Tahapan Perjalanan Manusia

TAHAPAN PERJALANAN MANUSIA

Tahapan Perjalanan Manusia Sejak Berbentuk Sperma Hingga Berujung Di Surga Atau Di Neraka

Segala puji hanya bagi Allah, Rabb alam semesta. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, Nabi yang termulia. Begitu pula kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat tiba. Amma ba’du.

  1. Masa Kehamilan dan Perbedaan Lamanya Janin di dalam Rahim

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًاۗحَمَلَتْهُ اُمُّه كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًاۗوَحَمْلُه وَفِصٰلُه ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا

Artinya: Kami perintahkan kepda manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…. ” (QS. Al-Ahqaf [46]: 15)

Pada ayat ini, Allah memberitahukan bahwa masa kehamilab dan penyapihan adalah tiga puluh bulan (dua setengah tahun). Sedangkan pada ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah, Allah mengabarkan bahwa sempurnanya masa menyusui adalah selama dua tahun penuh, sehingga dapat diketahui bahwa sisanya, yaitu enam bulan, adalah masa kehamilan yang layak.

Para ahli fiqih pun, dengan keterangan di atas, seluruhnya sepakat bahwa wanita tidak mungkin melahirkan kurang dari enam bulan (masa kehamilannya), kecuali jika terjadi keguguran. Kesimpulan para ulama fiqih ini didapat dari penjelasan para Sahabat.

Al-Baihaqi dan lainnya menyebutkan dari Abu Harb bin Abul Aswad Ad-Duali bahwa dihadapkan kepada Umat seorang wanita yang melahirkan pada enam bulan masa kehamilannya. Maka Umar berencana untuk merajamnya. Lalu berita itu sampai kepada Ali yang kemudian berkata: ” Wanita itu tidak boleh dirajam. ” Pernyataan tersebut sampai kepada Umat. Maka, diutuslah seseorang kepada Ali untuk menanyakannya, maka Ali menjawab dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua bulan penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…. ” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

 

Dan, firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَحَمْلُه وَفِصٰلُه ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا

Artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…. ” (QS. Al-Ahqaf [46]: 15)

“Maka, enam bulan itulah masa kehamilannya, dan dua tahun penuh itulah masa menyusui nya. Sehingga, wanita itu tidak berhak mendapatkan hukuman rajam, ” demikian kata Ali. Kemudian para Umar pun membebaskan wanita itu.

Dawud bin Abi Hind menyebutkan dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa beliau berkata: ” Apabila seorang wanita melahirkan pada saat usia kandungannya sembilan bulan, maka cukuplah baginya untuk menyusui selama dua puluh satu bulan.

Dan, apabila ia melahirkan pada saat usia kandungannya tujuh bulan, maka cukup baginya untuk menyusui selama dua puluh tiga bulan, lalu apabila ia melahirkan pada saat usia kandungannya enam bulan, maka cukup baginya untuk menyusui selama dua puluh empat bulan (dua tahun penuh), sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

وَحَمْلُه وَفِصٰلُه ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا

Artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 15).

Demikian pernyataan Ibnu Abbas.

  1. Batas Usia Kandungan

Adapun batas maksimal usia kandungan, Ibnul Mundzir berkata: ” Para ulama dalam permasalahan ini berbeda pendapat:

Segolongan ulama mengatakan bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah dua tahun. Pendapat ini diriwayatakan dari Aisyah.

Terdapat sebuah riwayat tentang kelahiran ad-Dahhak dan Harm bin Hayyan, bahwa masing-masing dari keduanya berada di dalam kandungan ibunya selama dua tahun. Inilah pendapat dari Sufyan ats-Tsauri.

Pendapat yang kedua dalam hal ini mengatakan bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah selama tiga tahun

Kami meriwayatkan dari al-Laits bin Sa’ad bahwa dia berkata: ” Seorang sahaya perempuan yang dimerdekakan Umar bin Abdullah mengalami masa kehamilan selama tiga tahun. ”

Pendapat yang ketiga dalam permasalahan ini menyebutkan bahwa waktu paling lama masa kehamilan adalah empat tahun. Demikianlah yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i.

