. Namun ia bersabar dan mampu menahan gejolak jiwanya dari melakukan hal yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala.

  1. Tingkatan ridha

Pada tingkatan ini seseorang ridha dengan musibah yang menimpanya. Menerima dengan lapang dada dan penuh kerelaan. Dalam kondisi seakan-akan seseorang tidak sedang tertimpa musibah apapun.

  1. Tingkatan syukur

Ketika mendapati apa yang tidak disukainya, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam berkata: “Segala puji bagi Allah pada setiap kondisi”. (HR. Ibnu Majah). Syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang terucap, lantaran pahala dan keutamaan yang dijanjikan oleh-Nya bisa jadi lebih besar dan tidak sebanding dengan derita yang menimpa.

Bila kita berbicara tentang musibah, tentu tak seorang pun di antara kita yang mau ditimpanya, apalagi mengharapkan. Memang musibah identik dengan hal yang menyengsarakan, sehingga wajar bila tidak ada yang suka. Selain itu, akibat dari musibah adalah penderitaan, sementara tidak ada yang mau hidupnya menderita. Musibah dan akibatnya ada berbagai bentuk. Ada musibah yang mengakibatkan terancamnya keamanan dan kesejahteraan, ada yang memunculkan krisis ekonomi sampai bencana kelaparan, ada yang mengakibatkan rusaknya harta benda bahkan sampai melenyapkan seluruhnya, ada yang menimbulkan kematian massal, bahkan sampai membinasakan suatu negeri beserta bangsanya, dan sebagainya.

Kita yakin bahwa semua kejadian telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan dengan takdir-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah penentu dan penciptanya. Namun perlu dipahami bahwa takdir Allah terjadi dengan sebab-sebab yang Dia kehendaki. Banyak perkara yang menjadi ditimpakannya musibah, seperti kezaliman para penguasa, orang kaya, para tokoh masyarakat juga termasuk kezaliman seluruh masyarakatnya. Terbukti, tidak sedikit musibah yang Allah timpakan kepada umat-umat terdahulu karena berbagai kezaliman mereka. Salah satunya sebagaimana yang Allah telah sebutkan dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS. al-Israa’/17:16)

Mereka durhaka kepada Allah dengan kukuasaan da kekayaan mereka. Mereka sombong dengan merendahkan orang lain dan menolak nasihat kebenaran. Allah menyebutkan ungkapan kesombongan mereka di dalam firman-Nya:

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ

Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab (QS. Saba’/34: 35).

Mereka menyangka dan meyakini bahwa kenikmatan besar yang mereka dapat di dunia menunjukkan bahwa mereka dikasihi Rabbul ‘alamin dan tidak akan diazab di akhirat. Padahal Allah tidak meyukai kekufuran dan kezaliman. Berbuat zalim itu banyak sikap dan bentuknya, berupa mendustakan utusan Allah, menghina dan melecehkan mereka, berbuat dosa dan maksiat, dan termasuk merasa aman dari azab Allah.

Allah tidaklah melakukan sesuatu melainkan dengan hikmah ketuhanan yang tinggi. Demikian juga di balik musibah yang menimpa pun ada hikmah yang baik yang dikehendaki-Nya. Hikmah itu sebagiannya dapat dijangkau oleh pikiran manusia dan sebagian yang lain tidak, karena sebagian hikmah itu hanya ada dalam ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Musibah bagi seorang yang beriman merupakan kejadian atas kehendak dan takdir Allah. Lain bagi orang kafir, musibah bagi mereka semata-mata bencana yang merusak alam dan merugikan kehidupan mereka. Kalau kita pelajari al-Qur’an, kita akan dapati berbagai hikmah di balik musibah., antara lain:

  1. Sebagai pelajaran dan nasihat

Musibah yang didapati di sekitar kehidupan seorang yang tidak beriman maupun yang beriman merupakan pelajaran dan nasihat agar mereka yang kafir kembali menuju iman dan khusus bagi yang beriman serta masih menggeluti dosa agar segera ingat dan bertaubat kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat). (QS. al-Ahqaaf/46:27)

  1. Penghapus dosa-dosa

Hikmah ini khusus bagi orang yang beriman dan tidak ada seorang mukmin yang tidak pernah ditimpa musibah, sekecil apapun wujudnya. Karena tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan musibah kepada hamba-Nya yang beriman melainkan untuk menghapus dosa-dosanya. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَاللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah menimpa seorang muslim pun sebuah keletihan, tidak pila kesakitan, tidak pula kedukaan, kesedihan, kepedihan, atau kepiluan, sampai sebuah duri yang menusuk pun melainkan Allah akan hapuskan dengannya sebagai dosa-dosanya. (HR. al-Bukhari: 5318 dan Muslim: 2572, dan ini lafazh al-Bukhari)

