Kala Kesedihan Melanda Hati – Hati manusia tidak mungkin tetap dalam suatu keadaan. Kebahagiaan selalu diselingi kebahagiaan begitupun sebaliknya, itulah hakikat kehidupan dunia yang jauh dari kesempurnaan. Dalam kehidupan kita pasti pernah mengalami musibah seperti kehilangan harta, ditinggal orang yang dikasihi, sakit, maupun dihadapkan pada kenyataan yang sedih dan pilu. Maka, kita harus tau apa yang sebaiknya dilakukan saat kesedihan mendera hati. Agar musibah dan kesedihan tersebut membawa kebaikan serta pahala, bukan membuat hati kita binasa.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Sungguh menakjubkan urusan orang Mukmin, semua urusannya baik baginya, dan kebaikan ini hanya dimiliki oleh seorang Mukmin. Apabila mendapat kesenangan ia bersyukur, dan itulah yang terbaik untuknya. Dan apabila tertimpa musibah ia bersabar, dan itulah yang terbaik untuknya.”[1]
-
Allah memilih kita supaya menjadi orang yang sabar
Ketahuilah, melalui musibah Allah memilih kita supaya menjadi seorang hamba yang sabar. Dia melihat apakah kita lulus ujian dan meraih gelar orang yang sabar, ataukah menjadi orang yang gagal. Maka kita wajib bersabar terhadap musibah ataupun kenyataan pahit yang menimpa. Di antara bentuk kesabaran adalah dengan menahan diri dari kemarahan, menahan lisan dari keluh kesah, juga menahan anggota badan dari perbuatan-perbuatan yang mengundang murka Allah seperti menampar pipi, mengoyak-ngoyak pakaian, mencakar wajah, mencabut rambut, dan meratap ala kaum Jahiliyah.
Adapun hal-hal yang dapat membantu kita agar bersabar ialah meyakini bahwa kemarahan tidak akan mengembalikan apa yang telah Allah takdirkan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap ketetapan-Nya. Kita tidak memetik hasil apapun kecuali kemarahan Rabb. Tetapi apabila bersabar, niscaya kita akan mendapat pahala. Apabila tidak bersabar, kita berdosa. Maka bersabarlah seperti kesabaran orang-orang yang bertakwa, sabar dengan penuh kerelaan.
-
Mengharap pahala atas musibah yang menimpa
Bersabarlah, dan tidak ada yang lebih baik bagi kita selain bersikap demikian, sambil mengharap janji Allah berupa balasan dan pahala. Sungguh, Dia menyuruh kita bersabar. Sebagaimana ditegaskan di dalam firmanNya:
{ وَٱصبِر عَلَىٰ مَاۤ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَ ٰلِكَ مِن عَزمِ ٱلأُمُورِ }
Artinya: ”Dan bersabarlah terhadap apa yang menimoa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman [31]: 17)
Dan dalam ayat lain Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
{إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّابِرُونَ أَجرهُم بِغَيرِ حِسَاب}
Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)
Demikianlah, Allah telah menjanjikan pahala tanpa batas atas kesabaran dalam menghadapi musibah. Dengan syarat, kesabaran tersebut karena mengharap wajah-Nya semata. Allah berfirman:
{وَٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ٱبتِغَاۤءَ وَجهِ رَبِّهِم…}
Artinya: “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya ….” (QS. Ar-Ra’d [13]: 22)
Sabar itu harus ikhlas demi Allah, bukan karena terpaksa. Sabar di awal datangnya musibah, itulah kesabaran hakiki. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya sabar itu pada awal musibah.”[2]
-
Mengucapkan kalimat istirja dan membaca doa musibah
Manakala musibah datang, ucapkanlah kalimat istirja:
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali). Ya Allah, berikanlah aku pahala dari musibahku ini serta gantilah ia dengan sesuatu hal yang lebih baik daripadanya (yang hilang karena musibah).”[3]
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
{ٱلَّذِينَ إِذَاۤ أَصَابَتهُم مُّصِيبَة قَالُوۤا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّاۤ إِلَيهِ رَاجِعُونَ}
Artinya: “Orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dari rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 156)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Jika orang hamba tertimpa musibah lalu membaca doa yang diperintahkan Allah: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali. Ya Allah, berikanlah aku pahala dari musibahku ini serta gantilah ia dengan sesuatu hal yang lebih baik daripadanya.’
Melainkan Allah memberinya pahala atas musibah tersebut, dan memberinya ganti yang lebih baik daripada sesuatu yang hilang karenanya.”[4]
Selain dianjurkan mengucapkan kalimat istirja, hendaklah seorang hamba juga membaca: “Rabbku adalah Allah, tiada sekutu bagi-Nya.”
