TERKAIT PENGERTIAN SALAF
Bismillahir rahmanir rahim, Telah di jelaskan sebelumnya makna salaf secara bahasa. Adapun yang di maksud dengan salaf secara bahasa. Adapun yang dimaksud dengan saraf secara istilah diperselisihkan menjadi beberapa pendapat, yang paling penting diantaranya adalah:
- Mereka adalah para sahabat saja
- Mereka adalah sahabat dan tabi’in
- Mereka adalah sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in
- Bahwa salaf adalah generasi ssbelum tahun 500 Hijriyah, dan pemilik pendapat ini menganggap bahwa salaf adalah madzhab yang di batasi dengan batasan waktu tertentu dan tidak melampauinya, kemudian wawasan Islam berkembang setelah itu melalui tokoh-tokohnya.
Apakah batasan waktu ini cukup untuk membatasi pemahaman salaf, jika kita mengatakan bahwa yang dimaksud dengan salaf secara zaman adalah mereka yang hidup pada tiga kurun yang utama, berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan kurun yang utama; apakah setiap orang yang hidup pada kurun tersebut kita anggap salaf yang pantas di ikuti?
Maka lebih dahulu dari sisi waktu saja tidaklah cukup untuk menetapkan salaf, tapi mesti di tambahkan di samping terdahulu waktunya juga memiliki keselarasan pendapat dengan Al-Qur’an dan as-sunnah. Barangsiapa pendapat nya berseberangan dengan al-Qur’an dan as-sunnah maka dia bukan salafi, walaupun hidup di tengah para sahabat dan tabi’in.
Jika demikian, maka keberadaan seseorang pada zaman yang utama tidaklah cukup untuk menghukumi nya berada di atas madzhab salaf hingga sejalan dengan al-Qur’an dan as-sunnah dalam ucapan dan perbuatannya, mengikuti sunnah dan tidak membuat bid’ah. Karena itu kebanyakan para ulama membatasi istilah ini ketika menyebutkan nya dengan sebutan salafus shalih.
Imam as-safarini Rahimahullah mengatakan, “Yang di maksud dengan madzhab salaf adalah apa yang di anut oleh para sahabat yang mulia, dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, serta tabi’ut-tabi’in dan para imam agama ini yang disepakati keilmuannya, dan dikenal kedudukannya dalam agama, serta manusia mengambil ucapannya, orang yang datang kemudian dari pendahulunya, bukan orang yang dituduh dengan kebid’ahan, atau dikenal dengan gelaran yang tidak pantas, seperti khawarij, rafidhah, qadariyah, murjiah, jabariyah, jahmiyah, mu’tazilah, karramiyah, dan sejenisnya.
Sungguh beliau membatasi makna salaf yang layak dijadikan panutan adalah orang yang telah disepakati keilmuannya, dan tidak dicap dengan perbuatan bid’ah, karena itu tidak semua salaf harus diikuti. Namun salaf yang pantas menjadi suri tauladan dan uswah yang baik adalah para salaf yang terpilih dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan para imam tabi’in serta yang mengikuti mereka, yang telah dipersaksikan kebaikannya, dikenal komitmen dan keimanannya dalam sunnah, serta menjauhi bid’ah dan memperingatkan manusia darinya. Sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti jalan para sahabat dan meniti atsar serta menempuh manhaj mereka.
Allah Azza wa jalla berfirman, yang artinya: “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku” (QS. Luqman: 15 )
Ibnu Al- Qayyim Rahimakumullah mengomentari ayat di atas: “Para sahabat kembali kepada Allah, maka wajib mengikuti jalannya, ucapan dan keyakinannya yang merupakan jalannya yang paling besar.”
Sungguh Allah ridho kepada mereka dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah : 100)
Dengan demikian, bukan termasuk bid’ah menamakan ahlus sunnah dengan salafiyin. Bahkan istilah salaf sangat sesuai dengan istilah ahlus sunnah Wal jamaah. Hal itu diketahui dengan memperhatikan terkumpulnya dua istilah tersebut pada diri para sahabat, merekalah as-salaf dan merekalah ahlus sunnah Wal jamaah.
