Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

BERLAYAR DI TENGAH BADAI UJIAN

berlayar-di-tengah-badai-ujian

Berlayar di tengah-tengah badai ujian, Masih terkenang memori mencekam sekitar delapan tahun yang lalu. 27 Mei 2006, Indonesia menangis karena gempa yang melanda Yogyakarta. Selang dua hari berikutnya, menyemburlah lumpur panas dari Sidoarjo. Padahal bangsa Indonesia ketika itu belum lepas dari kesedihan akibat bencana Tsunami Aceh pada 26 Desember 2005.

Di tahun ini, tepatnya 14 Februari 2014 masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan peristiwa meletusnya gunung Kelud. Tidak hanya warga sekitar gunung yang terkena dampaknya. Abu Vulkanik akibat letusan gunung tersebut ikut terbang bersama angin menghujani beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat di sekitar gunung terpaksa mengungsi akibat ketakutan terhadap letusan gunung tersebut.

Rasa takut, inilah yang dirasakan warga sekitar gunung tersebut. Rasa takut adalah salah satu dari sekian bentuk ujian yang disebutkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين

“Sungguh akan kami uji kalian dengan sebagian dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, serta buah-buahan. Namun berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqoroh: 155)

Beberapa oknum mungkin berspekulasi, ini akibat warga sekitar daerah yang terkena bencana sering melakukan maksiat. Malang sekali nasib mereka, sudah tertimpa bencana, kemudian dituduh sebagai ahli maksiat. Wal Iyadzu Billah, namun tidak bijak rasanya di saat seperti ini kita menuduh: “Anda ahli maksiat dan kamilah ahli taat”. Apakah selalu musibah yang datang dikarenakan maksiat masyarakatnya? Berapa banyak daerah yang aman tenteram namun justru penduduknya ramai menyekutukan Alloh subhanahu wa ta`ala. Jika kita tilik ayat di atas, musibah yang datang dan bahkan mungkin terjadi bertubi-tubi, dijadikan Alloh sebagai tolak ukur kesabaran dan keimanan kaum yang ditimpanya. Ujian dijadikan Alloh untuk mengajarkan sabar kepada hamba-Nya. Dan bahkan ujian dijadikan Alloh sebagai wasilah atau cara tersendiri bagi Alloh untuk memberikan surga kepada hamba-Nya. Pada ayat setelahnya Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُون

“Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah mereka akan mengatakan: inna lillah wa inna ilaihi raji’un (kami milik Alloh dan kepada-Nya lah kami akan kembali)” (QS. Al-Baqoroh: 156).

Kalimat yang diajarkan Alloh di dalam ayat ini dikenal dengan kalimat istirja’ yang berarti ‘pengembalian’. Tidak sekedar diucapkan, kelapangan hati untuk mengembalikan segala urusan kepada Alloh juga dituntut ketika mengucapkan kalimat ini. Terdapat dua pengakuan di dalam kalimat tersebut; yang pertama adalah pengakuan bahwa diri kita, harta, keluarga, kerabat dekat, rasa aman, semuanya adalah milik Alloh. Suatu saat, cepat atau lambat Alloh berhak untuk mengambilnya kapan saja. Kedua, pengakuan bahwa tidak ada tempat kembali bagi semuanya itu kecuali kepada Alloh. Jika tiba saatnya, diri kita, harta, keluarga, dan semua yang kita miliki kembali kepada Alloh. Kita sudah mengakuinya dan kita telah rela menerimanya.

Seorang hamba yang ketika ditimpa musibah, mengucapkan kalimat ini, serta melapangkan dadanya untuk menerima takdir tersebut dengan penuh keyakinan bahwa segala yang ada di dunia ini milik Alloh, maka Alloh akan membalasnya dengan tiga hal yang Dia sebutkan di dalam ayat selanjutnya. Alloh berfirman:

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُون

Merekalah yang akan mendapat sholawat serta rahmat dari Rabb mereka. Dan merekalah orang-orang yang diberi petunjuk. (QS. Al-Baqoroh:157)

Ketiga hal yang Alloh sebutkan di dalam ayat ini adalah sholawat, rahmat, serta  hidayah[1].

Sholawat di dalam ayat di atas berarti ampunan[2]. Jika kita hitung sekian umur kita sampai saat ini, sudah berapa banyak dosa yang kita lakukan baik disengaja maupun tidak. Maka dengan musibah yang ditimpakan, boleh jadi ini merupakan cara Alloh untuk mengampuni dosa-dosa kita. Mungkin kita akan menderita di dunia ini, namun balasan kebersabaran di akhirat juga akan besar.

