TA’ZIYAH
Bagian pertama dari dua tulisan
DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta`ziyah”, secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata kerja (عَزَّى). Dikatakan ((عَزَّيْتُهُ تَعْزِيَةً dan makna (العَزَاءُ) yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan.
Pengertian menurut istilah ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang intinya tidak begitu berbeda dari makna bahasa.
Disebutkan oleh penulis kitab Raddul Muhtâr : “Berta’ziyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akannya”.[1]
Disebutkan dalam Syarah Al Kharasyi : “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Alloh, sekaligus mendo’akan si mayit dan yang terkena musibah”.[2]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa bersabar, dan menghiburnya (yang ditinggalkan si mayit) supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”.[3]
HUKUM TA’ZIYAH
Ta’ziyah adalah suatu perbuatan yang disyariatkan bagi setiap muslim maupun muslimah. Dan di antara dalil pensyariatannya,sebagaimana disebutka dalam kitab “Ahkâmul Janâiz” karya syaikh Al Albani Rahimahullah, beliau menyebutkan
- Qurroh al Muzni berkata: Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tatkala duduk, maka sejumlah orang dari para sahabat ikut duduk bersama beliau. Dan di antara mereka ada seorang sahabat yang membawa anak kecil, yang mendatanginya dari belakang punggungnya lalu didudukkannya di hadapannya. (Lalu Nabi bertanya kepadanya: “Apakah engkau mencintainya ?” Sahabat itu menjawab : “Wahai Rosululloh , Alloh mencintaimu, sebagaimana aku mencintainya”. Tidak lama kemudian, anaknya meninggal sehingga ia tidak lagi mendatangi halaqoh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam karena sedih mengingat putranya, sehingga Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam merasa kehilangan, kemudian menanyakannya : “Mengapa sekarang aku tidak pernah melihat lagi si Fulan?”. Para sahabat menjawab : “Wahai Rosululloh, putranya yang pernah engkau lihat itu telah meninggal.” Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menemuinya seraya menanyakan perihal putranya. Dijawabnya kalau putranya telah meninggal. Nabi pun mengutarakan rasa belasungkawanya, sembari bersabda : “Wahai fulan, manakah yang engkau lebih sukai, bersenang-senang dengan anakmu pada sisa usiamu, atau tidaklah engkau mendapati salah satu dari pintu-pintu surga melainkan engkau akan mendapati anakmu itu telah mendahuluimu dan membukakan pintu untukmu?. Ia menjawab : “Wahai Nabi Alloh, bahkan ia mendahuluiku ke pintu surga dan membukakannya untukku, itulah yang lebih aku sukai”. Beliau pun bersabda ; “Yang demikianlah untukmu”. [Berkatalah seorang (dari kaum Anshor) : “Wahai Rosululloh, (semoga Alloh menjadikanku sebagai tebusan untukmu) Apakah yang demikian itu khusus untuknya ataukah untuk kita semua?”. Beliau n menjawab : “Bahkan untuk kalian semua”]. [4]
- Dari Anas bin Malik dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam beliau bersabda :
((مَنْ عَزَّى أَخَاهُ الْمُؤْمِنُ فِي مُصِيبَةٍ كَسَاهُ اللهُ حُلَّةً خَضْرَاءَ يُحْبَرُ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) قِيْلَ : يَا رَسُولَ اللهِ، مَا يُحْبَرُ؟ قَالَ : ((يُغْبَطُ))
Barangsiapa yang berta’ziyah kepada saudaranya yang mu’min dalam musibah yang menimpanya, niscaya Alloh akan mengenakannya pakaian berwarna hijau yang menyenangkannya kelak pada hari kiamat. Ditanyakan kepada beliau : Apa (maksud dari) yang menyenangkannya wahai Rosululloh? Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Kenikmatan-kenikmatan yang diinginkan orang”. [5]
Ketahuilah bahwa beliau dengan kedua hadits itu menjelaskan akan anjuran berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah[6] , dan di sebutkan juga oleh syaikh Musa’id dalam kitabnya, di mana beliau menyebutkan bahwa “Ta’ziyah kepada ahli mayit hukumnya adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama. [7]
Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rosululloh n bertanya kepada Fathimah c : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.”[8]
KEUTAMAAN TA’ZIYAH
Ta’ziyah adalah salah satu sunnah nabi yang banyak orang meremehkannya bahkan melupakannya, padahal memiliki banyak keutamaan, di antara keutamaannya sebagaimana berikut ini :
- Orang yang berta’ziyah akan dipakaikan pakaian kemulian pada hari kiamat.