Sebagaimana boleh kita mengatakan “Sunni” sebagai penisbatan diri kepada ahlus sunnah, maka tentu boleh pula mengatakan “salafi” sebagai penisbatan diri kepada salaf, tidak ada bedanya, karena setelah munculnya firqah-firqah dan terjadinya perpecahan umat maka kalimat salaf sangat tepat bagi orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj, sesuai dengan pemahaman para sahabat dan generasi yang utama. Maka istilah salaf merupakan sinonim dengan nama-nama syar’i ahlus sunnah Wal jamaah yang lainnya sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
- Menegakkan mazhab salat dan menjelaskan sikap pada ahli bid’ah
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang berada di atas hidayah sesudahku. Berpegang teguhlah dengan sunnah tersebut dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Muttafaqun Alaih)
Nabi Shallallahu alaihi wasallam berkata ketika menjelaskan firqah najiyah beliau ditanya: Siapa mereka ya Rasulallah? Beliau menjawab: “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
Para imam sunnah dan ulamanya dari generasi ke generasi senantiasa menyeru agar mengikuti salafus shalih, meneladani dan menempuh jalan mereka. Dan ahlus sunnah selalu mendasari agama dan aqidahnya dengan apa yang datang dari kitabullah dan sunnah Nabi yang shahih, jika tidak terdapat pada keduanya maka ahlus sunnah mengambil keterangan yang shahih dari para salafus shalih, dari kalangan sahabat dan tabi’in serta para tabi’ut tabi’in yang dikenal dengan ilmunya dalam sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Sungguh ahlus sunnah sangat membutuhkan penjelasan mazhab salafus shalih, yang mana tidak seorangpun meragukan bahwa mereka adalah ahlus sunnah dan dikenal dengan sebutan itu, mereka sangat membutuhkan penegasan hal itu ketika munculnya generasi ahli bid’ah dan kamu menyelisihi sunnah, lalu keluarlah kelompok dan firqah yang menganutnya menganggap diri mereka berada di atas kebenaran, dan mengklaim diri mereka sebagai firqatun najiyah.
Mereka mendasari pendapat dan madzhab dengan nash-nash Al-Qur’an dan as-sunnah yang mereka pahami sesuai dengan logika dan memalingkannya dari makna zhahirnya, kemudian menganggap diri mereka pengikut al-Qur’an dan as-sunnah. Adakalanya perkara ini menjadi samar atas kebanyakan manusia, karena itu mereka sangat membutuhkan penjelasan mazhab salaf, karenanya para ulama dan para imam sangat antusias untuk menjelaskan bahwa yang mereka ucapkan berupa permasalahan i’tikad adalah pendapat pendahulu mereka dari para imam salaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan baik. Agar dapat diketahui, apapun yang menyelisihi hal itu bukanlah termasuk pendapat dan bukan petunjuk mereka, melainkan termasuk pendapat ahli bid’ah dan kaum penyelisih sunnah.
- Boleh Menisbatkan Diri Kepada Salaf dan Memakai Gelar Salafiyah
Sudah dimaklumi bersama bahwa seruan untuk mengikuti salaf untuk dakwah kepada salafiyah tidak lain merupakan dakwah kepada Islam yang benar. Dan kembali kepada sunnah yang murni merupakan seruan untuk kembali kepada Islam seperti yang diturunkan kepada Nabi dan di ajarkan kepada para sahabat yang mulia, maka tidaklah ragu bahwa ini adalah dakwah yang benar sehingga menisbatkan diri kepadanya adalah benar.
Sungguh para imam kaum Muslimin dari kalangan ahlus sunnah memiliki pengaruh yang besar dalam berdakwah kepada sunnah, kembali ke jalan salaf, kembali kepada manhaj mereka dan mencontohnya, diantara para imam tersebut adalah Imam ahlus sunnah Wal jamaah: Imam Ahmad bin hanbal, Imam Abu bakar Muhammad bin Ishaq bin khuzaimah, Imam Abu bakar Muhammad bin Al Husain Al Ajuri, Imam Abu Abdillah bin baththah al-‘ukbari dan imam Abul qasim Ismail bin Muhammad al-ashbahani.
Kemudian syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta para imam dakwah sesudah beliau, mereka memberi andil dalam memunculkan manhaj salaf seiring dengan perjalanan waktu, menyirami pondasi agama dan aqidahnya dengan kitabullah dan sunnah rasulnya, serta perjalanan hidup salafus shalih dan tabi’in. Mereka tegas membantah bid’ah yang menyimpang dari pondasi ini.
Jika hal itu diketahui, maka kita kembali kepada judul pasal ini yaitu, “boleh menisbatkan diri kepada salaf dan memakai gelar salafiyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
لا غيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب اليه واعتزى اليه بل يجب قبول ذلك منه فان مذهب السلف لا يكون الا حقا
Terjemahannya: “Tidak tercela orang yang menunjukkan mazhab salaf, menisbatkan dan menyandarkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima hal itu darinya, karena mazhab Salaf tidak lain adalah kebenaran.” (Al-Fatwa (4/149))
Imam as-San’ani berkata dalam al-ansaab (3/273): as-salafi dengan huruf sin dan lam yang berharakat fathah dan huruf akhirnya fa’ merupakan penisbatan pada salaf dan menempuh madzhab mereka menurut apa yang telah engkau dengar dari mereka.