Sedangkan rahmat, yaitu kasih sayang Alloh. Jangan sangka bahwa ketika seseorang ditimpa musibah berarti Alloh tidak sayang kepada hamba tersebut. Justru ketika Alloh sayang dan cinta kepada hamba-Nya, Alloh akan menguji hamba tersebut. Rosululloh mengatakan:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Alloh inginkan kebaikan baginya maka akan timpakan musibah dari-Nya. [3]    

Bagaimana bisa musibah dikatakan sebagai suatu kebaikan? Kebaikan yang dimaksudkan tersebut adalah rahmat Alloh setelah orang tersebut bersabar. Kebaikan tersebut adalah ampunan Alloh. Imam Bukhori meletakkan hadits ini di dalam bab kaffaroh mardho, yang berarti dihapuskannya dosa dengan sakit.

Kemudian yang ketiga adalah hidayah atau petunjuk. Mereka yang senantiasa bersabar ketika ditimpa musibah akan selalu diarahkan hidupnya ke arah kebaikan. Dia akan dimudahkan untuk mengerjakan amalan-amalan ahli surga, dan akan dipersulit untuk mengerjakan amalan-amalan ahli neraka.

Inilah balasan bagi orang-orang yang sabar ketika mereka ditimpa musibah dan bencana. Jadi jangan sangka bahwa musibah yang ditimpakan itu karena maksiat. Boleh jadi musibah yang ditimpakan kepada suatu kaum adalah cara bagi Alloh untuk memberikan ketiga ganjaran yang di sebutkan di dalam ayat tersebut.

Tidak hanya Al-Qur’an, sunnah pun mengajarkan kepada kita untuk bersabar ketika menerima musibah. Sunnah juga mengajarkan umat muslim untuk mengucapkan istirja’. Nabi mengatakan:

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا.

“Tidaklah seorang hamba ketika ditimpa suatu musibah kemudian dia mengatakan: Innâ Lillâh Wa Innâ Ilaihi Rôji’ûn Allôhumma’ jurnî fî Mushîbatî Wa Akhlif lî khairon minhâ (Sesungguhnya kami adalah milik Alloh dan kepada Alloh-lah kami kembali, ya Alloh berikanlah ganjaran pahala terhadap musibah yang menimpa kami dan gantilah kami dengan sesuatu yang lebih baik), kecuali dia akan diberi ganjaran dari Alloh dan akan diganti dengan yang lebih baik. [4]

Ketika Abu Salamah, suami Ummu Salamah, wafat beliau mengucapkan kalimat tersebut. Kemudian terdetik di dalam hatinya: “Jika memang Alloh akan mengganti dengan yang lebih baik maka siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah masa iddah Ummu Salamah selesai, Rosululloh mengutus Hatib bin Abi Balta’ah untuk melamar Ummu Salamah untuk beliau.[5] Inilah ganti dari Alloh yang lebih baik dari Abu Salamah.

Abu Salamah adalah seorang sahabat mulia. Ia bernama Abdulloh bin Abdil Asad. Beliau masih memiliki hubungan keluarga dengan Nabi dari dua sisi. Pertama, beliau adalah sepupu Nabi karena ibunya adalah Barroh binti Abdil Muttholib yaitu bibi Nabi. Kedua, beliau adalah saudara sepersusuan Nabi. Beliau ikut bertempur di perang Badar dan berhijroh dua kali ke negeri Habasyah[6]. Keutamaan inilah yang mungkin dilihat oleh Ummu Salamah sehingga Ummu Salamah menyangsikan adanya laki-laki yang lebih baik dari Abu Salamah yang mau melamar beliau. Namun Nabi tidak pernah berdusta. Yang dikatakannya adalah wahyu. Dan benar, ternyata Alloh mengganti Abu Salamah dengan yang lebih baik yaitu Rosululloh.

Bolehkah Bersedih?

Ayat dan hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk sabar dan rela terhadap ketentuan Alloh meskipun itu pahit. Namun sebagai seorang manusia, adakalanya ketika menghadapi musibah tersebut kita bersedih dan tidak bisa menahan tangis. Jika ditanya bolehkah hal tersebut? Apakah menangis tanda tak sabar atau tanda tak rela dengan ketentuan Alloh?