Saya (Ibnul Qayyim) katakan bahwa riwayat dari Imam Ahmad dalam hal ini ada dua: riwayat yang pertama mengatakan bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah empat tahun, sedangkan riwayat yang kedua dari beliau menyatakan bahwa batas maksimalnya adalah dua tahun.

Sedangkan riwayat dari Imam Malik dalam masalah ini terjadi perbedaan. Riwayat yang masyhur dari beliau dan menurut para pengikutnya adalah sama seperti pendapat yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i (empat tahun). Ibnu Majisyun meriwayatkan hal tersebut dari Imam Malik, kemudian ia meralat kembali pendapatnya tersebut setelah mendengar kabar bahwa seorang wanita melahirkan pada saat usia kehamilannya mencapai lima tahun.

Dikisahkan dari ‘Abbad bin ‘Awwam, ia berkata: ” Seorang wanita yang tinggal bersama kami telah melahirkan anaknya setelah lima tahun dari masa kandungannya. Pada saat wanita itu melahirkan anaknya, kata ‘Abbad, rambutnya sudah (panjang) sampai ke sini seraya menunjuk ke arah pundaknya. Kemudian ketika seekor burung terbang melewatinya, maka anak itu berkata: ‘Husy!’ ”

Ada sebuah kisah dari Ibnu Ajlan, bahwa istrinya hamil selama lima tahun.

Pendapat yang kelima dalam hal ini adalah perkataan az-Zuhri, bahwa seorang wanita dapat mengalami masa kehamilan selama enam tahun ataupun tujuh tahun, di mana sangat anak bertahan di dalam perut ibunya. Az-Zuhri berkata: ” Sa’id bin Malik pernah kedatangan seorang wanita yang hamil selama tujuh tahun. ”

Sekelompok ulama berpendapat: ” Dalam permasalahan ini tidak boleh ada pembatasan dan penentuan waktu (tentang batas maksimal) masa kehamilan) yang didasari oleh ra’yu (pendapat pribadi). Pasalnya kita hanya mendapatkan penjelasan mengenai batas minimal masa kehamilan berdasarkan penafsiran al-Qur’an, yaitu selama enam bulan.

Karenanya, kita harus berpendapat sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an seraya mengikuti ketetapannya. Adapun batas maksimal, kami tidak menemukan dasarnya. ”

Pendapat ini adalah perkataan Abu Ubaid. Dengan dasar inilah, ia menolak hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, seraya berkata: ” Wanita yang meriwayatkan hal itu dari Aisyah adalah seorang wanita yang tidak dikenal identitasnya.

Disamping itu, para ulama yang hafal tentang hal itu telah bersepakat bahwa wanita yang melahirkan seorang anak kurang dari enam bulan semenjak pernikahannya dengan seorang laki-laki, maka anak itu tidak boleh dinasabkan kepada laki-laki (suaminya) tersebut. Namun, apabila ia melahirkannya setelah enam bulan semenjak pernikahannya, maka anak itu adalah anak dari laki-laki (suami) yang menikahinya.

Hal ini dan contoh yang semisalnya menunjukkan bahwa alam semesta yang merupakan objek kajian para ahli biologi, telah diatur oleh Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa yang dapat berbuat apa saja pada alam ini menurut kehendak-Nya. Dia dapat menciptakan beraneka ragam bentuk pada makhluk-Nya sesuai dengan keinginan-Nya.

Semua itu menunjukkan kepada setiap orang yang memiliki akal pikiran tentang keberadaan-Nya, keesaan-Nya, serta segala sifat kesempurnaan dan kemuliaan yang melekat pada-Nya. Seandainya bukan karena Allah, dari manakah asalnya penciptaan yang sarat perbedaan dan keragaman yang sangat tampak dengan jelas di alam ini? Dan, seandainya itu semua terjadi karena proses alam, lalu dari manakah asal penciptaan manusia yang diklasifikasikan menjadi empat macam?