  1. Sarana memperbanyak pahala

Di saat seorang mukmin mengetahui bahwa musibah itu dari Allah sebagai ujian dan sebagai penghapus dosa maka ia dengan mudah tabah, sabar dan bahkan bersyukur kepada Allah atas musibahnya. Dengan sikap baiknya tersebut seorang mukmin bisa memeperbanyak pahala. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

عَجِبْتُ مِنْ قَضَاءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ رَبَّهُ وَشَكَرَ وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيْبَةٌ احْتَسَبَ وَصَبَرَ الْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِى كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى فِى اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِى امْرَاَتِهِ

Saya heran terhadap ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala atas seorang mukmin, jika dia mendapatkan kebaikan dia memuji Rabbnya dan bersyukur, dan jika ditimpa kemalangan ia berharap pahala (kepada Rabbnya) dan bersabar. Seorang mukmin akan diberi pahala atas seluruh (urusan)nya, sampai sesuap makanan yang dia angkat ke mulut istrinya (pun berpahala). (HR. ahmad: 1575 dihasankan oleh Syaikh Syua’ib al-Arnauth)

  1. Sarana mendapat ampunan, kesejahteraan dan hidayah

Bagi seorang beriman yang sabar menghadapi musibah, tabah dan berharap pahala dari Allah maka akan diberikan baginya shalawat (ampunan atas dosa-dosa), rahmat dan hidayah hidup menuju dunia akhirat yang sejahtera. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasan seperti itu di dalam surat al-Baqarah:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿۱۵۵﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿۱۵۶﴾ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ﴿۱۵۷﴾

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah/2: 155-157)

Dengan mengetahui berbagai hikmah yang baik di balik musibah, seorang mukmin akan menyikapi musibah dengan sikap yang paling baik pula. Maka sikap seorang mukmin menghadapi musibah pun terwujud dalam bentuk ketegaran, diantanya:

  1. Seorang mukmin akan mengembalikan musibah kepada Allah

Dengan prinsip inilah seorang mukmin mampu tegar dan tetap istiqomah di atas imannya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Louh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. al-Hadiid/57: 22)

  1. Menuju muhasabah (introspeksi diri)

Tidak mudah bagi seseorang untuk melihat kesalahannya sendiri. Namun bagi orang beriman, musibah merupakan salah satu perkara yang mengantarkannya menuju muhasabah. Sehingga dia akan tahu bahwa Allah mendatangkan musibah semata-mata karena kesalahan dan dosanya, bukan karena kezaliman-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ucapan Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya, Hawa radhiallahu ‘anhu yang beriman:

قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. al-A’raaf/7: 23)

  1. Bertaubat dan beristighfar kepada Allah

Dengan kerendahan dirinya di hadapan Allah, yang senantiasa didurhakai dengan berbagai maksiat dan doDua hal yang sangat akrab dalam kehidupan kita ialah nikmat dan musibah. Betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sehingga terkadang kita sering tidak bisa merasakan kehadirannya kecuali saat posisinya telah digantikan oleh musibah. Betapa sering kita lalai terhadap nikmat Allah sehingga Allah menegur kita dengan musibah.

Setiap manusia di dunia ini pasti pernah melewati masa-masa ujian dari Allah subhanahu wa ta’ala, beragam ujian yang dialami manusia di dunia menjadi sarana yang membuktikan sejauh mana kesabaran, kerelaan dan penerimaannya terhadap ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. al-Mulk/67: 2)

Nilai dan derajat yang membedakan seseorang yang tertimpa musibah terletak pada bagaimana ia menyikapinya. Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kondisi seseorang yang tertimpa musibah yang tidak mungkin dihindari kejadiannya seperti wafat seorang anak, sakit, kehilangan harta dan seterusnya- terbagi kepada empat tingkatan:

  1. Tingkatan lemah

Maksudnya tidak menerima kondisi sambil diiringi rasa kesal. Kondisi manusia pada tingkat ini dicirikan dengan rasa kesal kepada Allah. Kesal dengan beragam bentuknya, baik sekedar di hati ataupun dengan lisan dan perbuatan. Maka pada tingkatan ini berarti seseorang tertimpa dua bentuk musibah sekaligus; musibah urusan dunianya, dan musibah dalam urusan agamanya lantaran sikap buruk menghadapi musibah.