Seseungguhnya musibah dan bala yang menimpa manusia akan sirna dengan seizin Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Tidaklah seseorang tertimpa kesedihan, kepiluan, penyakit, maupun kesulitan kemudian mengucapkan: ‘Rabbku adalah Allah, tiada sekutu bagi-Nya.’ Niscaya akan sirnalah musibah tersebut dari dirinya.”[5][6]
Demikian pula, kita disunnahkan membaca doa tertimpa kesulitan yang diajarkan oleh Nabi. dalam sebuah hadits beliau bersabda kepada para Sahabat. Doa tertimpa kesulitan yaitu: ‘Ya Allah, hanya rahmat-Mulah yang aku harapkan. Maka janganlah Engkau biarkan aku tanpa pertolongan-Mu walau sekejap mata. Perbaikilah seluruh urusanku. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau.’”
Begitu juga membaca doa yang selalu dibaca Rasulullah: “Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan.”[7]
-
Menjauhi perbuatan dan ucapan yang dimurkai Allah
Perbuatan dan ucapan yang dimurkai Allah antara lain berkata buruk, menampar-nampar pipi, mengoyak pakaian, mencakari wajah, meratap, meraung-raung, mengeluh kepada orang lain, menggunduli kepala, berdoa meminta kematian, dan merintih-rintih sambil mengutuk. Semua itu dapat mengundang kemurkaan Allah. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi bersabda: “Bukan golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, mengoyak-ngoyak baju, dan meratap seperti layaknya ratapan orang-orang Jahiliyah.”[8]
Abu Malik al-Asyja’i meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
“Ada empat perkara Jahiliyah pada umat-Ku yang tidak mereka tinggalkan, yaitu membanggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan pada bintang-bintang, dan meratapi mayit.”
Lalu beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Wanita yang meratapi orang mati, apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, akan dibangkitkan pada hari Kiamat. Saat itulah dikenakan kepadanya pakaian yang berlumuran cairan tembaga serta mantel yang berupa penyakit kudis.”[9]
-
Mengadu kepada Allah, tidak mengeluh kepada makhluk
Mengeluh kepada makhluk itu merupakan perbuatan hina dina. Yaitu seseorang mengeluhkan penciptanya kepada manusia. Kita mengeluhkan Allah Yang Maha Penyayang, yang lebih sayang terhadap makhluk daripada diri dan ibunya sendiri. Lantas mengapa kita mengeluh kepada makhluk karena musibah yang menimpa? Adakah manusia yang lebih sayang terhadap diri kita selain Allah? Maka adukanlah masalah kita kepada Allah, mohonlah pertolongan kepada-Nya. Dalam hal ini Nabi Ya’qub telah memberikan teladan yang baik bagi kita. Allah Subhanahu Wata’ala bercerita tentang beliau:
{قَالَ إِنَّمَاۤ أَشكُوا۟ بَثِّی وَحُزنِیۤ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعلَمُونَ}
Artinya: “Ya’qub menjawab: ‘Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’” (QS. Yusuf [12]: 86)
-
Meringankan musibah dengann mengingat kematian dan mengingat wafatnya Nabi
Mengingat kematian yang berupa hilangnya jiwa dari raga, keluarnya roh, dan terputusnya amal shalih itu membuat kita merasa ringan dalam menghadapi musibah yang menimpa. Semua musibah terasa ringan apabila kita membandingkannya dengan musibah kematian. Allah menyebut kematian sebagai musibah, sebagaimana dalam firman-Nya, Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (QS. Al-Ma-idah [12]: 106)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan (kematian). sungguh, tidaklah seseorang mengingat kematian pada saat sempit melainkan itu akan membuatnya lapang. Dan tidaklah ia mengingat kematian pada saat lapang melainkan itu akan membuatnya sempit.”[10]
Jadi yang harus kita lakukan adalah mengingat kematian, bukan meminta kematian. Lagi pula, kita dilarang meminta kematian yang erat kaitannya dengan ketetapan ilahi. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian menghadap kematian karena musibah yang menimpanya. Jika memang terpaksa harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa: ‘Ya Allah, panjangkanlah usiaku jika hidup itu lebih baik bagiku. Atau wafatkanlah aku, jika mati itu lebih baik bagiku.’”[11]
Dengan mengingat musibah yang lebih besar, tentu saja musibah yang kecil terasa lebih ringan. Sementara musibah yang terbesar bagi setiap Muslimin adalah wafatnya Nabi. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian tertimpa musibah maka ingatlah musibah kehilangan diriku. Karena itu merupakan musibah yang terbesar baginya.”[12]
Mengingat musibah terbesar ini meringankan hati insan atau musibah yang sedang dialaminya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Hiburlah kaum Muslimin terhadap musibah yang menimpa mereka dengan mengingat musibah kehilangan diriku.”[13]
-
Di balik setiap musibah terdapat hikmah
Kita harus selalu mengingat nikmat Allah. Sebab di balik musibah pasti ada nikmat-nikmat yang patut kita syukuri. Karena hakikatnya, itu adalah karunia dalam bentuk cobaan. Di antara hikmah-hikmah tersebut:
- Bisa saja musibah yang akan terjadi lebih besar daripada musibah yang sudah terjadi atau sedang di alami. Maka tentu kita memilih kehilangan sebagian harta daripada kehilangan Tentulah lebih ringan kehilangan satu anak daripada kehilangan semuanya. Tentunya lebih ringan terkena satu penyakit daripada terkena berbagai macam penyakit atau meninggal. Sebagian musibah lebih ringan daripada sebagian lainnya. Lihatlah orang-orang di sekitar kita yang tertimpa musibah lebih besar lagi.