Pertama, manusia yang tidak berayah dan tidak beribu, misalnya seperti Nabi Adam.

Kedua, manusia yang berasal dari seorang lelaki saja tanpa ada ibunya, misalnya seperti ibunda Hawwa shalawatullahi ‘alaiha

Ketiga, manusia yang berasal dari perempuan saja tanpa ada ayahnya, seperti halnya Nabi ‘Isa Al-Masih.

Keempat, manusia yang berasal dari lelaki dan perempuan, seperti kelahiran manusia pada umumnya.

Kemudian, dari manakah sumber kekuatan di alam raya ini yang dapat menyusun seorang makhluk dengan menentukan ketetapannya, pembentukannya, penyusunan anggota-anggota tubuhnya, dan keajaiban-keajaiban penciptaan lainnya yang telah disusun sedemikian rupa secara sempurna dalam setetes nuthfah yang hina? Kalaulah tidak karena ciptaan Allah, tentu keajaiban-keajaiban tersebut tidak akan ditemukan pada sebuah air yang menjijikan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يٰاَيُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْم الَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوّٰاكَ فَعَدَلك فِيْٓ اَيِّ صُوْرَةٍ مَّا شَاۤءَ رَكَّبَكََِۗۙ

Artinya: “Hai manusia, apakah yang telah memperdsyakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. ” (QS. Al-Infithar [82]: 6-8)

 

Allah telah menerangkan secara langsung petunjuk yang sangat jelas, yaitu berupa sesuatu yang Dia perlihatkan kepada setiap hamba tentang proses penciptaan dirinya, dimulai dari asal mula keadaannya, kejadiannya, penyempurnaan ciptaannya, keajaiban penciptaannya, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya serta bukti-bukti hikmah-Nya yang ada pada dirinya.

Allah menyeru umat manusia untuk memperhatikan awal penciptaan mereka hingga menjadi sempurna.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يٰاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْۗ وَنُقِرُّ فِى الْاَرْحَامِ مَا نَشَاۤءُ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوْٓا اَشُدَّكُمْۚ وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّتَوَفّٰى وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرَدُّ اِلٰٓى اَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔاۗ

Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang didapatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. ” (QS. Al-Hajj [22]: 5)

Ayat senada sangat banyak sekali di dalam Al-Qur’an bagi orang yang mau memperhatikannya dan memikirkannya. Al-Qur’an menjadi saksi dirimu yang akan meminta tanggung jawabmu. Lalu siapakah yang telah menurunkan makhluk ini (manusia) kepada alam raya dengan dibekali oleh kekuatan yang terbatas?

Siapakah yang menyempurnakan penciptaan makhluk ini, membuatnya indah, merinci pembagian fungsi tulang-tulangnya, menghubungkannya dengan kuat antara satu sama lain sesuai dengan berbagai macam bentuk, ukuran, manfaat, dan sifat-sifatnya?

Siapakah yang telah menjadikan rangkaian otot, daging, dan urat-urat syaraf di dalam nuthfah?

Siapakah yang membuka rongga-rongga dan saluran-saluran di dalamnya?

Siapakah yang membuka pendengaran dan penglihatannya?

Siapakah yang menyusun di dalam nuthfah lidah untuk berbicara, dua buah mata untuk melihat, dua buah telinga untuk mendengar, dan dua buah bibir?

Siapakah yang telah menitipkan dada serta segala perangkat dan kegunaannya di dalam nuthfah itu, sehingga seandainya anda dapat melihatnya, tentu anda akan berdecak kagum menyaksikan keajaibannya?