  1. Tingkatan Sabar

Pada tingkatan ini, seseorang tidak menyukai musibah yang melandanya. Namun ia bersabar dan mampu menahan gejolak jiwanya dari melakukan hal yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala.

  1. Tingkatan ridha

Pada tingkatan ini seseorang ridha dengan musibah yang menimpanya. Menerima dengan lapang dada dan penuh kerelaan. Dalam kondisi seakan-akan seseorang tidak sedang tertimpa musibah apapun.

  1. Tingkatan syukur

Ketika mendapati apa yang tidak disukainya, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam berkata: “Segala puji bagi Allah pada setiap kondisi”. (HR. Ibnu Majah). Syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang terucap, lantaran pahala dan keutamaan yang dijanjikan oleh-Nya bisa jadi lebih besar dan tidak sebanding dengan derita yang menimpa.

Bila kita berbicara tentang musibah, tentu tak seorang pun di antara kita yang mau ditimpanya, apalagi mengharapkan. Memang musibah identik dengan hal yang menyengsarakan, sehingga wajar bila tidak ada yang suka. Selain itu, akibat dari musibah adalah penderitaan, sementara tidak ada yang mau hidupnya menderita. Musibah dan akibatnya ada berbagai bentuk. Ada musibah yang mengakibatkan terancamnya keamanan dan kesejahteraan, ada yang memunculkan krisis ekonomi sampai bencana kelaparan, ada yang mengakibatkan rusaknya harta benda bahkan sampai melenyapkan seluruhnya, ada yang menimbulkan kematian massal, bahkan sampai membinasakan suatu negeri beserta bangsanya, dan sebagainya.

Kita yakin bahwa semua kejadian telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan dengan takdir-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah penentu dan penciptanya. Namun perlu dipahami bahwa takdir Allah terjadi dengan sebab-sebab yang Dia kehendaki. Banyak perkara yang menjadi ditimpakannya musibah, seperti kezaliman para penguasa, orang kaya, para tokoh masyarakat juga termasuk kezaliman seluruh masyarakatnya. Terbukti, tidak sedikit musibah yang Allah timpakan kepada umat-umat terdahulu karena berbagai kezaliman mereka. Salah satunya sebagaimana yang Allah telah sebutkan dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS. al-Israa’/17:16)

Mereka durhaka kepada Allah dengan kukuasaan da kekayaan mereka. Mereka sombong dengan merendahkan orang lain dan menolak nasihat kebenaran. Allah menyebutkan ungkapan kesombongan mereka di dalam firman-Nya:

وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ

Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab (QS. Saba’/34: 35).

Mereka menyangka dan meyakini bahwa kenikmatan besar yang mereka dapat di dunia menunjukkan bahwa mereka dikasihi Rabbul ‘alamin dan tidak akan diazab di akhirat. Padahal Allah tidak meyukai kekufuran dan kezaliman. Berbuat zalim itu banyak sikap dan bentuknya, berupa mendustakan utusan Allah, menghina dan melecehkan mereka, berbuat dosa dan maksiat, dan termasuk merasa aman dari azab Allah.

Allah tidaklah melakukan sesuatu melainkan dengan hikmah ketuhanan yang tinggi. Demikian juga di balik musibah yang menimpa pun ada hikmah yang baik yang dikehendaki-Nya. Hikmah itu sebagiannya dapat dijangkau oleh pikiran manusia dan sebagian yang lain tidak, karena sebagian hikmah itu hanya ada dalam ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Musibah bagi seorang yang beriman merupakan kejadian atas kehendak dan takdir Allah. Lain bagi orang kafir, musibah bagi mereka semata-mata bencana yang merusak alam dan merugikan kehidupan mereka. Kalau kita pelajari al-Qur’an, kita akan dapati berbagai hikmah di balik musibah., antara lain:

  1. Sebagai pelajaran dan nasihat

Musibah yang didapati di sekitar kehidupan seorang yang tidak beriman maupun yang beriman merupakan pelajaran dan nasihat agar mereka yang kafir kembali menuju iman dan khusus bagi yang beriman serta masih menggeluti dosa agar segera ingat dan bertaubat kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat). (QS. al-Ahqaaf/46:27)

  1. Penghapus dosa-dosa

Hikmah ini khusus bagi orang yang beriman dan tidak ada seorang mukmin yang tidak pernah ditimpa musibah, sekecil apapun wujudnya. Karena tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan musibah kepada hamba-Nya yang beriman melainkan untuk menghapus dosa-dosanya. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَاللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah menimpa seorang muslim pun sebuah keletihan, tidak pila kesakitan, tidak pula kedukaan, kesedihan, kepedihan, atau kepiluan, sampai sebuah duri yang menusuk pun melainkan Allah akan hapuskan dengannya sebagai dosa-dosanya. (HR. al-Bukhari: 5318 dan Muslim: 2572, dan ini lafazh al-Bukhari)