Dari ‘Amr bin Hazm, bahwasanya Nabi Muhammad bersabda :
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah seorang mu’min yang berta’ziyah kepadanya saudaranya yang tertimpa musibah melainkan akan dipakaikan pakaiakan kemulian di hari kiamat. [9]
Dari Anas bin Malik dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Barangsiapa yang berta’ziyah kepada saudaranya yang mu’min yang tertimpa musibah, niscaya Alloh akan mengenakannya pakaian yang berwarna hijau yang menyenangkannya kelak pada hari kiamat. Ditanyakan kepadanya : Apa yang menyenangkannya wahai Rosululloh?. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepadanya”. [10]
- Ta’ziyah memiliki pahala yang banyak dan hikmah yang banyak[11], di antaranya :
- Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat dan menghiburnya.
- Memotivasinya untuk selalu bersabar, dan berharap pahala dari Alloh Ta’ala. Dan ridha dengan ketentuan Alloh Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Alloh.
- Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Alloh dengan balasan yang lebih baik, semoga Alloh merahmati dan mengampuni dosanya, dan mengharap balasan yang lebih baik kepada Alloh bagi keluarga mayit.
- Melarangnya dari berbuat meratap, memukul, atau merobek pakaian, dan semisalnya akibat musibah yang menimpanya yang dapat menambah rasa sedih dan gelisah yang lebih mendalam.
- Dalam ta’ziyah ada amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya berupa tolong menolong dalam kebaikan.
WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama berpendapat bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan berdasarkan keumuman hadits yang telah lalu.[12]
Diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah setelah mayit dikuburkan. Alasannya, setelah mayit dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan guna menghibur orang yang tertimpa musibah. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Maka waktu itu, orang yang tertimpa musibah benar-benar diarahkan untuk bersabar.[13]
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menimpanya dan memenuhi hak-hak mereka. Maka Penghibur ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Sedangkan waktu setelahnya, orang yang tertimpa musibah merasa lebih kesepian dan sengsara karena betul-betul berpisah dengan si mayit, maka disini sangat di butuhkan untuk menghilangkan dan meringankan kesedihannya.[14]
JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayit dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan, tetapi kurang lebihnya saja. Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari[15]. Ini berdasarkan sabda Rosululloh n .
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثِ لَيَالٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًاََ
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Alloh dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali berkabung karena suaminya meninggal, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.[16]
Alasan lainnya, bahwa tujuan dari ta’ziyah adalah menenangkan orang yang ditinggal mati dan biasanya setelah tiga hari, orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dita’ziyahi. Meskipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak berta’ziyah, atau orang yang hendak dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada ketika mengebumikan mayit tersebut, maka boleh berta’ziyah di luar waktu tiga hari setelah kamatiannya.
Sebagian ulama Syafi’iyah[17] dan Hanabilah[18] tidak membatasi waktu ta’ziyah, meskipun lebih dari tiga hari setelah kematian. Sebab tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Dan pendapatyang rojih adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan dalil dan pandangan mereka yang telah disebutkan, yaitu tidak berta’ziyah lebih dari tiga hari kecuali hal yang diperkecualian.
MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Hukum mengulang-ulang ta’ziyah adalah makruh. Maka tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah berta’ziyah.