Siapakah yang telah menciptakan tempat menampung air dan tempat bermuaranya makanan dan minuman (lambung) di dalam tubuh, lalu mengalirkannya pada sebuah saluran dan rongga-rongga, sehingga semua organ tubuh dapat teraliri dengan cairan enzim yang dibutuhkan oleh setiap bagiannya melalui sebuah saluran khusus yang tidak akan keliru dalam proses kerjanya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

قَدْ عَلِمَ كُلُّ اُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ…

Artinya: “… Sungguh setiap orang telah mengetahui tempat minumnya masing-masing…. ” (QS. Al-Baqarah [2]: 60)

Siapakah yang telah mengambil kekuatan fisik dari tubuh tersebut, yang sebelumnya dengan kekuatan tersebut, berbagai macam kepentingan dan manfaat dapat diraihnya?

Siapakah yang telah menitipkan padanya ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kreasi-kreasi yang mencengangkan? Siapakah yang mengajarkan kepadanya suatu yang belum dia ketahui, yang telah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan jalan ketakwaan?

Siapakah yang memindahkannya dalam berbagai tahapan penciptaan dari satu fase ke fase yang lain, dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain, sampai akhirnya menjadi sosok makhluk hidup yang mampu berfikir, mendengar, melihat, mengetahui, berbicara, memerintah dan melarang, serta menguasi burung-burung yang ada di langit, ikan-ikan di lautan, binatang-binatang buas di gurun, dan mengetahui apa yang tidak diketahui oleh makhluk-makhluk lainnya? Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

قُتِلَ الْاِنْسَانُ مَآ اَكْفَرَه مِنْ اَيِّ شَيْءٍ خَلَقَه مِنْ نُّطْفَةٍۗ خَلَقَه فَقَدَّرَه ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَه ثُمَّ اَمَاتَه فَاَقْبَرَه ثُمَّ اِذَا شَاۤءَ اَنْشَرَه

Artinya: “Biasalah manusia; alangkah sangat amat kekafirannya? Dan apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali. ” (QS. ‘Abasa [80]: 17-22)

  1. Indera Terbentuk Setelah Lahir?

Ada sekelompok kaum intelektual yang berbicara tentang penciptaan manusia beranggapan bahwa indera pendengaran dan indera penglihatan diberikan kepada manusia setelah ia lahir dan keluar dari perut ibunya. Mereka beragumentasi dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ” (QS. An-Nahl [16]: 78)

Mereka beralasan bahwa ketika seorang manusia berada dalam perut ibunya, ia tidak dapat melihat sesuatu pun dan tidak dapat mendengar suara apa pun. Maka, pemberian indera pendengaran dan indera penglihatan ketika itu, tidak ada gunanya.

Apa yang mereka katakan itu tidak benar. Ayat al-Qur’an di atas tidak dapat mereka gunakan sebagai hujjah. Karena, huruf ‘wawu’ pada ayat tersebut tidak bermakna penyebutan secara berurutan. Sebaliknya, bahkan ayat tersebut dapat digunakan untuk membantah pendapat mereka. Sebab, hati manusia, sebagaimana ayat di atas, telah diciptakan pada saat manusia berada di dalam perut ibunya. Dalam hal ini, telah disebutkan sebuah hadits yang shahih dari Hudzaifah bin Usaid, bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: “Apabila nuthfah telah melewati (masa menetapnya di dalam rahim) selama empat puluh dua malam, maka Allah mengutus kepadanya seorang Malaikat, lalu ia diperintah untuk membentuk rupanya, menciptakan indera pendengarannya, indera penglihatannya, kulitnya, dan dagingnya….”

Demikianlah, meskipun yang dimaksud dengan pendengaran dan penglihatan dalam hadits itu adalah mata dan telinga, namun potensi untuk mendengar dan melihat sudah ada padanya. Adapun melihat dan mendengar secara langsung dengan mata dan telinga, maka hal itu tidak terjadi karena adanya selaput itu hilang dengan keluarnya ia dari perut ibunya, maka barulah alat-alat indera itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam.

Bersambung…

REFERENSI:

As-Syafi’i, Cetakan pertama: Syawal 1431 H/Oktober 2010 M, Cetakan kelima: Muharram 1440 H/September 2010 M

Nama: Sherly Marsella (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

Baca juga artikel:

Khauf Rasa Takut

Belajar Tauhid Secara Otodidak

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.