Ibnu atsir rahimahullah mengomentari setelah ucapan as sam’ani tersebut dengan mengatakan, “dan dengan nya jamaah dapat dikenali.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan gelar salafiyah pada sebagian tulisannya kepada mereka yang berpendapat seperti pendapat salaf dalam masalah fauqiyah (keyakinan Allah berada di atas).
Adz-dzahabi rahimahullah berkata dalam as-siyar (12/380), “maka yang di butuhkan oleh seorang Hafizh hendaknya dia bertakwa, cerdas, dan seorang salafi.”
Beliau mengatakan dalam as-siyar (16/457) tentang ad-daruquthni, “orang ini tidak pernah masuk ke dalam ilmu Kalam, ilmu kidal, tidak pula mendalaminya bahkan dia adalah seorang salafi”.
Penulis berkata: Pada zaman sekarang ini penisbatan dan gelar ini digunakan juga oleh para ulama yang mulia yang dikenal dengan komitmen dan pembelaannya terhadap sunnah seperti syaikh Abdurrahman al-Mu’allimi rahimahullah (wafat 1386H) dalam al-Qa’idila tashhihil aqa’id dan Syaikh imam al-‘alim al-Qudwah Abdul Aziz bin Abdullah bin BAZ rahimahullah dalam risalahnya berjudul tanbihat Hasmah ‘ala mas katabahu Muhammad ‘ali ash-shabuni di shifatillahi.
Syaikh bin baz rahimahullah pernah ditanya: Apa pendapat engkau tentang orang yang menamakan dengan salafi atau atsari, apakah itu merupakan tazkiyah (pujian terhadap diri sendiri)?
Beliau menjawab: “Jika benar orang itu sebagai pengikut atsar dan pengikut salaf maka tidak mengapa, sama halnya para ulama salaf mengatakan: Fulan salafi atau fulan atsari adalah sebagai tazkiyah yang mesti diberikan, karena tazkia di sini adalah wajib.”
Selanjutnya pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Syaikh al-albani rahimahullah dalam mukhtashar al-‘uluw dan muqaddimah bagi Syarah al-aqidah ath-thahawiyah serta kitabnya at-tawassul.
Syaikh shalih Fauzan al-Fauzan dalam ajwibah al-Mufidah (hal:103) ditanya apa itu salafiyah? Wajibkah menempuh manhajnya dan berpegang dengannya?
Beliau menjawab: “as-Salafiyah adalah menempuh manhaj salaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi yang utama dalam sisi aqidah, pemahaman dan akhlak, dan wajib bagi setiap Muslim untuk menempuh manhaj ini.”
Juga di antaranya Syaikh al-fadhil Ali bin Nashir faqihi dalam Al-Fath al-mubin birradi’ ala naqdi Abdillah al-ghumari li kitabil arbain. Mereka adalah orang-orang yang mulia dari kalangan ahli ilmu dan yang lainnya membolehkan penggunaan gelar “salafi atau salafiyah atau salafiyyun” dan yang di maksud adalah orang yang menempuh manhaj salaf dan jalan mereka.
Sebagian penulis kontemporer yang menulis tentang madzhab-madzhab Islam menganggap “salafiyyun sebagai pengikut para pendahulu mereka dari kalangan para imam”. Mereka menganggap salafiyyun sebagai kelompok dengan karakteristik khusus yang dikenal dengan sebutan tersebut, di antaranya adalah Muhammad Abi Zahrah, Musthafa asy-syik’ah, Muhammad bin Sa’id al-buthi dan yang lainnya. Mereka menganggap salafiyyun sebagai kelompok dengan karakteristik khusus yang di kenal dengan nama tersebut. Mereka mengisyaratkan kepada perkembangan sejarah perjalanan kelompok ini yang merupakan kelanjutan dari madrasah Ahmad bin Hambal, lalu di perbaharui pada masa Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, dan mereka menganggap bahwa salafiyyun adalah orang-orang yang menggunakan gelar ini untuk dirinya.
Kemudian, sebuah penilaian dilihat dari hakikat, makna dan bukan dari lafaz-lafaz kosong, telah di sebutkan makna-makna yang menunjukkan bahwa yang di maksud dengan istilah salaf ini adalah orang yang berjalan di atas manhaj salafus shalih dan mengikuti jalan mereka. Tidak ada perbedaan sedikit pun antara menggunakan nama salafiyah atau ahlus sunnah Wal jamaah sebagaimana telah lalu.
Referensi :
Jadilah Salafi Sejati, Pengertian Salaf, Abdussalam bin Salim as-Suhaimi, pustaka At-Tazkia, 2007.
Diringkas oleh: Rosa Aulia (Pengabdian DQH)
Baca juga artikel:
Leave a Reply