Hikmahnya adalah tercapainya tujuan ta’ziyah pada ta’ziyah yang pertama kali, maka tidak diperlukan lagi ta’ziyah yang kedua kalinya, supaya tidak membuat kesedihan lagi.[19]
BERTA’ZIYAH KEPADA SEMUA ORANG YANG TERTIMPA MUSIBAH
Disunnahkan berta’ziyah kepada seluruh orang yang tertimpa musibah, baik orang tua, anak-anak. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dan orang-orang yang lemah dari mereka yang membutuhkan ta’ziyah dalam menghadapi musibah. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya.[20]
Para ulama menyebutkan[21], jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.
bersambung insya Alloh.
Dinukil oleh Ahmad Khaidir Lc. dari kitab At Ta’ziyah, karya Syaikh Musa’id bin Qasim Al Falih, Daarul ‘Aashimah dengan penambahan dari Kitab Ahkâmul Janâiz, karya SyaikhAlbaniy, Al Maktab Al Islamiy.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 05 Tahun 04
[1] Roddul Muhtâr (1/603).
[2] Syarh al Kharasyi ‘ala Mukhtashor Kholil (2/129).
[3] Al Adzkar an Nawawiyah, hlm.126. Lihat juga al Majmu’ (5/304).
[4] HR. Nasai (1/296 dan 264) , Ibnu Hibban dalam Shohihnya, Hakim (1/384) dan Ahmad (5/35). Dan Hakim berkata : sanadnya shohih. Dan disepakati adz Dzhabi, sebagaimana keduanya berkata. Dan al
Baihaqi (4/49 dan50)
[5] HR. Al Khothib di Târîkh Baghdâd (7/397), dihasankan Syaikh Al Albani di Irwâul Gholîl no 764. Dan Ibnu ‘Asakir di Târîkh Dimasyq (15/19/1)
[6] Dinukil dari kitab “Ahkâmul Janâiz” karya syaikh Albani dengan sedikit ringkasan.
[7] Syaikh Musaa’id menukil dari kitab al Ifshôh (1/193) dan Al Mughni (3/485).
[8] HR Abu Dawud, 3/192].
[9] HR. Ibnu Majah No. 1600, dan dihasankan Syaikh Albani di Shohih Ibnu Majah ( 2/ 45). Imam Ahmad (1/201).
[10] HR. Al Khothib di Târîkh Baghdâd (7/397), dihasankan Syaikh Albani di Irwâul Gholîl no 764. Dan Ibnu ‘Asakir di Târîkh Dimasyq (15/19/1)
[11] Syaikh Musa’id di At Ta’ziyah menukil dari Syarh Al Kharasyi (2/130), Hujjatul Al Balighah (2/82), Al Adzkaar hal. 126.
[12] Disebutkan dalam kitab at Ta’ziyah : Lihat Hasyiyah Raddul Muhtâr (1/604), Syarh Al Kharasyi ‘ala al Mukhtashor Kholil (2/130); al Majmu’ Syarhu al Muhadzdzab (5/306), Al Mughni, (2/480), Al Inshaf (2/563).
[13] Al Mughni (3/480), Nailul Authôr (4/95).
[14] Hasyiah Raddul Muhtâr (1/604), Al Majmu’ (5/306).
[15] Hasyiah Raddul Muhtâr (1/604), Al Majmu’ (5/306), Al Inshaf (2/564), Kasysyaful Qina’ (2/160)
[16] HR Bukhori, 2/78; Muslim, 4/202
[17] Al Majmu’ (5/306)
[18] Al Inshôf (5/564)
[19] Lihat Hasyiyah Raddul Muhtâr (1/604), Al-Furû’ (2/294), Al Inshôf (2/564), Kasysyâful l Qinâ’ (2/160).
[20] Lihat Hasyiah Raddul Muhtâr (1/603), Syarh Al Kharasyi (2/129&130), Hâsyiyah Ad Dasuqiy (1/419), Al Majmu’ (5/305), Al Adzkar An Nawawiyah hlm. 127, Al Mughni (3/480), Kasysyaful Qinâ’ (2/159).
[21] Lihat al Inshaf (2/564), Kasysyaf al Qina’ (2/160).
Leave a Reply