Suatu ketika Rosululloh diberi kabar bahwa Umaimah binti Zainab binti Rosululloh dalam keadaan sekarat. Melihat cucu wanitanya yang mungil sedang meregang nyawa Rosululloh menangis. Beliau mengatakan:

لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى

Sesungguhnya milik Allohlah apa yang Ia ambil dan milik-Nya lah apa yang Ia berikan. Dan tiap-tiap sesuatu baginya telah ditetapkan waktunya.”

Melihat Nabi menangis Sa’ad bin Ubadah bertanya, mengapa engkau menangis sedangkan engkau melarang kami untuk menangisi mayit? Nabi mengatakan:

إِنَّمَا هِيَ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ، وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“(Tangisan itu) adalah rahmat yang Alloh jadikan di dalam hati  hamba-hamba-Nya. Dan Alloh hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang merahmati (makhluk lainnya). [7]

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa menangis bersedih atas musibah yang menimpa bukanlah hal yang dilarang jika kesedihannya itu tidak berlarut-larut dan hanya dilakukan sekedarnya saja. Kesedihan bukanlah indikator bahwa seseorang tidak sabar. Kesedihan adalah hal yang manusiawi, bahkan Nabi mengatakan bahwa kesedihan merupakan suatu rahmat atau kasih sayang seorang hamba kepada sesamanya. Yang mana apabila seorang hamba merahmati sesama atau makhluk Alloh lainnya maka Alloh pun akan merahmatinya.

Berdasarkan nash-nash Al-Qur’an maupun hadits di atas, sejatinya musibah yang menimpa adalah suatu kebaikan jika hamba yang ditimpanya mau bersabar, mengembalikan segalanya kepada Alloh, dan mengharapkan ganjaran dari-Nya. Hendaknya seorang yang ditimpa musibah bergembira akan janji Alloh dan Rosul-Nya tersebut. Silahkan bersedih, namun lakukan hanya sekedarnya saja! Jangan jadikan rasa sedih itu sebagai batu halangan untuk bangkit! Hari depan masih panjang, kesempatan untuk berbuat baik, berkarya, dan beramal sholih masih panjang. Yakinilah bahwa Alloh akan memberikan ganti yang lebih baik, entah di dunia atau nanti di akhirat.

Daftar Pustaka

Ibnu Jarir, Muhammad. Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayil Qur’an (Tafsir Thabari). Tahqiq: Abdulloh bin Abdul Muhsin At-Turki. Kairo: Dar Hajar. Cetakan Pertama, 2001.

Al-Bukhori, Muhammad bin Ismail. Shohîh Bukhori Mausû’atul Hadîts Asy-Syarîf Kutubussittah. Riyadh: Darussalam Lin Nasyri Wat Tauzi’. Cetakan Ketiga, 2000.

An-Naisabûri, Muslim bin Hajjaj. Shohîh Muslim Mausû’atul Hadits Asy-Syarîf Kutubussittah. Riyadh: Darussalam Lin Nasyri Wat Tauzi’. Cetakan Ketiga, 2000.

Bin Hambal, Ahmad bin Muhammad. Musnad Ahmad. Tahqiq: Syu’aib Al-Arna’uth. Beirut: Muassasah Risâlah. Cetakan Pertama, 2001.

Al-Mizzi, Yusuf bin Hajjaj. Tahdzîbul Kamâl Fî Asmâ’ir Rijâl. Tahqîq: Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Muassasah Risalah. Cetakan Pertama, 1980.

[1]  Atsar Ibnu Abbas, diriwayatkan Ath-Thobari di dalam Tafsirnya (2/707-708)

[2] Ibid

[3] Hadits riwayat Imam Bukhori (no: 5645)

[4] Hadits riwayat Imam Muslim (no: 918)

[5] Lihat: Shohih Imam Muslim (no: 918)

[6] Lihat: Tahdzîbul Kamâl (15/188)

[7]  Hadits Muttafaqun ‘Alaih, namun redaksi di atas merupakan redaksi Imam Ahmad (no: 21779).

Oleh: Ust. Haidir, Lc

Refrensi: Diambil dari Artikel Lentera Qolbu

 

Baca juga Artikel berikut:

7 LANGKAH MENJADI MUSLIM PRODUKTIF

MENYIKAPI REZEKI YANG DIBERIKAN OLEH ALLAH

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.