
Syirik Dalam Tawakal – Tawakal dalam bahasa bersandar dan memasrahkan. Ia termasuk amalan hati. Dikatakn dalam (bahasa Arab), توكل في المر artinya, dia menjamin melaksanakan urusa tersebut. Dikatakan, وكلت أمري الى فلان artinya, aku bersandar pada fulan dalam urusanku.
Tawakal kepada Allah trmask ibadah yang sangat besar yang wajib dilaksanakan kepada Allah. Allah -subhanahu wata’ala- berfirman:
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya:”Dan hanya kepada Allahlah kalian bertawakal, jika kalian adalah orang-orang yang beriman.”(al-Maidah:23)
Tawakal kepada Allah –subhanahu wata’ala– memiliki beberapa bentuk:
Pertama, tawakal kepada suatu urusan-urusan yang tidak ada yang ampu kecuali Allah, seperti kepada orang yagn sudah mati, orang-orang yang tidak hadir, thagut dan lainnya, dalam mewujudkan apa yang diharapakan, seperti kemenangan, panjagaan, rizki atau syafa’at. Ini adalah syirik besar.
Kedua, tawakal dalam sebab-sebab lahir, seperti orang yang bersandar kepada raja atau gubernur atau orang yang mampu dalam apa yang dia mampu, berupa memberi atau menolak gangguan dan yang semisalnya. Ini syirik kecil, karena dia bersandar pada seseorang.
Ketiga, tawakal pada seseorang untuk melakukan pekerjaan yang dia mampu melakukannya, seperti jual beli, ini boleh. Tetapi dia tidak boleh bersandar dalam urusan yang dia usahakan atau dia wakilkan kepada orang lain, karena menyerahkan sesuatu kepada seseorang dalam mewujudkan hal-hal mubah termasuk sebab, dan sebuah sbab tidak dipijak secara total, akan tetapi Allah peletak dan pengada sebab akibat.
Tawakal kepada Allah –subhanahu wata’ala– dalam menepis mudharat, mewujudakan rizki dan perkara yang hanya Allah semata yang kuasa atasnya, termasuk bentuk ibadah yang paling besar. Dan tawakal kepada selain Allah dalam hal ini, termasuk syirik kecil.
Tawakal kepada Allah merupakan kewajiban yang wajib di ikhlaskan hanya kepada Allah semata. Ini adalah bentuk ibadah yang menyeluruh, derajat tauhid tertinggi, teragung, dan termulia, karena ia akan melahirkan amalan-amalan shalih, karena bila seseorang bersandar kepada Allah dalam segala urusannya, agama dan dunia, bukan kepada selain-Nya, maka ikhlas dan muamalahnya dengan Allah menjadi shahih.
Tawakal kepada Allah termasuk diantara kedudukan yang tinggi:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya:”Hanya kepadaMu-lah kami memohon pertolongan.”(al-Fatiha:5)
Tauhid yang sempurna dengan tiga bentuknya tidak terwujud kecuali dengan kesempurnaan tawakal kepada Allah -subhanahu wata’ala-. Allah berfirman:
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
Artinya:”(Dia-lah) Tuhan Timur dan Barat, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, maka jadiakanlah Dia sebagai pelindungan.”(al-Muzammil:9)
Tawakal akan mempermudah segala urusan, Allah berfirman:
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Artinya:”Dan barangsiapa yangbertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya.”(ath-Thalaq:3)
Imam Ibnul Qayim -rahimahullah- berkata tentang firman Allah ta’ala:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya:”Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian adalah orang-orang yang beriman.”(al-Maidah:23)
“Yakni, Allah menjadikan tawakal sebagai syarat iman. Ini menunjukan hilangnya iman ketika tawakal tidak ada.”
Semakin kuat iman seorang hamba, semakin kuat tawakalnya. Bila iman lemah, maka tawakal pun akan lemah.
Allah –subhanahu wata’ala– menggabungkan dalam beberapa ayat di dalam kitab-Nya anara tawakal dan ibadah, tawakal dengan iman, tawakal dengan taqwa, tawakal dengan islam, tawakal dengan hidayah, ini menunjukan bahwa tawakal merupakan dasar bagi derajat-derajat iman, ihsan dan semua amal islam, kedudukannya seperti kepala bagi tubuh, sebagaimana tidak tegak kecuali dengan tubuh, maka demikian juga iman, kedudukannya dan amal-amalnya kecuali diatas pilar tawakal.