- Pada umumnya musibah hanya menimpa urusan dunia, tidak menimpa agama seseorang M Seluruh musibah bisa tergantikan kecuali musibah yang menimpa agama. Sungguh ia tak tergantikan. Dan barangsiapa kehilangan agamanya berarti telah kehilangan segalanya.
- Allah masih memberi kita kesabaran dalam menghadapi musibah, sebab Allah dapat mencabut kesabaran tersebut dari hati jika berkehendak, hingga kita kesal dan marah.
Umar bin al-Khathab radhiyallahu’anhu pernah menyatakan: “Sungguh, tidaklah musibah menimpaku melainkan Allah menurunkan tiga nikmat atas diriku darinya. Pertama, musibah itu bukan pada agamaku. Kedua, musibah itu tidak lebih besar daripada musibah yang lain. Ketiga, Allah memberiku kesabaran dalam menghadapinya.”
-
Segala sesuatu telah tertulis dalam suratan takdir
Apabila kita meyakini bahwasanya setiap musibah telah tertulis dalam ketetapan-Nya pasti terjadi tanpa bisa dielakkan, meyakini bahwa ketetapan Allah tidak ada yang sia-sia tanpa ada hikmah dibaliknya, niscaya musibah tersebut terasa ringan dan kita pun terhibur dengannya. Allah Shallallahu Alaihi Wasallam berfirman:
{مَاۤ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِی ٱلأَرضِ وَلَا فِیۤ أَنفُسِكُم إِلَّا فِی كِتَـاب مِّن قَبلِ أَن نَّبرَأَهَاۤۚ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يسِير} {لِّكَيلَا تَأسَوا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُم وَلَا تَفرَحُوا۟ بِمَاۤ ءَاتَاكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يحِبُّ كُلَّ مُختَال فَخُورٍ}
Artinya: “Tidak sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid [57]: 22-23)
Maka apabila musibah menimpa, jangan sekali-kali kita membuka pintu syaitan untuk masuk menyerang hati. Yaitu dengan ucapan: Seandainya tadi begini tentu hasilnya tidak begini. Namun ucapkanlah kalimat yang mengandung kepasrahan kepada Allah dan keimanan kepada takdir, yaitu ‘Ini takdir Allah, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.’
-
Harapkanlah pertolongan dari Allah semata
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.”[14]
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
{فَإِنَّ مَعَ ٱلعُسرِ يُسرًا }{إِنَّ مَعَ ٱلعُسرِ يُسرا}
Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Ash-Sharh : 5-6). Tidak layak seorang Muslim menunggu pertolongan.
REFERENSI:
Diringkas Oleh : Yasmin Yuni Azrah (Pengabdian Ponpes DQH)
Sumber : Buku Panduan Amalan Sshari Semalam karya Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan
[1] Shahih Muslim (no.7500, 1259).
[2] Muttafaq ‘alaihi: Al-Bukhari (no. 7154) dan Muslim (no. 2179).
[3] HR. Muslim (no. 918) dari Ummu Salamah.
[4] HR. Muslim (no.918).
[5] HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabir (XXIV/396) dari Asma binti Umais. Lihat kitab Shahih al-Jami’ (no.6040).
[6] HR. Ahmad (V/42), Abu Dawud (no.5090), Ibnu Hibban (no.966-al-Ihsan) dari Abu Bakrah. Lihat Shahih al-Jami’.
[7] HR. At-Tirmidzi (no.3524) dari Anas bin Malik. Lihat Shahih al-Jami’.
[8] HR. Al-Bukhari (no.1294) dan Muslim (no.103).
[9] HR. Muslim (no.934).
[10] HR. Al-Baihaqi dalam kitab asy-Syu’ab (10559, 10560) dan Ibnu Hibban (IV/282) dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no.1211).
[11] HR. Al-Bukhari (no. 5671, 6351) dan Muslim (no.2680).
[12] HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman (no. 10152) dan Ibnu Adi (V/174) dari Abdullah bin Abbas, serta ath-Thabrani dalam al-Kabir (VII/6718) dari Sabith al-Jumahi. Lihat Shahih al-Jami’n (no.347).
[13] Dicantumkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 5459).
[14] HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (no.2516).
BACA JUGA :
Leave a Reply