  1. Sarana memperbanyak pahala

Di saat seorang mukmin mengetahui bahwa musibah itu dari Allah sebagai ujian dan sebagai penghapus dosa maka ia dengan mudah tabah, sabar dan bahkan bersyukur kepada Allah atas musibahnya. Dengan sikap baiknya tersebut seorang mukmin bisa memeperbanyak pahala. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

عَجِبْتُ مِنْ قَضَاءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ رَبَّهُ وَشَكَرَ وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيْبَةٌ احْتَسَبَ وَصَبَرَ الْمُؤْمِنُ يُؤْجَرُ فِى كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى فِى اللُّقْمَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى فِى امْرَاَتِهِ

Saya heran terhadap ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala atas seorang mukmin, jika dia mendapatkan kebaikan dia memuji Rabbnya dan bersyukur, dan jika ditimpa kemalangan ia berharap pahala (kepada Rabbnya) dan bersabar. Seorang mukmin akan diberi pahala atas seluruh (urusan)nya, sampai sesuap makanan yang dia angkat ke mulut istrinya (pun berpahala). (HR. ahmad: 1575 dihasankan oleh Syaikh Syua’ib al-Arnauth)

  1. Sarana mendapat ampunan, kesejahteraan dan hidayah

Bagi seorang beriman yang sabar menghadapi musibah, tabah dan berharap pahala dari Allah maka akan diberikan baginya shalawat (ampunan atas dosa-dosa), rahmat dan hidayah hidup menuju dunia akhirat yang sejahtera. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasan seperti itu di dalam surat al-Baqarah

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿۱۵۵﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿۱۵۶﴾ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ﴿۱۵۷﴾

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah/2: 155-157)

Dengan mengetahui berbagai hikmah yang baik di balik musibah, seorang mukmin akan menyikapi musibah dengan sikap yang paling baik pula. Maka sikap seorang mukmin menghadapi musibah pun terwujud dalam bentuk ketegaran, diantanya:

  1. Seorang mukmin akan mengembalikan musibah kepada Allah

Dengan prinsip inilah seorang mukmin mampu tegar dan tetap istiqomah di atas imannya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Louh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. al-Hadiid/57: 22)

  1. Menuju muhasabah (introspeksi diri)

Tidak mudah bagi seseorang untuk melihat kesalahannya sendiri. Namun bagi orang beriman, musibah merupakan salah satu perkara yang mengantarkannya menuju muhasabah. Sehingga dia akan tahu bahwa Allah mendatangkan musibah semata-mata karena kesalahan dan dosanya, bukan karena kezaliman-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang ucapan Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya, Hawa radhiallahu ‘anhu yang beriman:

قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. al-A’raaf/7: 23)

Bsa, seorang yang beriman akan segera bertaubat dan istighfar kepada-Nya, memohon ampunan dan meminta dihapuskan kesalahannya. Allah menyebutkan seruan Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا﴿۱۰﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا﴿۱۱﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا﴿۱۲﴾

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampu. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan melimpahkan harta dan anak-anakmu, serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh/71: 10-12)

  1. Berlindung dan bertawakal kepada Allah

Musibah pasti akan menimpa siapa pun, sehingga seseorang hanya bisa berlindung kepada Allah dari buruknya musibah baginya, dan ia berserah diri kepada-Nya semata. Yang demikian sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wa ta’ala yaitu:

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. at-Taubah/9: 51)

Ibarat musibah bagi seorang mukmin laksana surat cinta yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala buat hamba terkasih-Nya. Terkadang orang yang dicintai lupa terhadap yang mencintainya karena beberapa hal. Demikian pun orang mukmin, saat iman dan cintanya melemah terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah mengingatkan kehadiran-Nya melalui “surat cinta” tersebut, agar hamba yang mukmin tadi tidak berlarut-larut dalam keterpurukan cinta dan iman terhadap Allah.

Sumber :

  1. Bagaimana Menyikapi Musibah?. Abu Ammar al-Ghoyami. Majalah al-Mawaddah. (Vol. 69). 1435 H.
  2. Sikap Muslim Menghadapi Musibah. Ustadz Ahmad Yani, MA. Artikel. 2015.

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.