Tawakal kepada Allah tidak bertentangan dengan berusaha mengikuti sebab akibat, karena Allah menetapkan takdir-Nya terkait dengan sebab-sebab. Allah memerintahkan melakukan sebab-sebab dan Dia juga memerintahkan agar bertawakal kepada-Nya. Melakukan sebab merupakan ketaatan kepada-Nya, karena Allah memerintahkannya, ia termasuk amal perbuatan anggota tubuh, sedangkan tawakal merupakan amalan hati, ia adalah iman kepada Allah.
Allah –sunhanahu wata’ala– berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Bersiap siagalah.”(an-Nisa:71)
Dan Allah juga berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya:”Apabila shalat telah selesai dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di bumi dan carilah karunia Allah.” (al-Jumu’ah:10)
Sebagian Ulama berkata,”Barangsiapa menggugat aktivitas, yakni usaha dan mengikuti sebab akibat, maka dia menggugat sunnah, barangsiapa menggugat tawakal, maka dia menggugat iman.”
Imam Ibnu Rajab -rahimahullah– berkata, amal yang dilakukan seorang hamba terbagi menjadi tiga:
Pertama, ketaatan yang Allah perintahkan kepada hamaba-Nya dan Dia jadikan segabagai sebab keselamatan dari api neraka dan masuk surga. Ini harus dilakukan disertai tawakal kepada kepada-Nya, memohon bantuan-Nya padanya, karena tidak ada daya dan kekutan kecuali karena Allah, apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, apa yang tidak, pasti tidak akan terjadi. Barangsiapa yang melalalikan sebagian dari apa yang diwajibkan atasnya dari hal itu, dia berhak di hukum di dunia dan di akhirat, dari sisi syariat atau takdir.
Kedua, hukum sebab akibat yang Allah tetapkan berlaku di dunia dan Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya agar mengikutinya, seperti makan saat lapar, minum saat haus, berteduh saat panas, menghangatkan badan saat dingin dan yang semisalnya, maka itu wajib melakukan sebab-sebabnya. Barangsiapa yang melalaikannya hingga dia tertimpa mudharat karenanya padahal sebenarnya dia mampu menggunakannya, maka dia dianggap bersalah yang berhak di hukum, tetapi Allah memberikan sebagian hamba-Nya kekuatan dalam hal ini melebihi yang lain, bila dia melakukan sesuatu yang sejalan dengan kekuatan yang dimilikinya secara khusus, maka boleh-boleh saja, karena itu Nabi -shalallahu ‘alaihi wasalam- berpuasa wishal dan melarang para sahabat beliau melakukannya.
Ketiga, apa yang Allah tetapkan berlaku di dunia secara umum dan biasanya demikian…”
Masih kata Ibnu Rajab,”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata,
“Orang-orang Yaman menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, mereka bakata,’Kami adalah orang-orang yang bertawakal.’ mereka menunaikan ibadah haji, mereka datang ke Makkah dan meminta-minta , maka Allah menurunkan firman-Nya:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Artinya:”Bawalah bekal (untuk perjalanan haji kalian dn jangan lupa bekal akhirat), karena sesugguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.”(al-Baqarah:179)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang berpangk tangan dan tidak bekerja, lalu dia berkata, lalu Dia berkata,’Aku bertawakal kepada Allah.” Maka beliau menjawab,’Manusia semuanya memang harus bertawakal kepada Allah, tetapi mereka harus membiasakan diri dari berusaha … Para Nabi saja bekerja menyewakan diri mereka, Nabi -shalallahu a’alaihi wasalam- pernah menyewakan diri beliau untuk bekerja, begitu pula Abu Bakr dan Umar, dan mereka tidak berkata,”Tidak usah berusaha, nanti Allah menurunkan rizkinya kepada kita.
Semua ini menunjukan bahwa tawakal tidak bertentangan dengan usaha melakuakan sebab-sebab mubah, bahkan menyatukan keduanya lebih utama.
Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu– bertemu dengan beberapa orang Yaman, Umar bertanya,”Siapa kalian ? mereka menjawab,’Kami adalah orang-orag yang bertawakal.’Tidak, akan tetapi kalian adalah orang-orang yang makan dengan meminta kepada orang lain. Sesungguhnya orang yang bertawakal adalah orang yang menanam biji benihnya di tanah dan bertawakal kepada Allah -subhanahu wata’ala-.”
Wallahu ‘alam…
Diringkas Oleh : Amirudin
Judul Kitab : “AL-IRSYAD ILA SHAHIH AL-’ITIQAD WA RAD ‘ALA AHLI ASY-SYIRK WA AL-ILHAD”
Penulis : Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Penerbit : Maktabah Dar al-Minhaj
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar