Sikap Kaum Musrikin Terhadap Rasulullah
Beragam penindasan terhadap kaum muslimim di awal tahapan dakwah yang kedua yakni dakwah secara terang-terangan semakin menjadi hingga akhirnya merekapun lakukan itu kepada Rasulullah sendiri, yang mana Rasulullah kala itu tidaklah mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah orang yang terhormat, berwibawa dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan semuanya segan dan mengagungkannya. Setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan perbutan buruk lainya terhadap beliau selain manusia manusia kerdil dan picik. Terlebih lagi, beliau juga mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, yang merupakan tokoh yang diperhitungkan di Makkah, terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk melecehkan orang yang sudah dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak
Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan tapal larangan yang bila tersentuh akan berakibat tidak baik. Problem tersebut malah memberi inspirasi bagi mereka untuk memilih jalan berunding dengan sang sesepuh terbesar, Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra tegas, disisipi dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sehingga dia mau tunduk dan mendengarkan apa yang mereka katakan.
Ibnu Ishaq Rahimahullah berkata, “sekelompok tokoh bangsawan kaum quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, menganggap kita menyimpang dan menganggap nenek kita menyimpang dan menganggap nenek moyang kita sesat. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif: mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu adalah sama seperti kami, tidak sependapat dengannya, oleh karena itu kami berharap dapat mengandalkanmu dalam menghentikannya.
Abu Thalib berkata kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan menjawabnya dengan jawaban yang halus dan baik. Setelah itu merekapun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasulullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya: menampakan agama Allah dan mengajak manusia kepadanya.[1]
Akan tetapi, orang-orang quraisy tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat Rasulullah terus melakukan aktivitas dan dakwahnya. Bahkan hak itu semakin membuat mereka mempersoalkan dan saling memprovokasi. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menghadap Abu Thalib sekali lagi. Kali ini, dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada sebelumnya.
Para pemuka kaum quraisy Kembali mendatangi Abu Thalib seraya berkata kepadanya, “wahai Abu Thalib! Sesunggguhnya usia, kebangsawanan dan kedudukanmu bernilai di sisi kami. Dan sesungguhnya pula, kami telah memintamu menghentikan polah keponakanmu itu, namun engkau tidak mengindahkannya. Demi Allah, sesungguhnya kami tidak sabar lagi atas perbuatanya mencela nenek moyang kami, menganggap kami sesat dan mencemooh tuhan-tuhan kami, kecuali jika engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus setelah itu, kita lihat siapa diantara dua pihak ini yang akan binasa.”
Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut dirasakan berat oleh Abu Thalib, karenanya dia menyongsong Rasulullah seraya berkata kepadanya, “Wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangi dan mengatakan ini dan itu kepadaku. Maka, kasihanilah aku dan dirimu juga. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak mampu aku lakukan!”
Rasulullah mengira bahwa dengan ini, pamannya telah menghentikannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya, maka beliau pun menjawab, “wahai pamanku! Demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya,” beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri dan meninggalkan pamannya, namun pamannya memanggilnya dan tatkala beliau menghampirinya, dia berkata kepadanya, “pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang engkau suka demi Allah, sekali kali aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapapun![2]
Lalu dia merangkai beberapa untai bait puisi (artinya),
Demi Allah! Mereka semua tidak dapat menjamahmu
Hingga aku mati berkubang tanah
Sampaikanlah dengan lugas urusanmu, tiada cela bagimu.
Karenanya bergembiralah kamu dan bersuka citalah[3]
Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih melakukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak beringinan untuk menghentikan pembelaannya pada Rasululah dan hatinya telah bulat untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya untuk membujuknya, mereka mambawa Imarah bin Al-Walib bin Al-Mughirah ke hadapannya seraya berujar, “Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini adalah seorang pemuda yang paling gagah dan tampan di kalangan kaum quraisy! Ambilah dia dan engkau boleh menjadi penanggung jawab dan pembelanya. Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan agama nenek moyangmu itu, mencerai beraikan persatuan kaummu dan menganggap sesat kaum cendekiawan mereka agar kami dapat membunuhnya, ini adalah barter antar manusia dengan manusia diantara kita.“
Abu Thalib menjawab, “Demi Allah! Sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku memberinya makan demi kalian, sementara aku memberikan ana ku untuk kalian bunuh? Demi Allah! Ini tidak akan pernah terjadi”
Al-Muth’im bin Adi bin Naufal bin Abdu Manaf berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat engkau tidak mau menerima sesuatu dari tawaran mereka?”
Dia manjawab, “Demi Allah! Kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan tetapi engkau telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikan dengan kaum quraisy. Karenanya, lakukakanlah apa yang ingin kalian lakukan!”[4]
Manakala kaum quaraisy gagal dalam perundingan tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasulullah dan menghentikan dakwahnya kepada Allah, maka merekapun memutuskan untuk memilh Langkah yang sebelumnya mereka berupaya untuk mereka hindari dan mereka jauhi karena khawatir akan akibat serta implikasinya, yaitu mencelakakan Rasulullah.
Kaum quraisy akhirnya membatalkan sikap pengagungan dan penghormatan yang dulu pernah mereka tampakan terhadap Rasulullah semenjak munculnya dakwah Islamiyah di lapangan. Memang sulit mengubah sikap yang terbiasa dengan kebengisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, penggangguan, dan lain sebagainya. Tentunya, sudah lumrah bila yang menjadi garda terdepan dan ujung tombaknya adalah Abu Lahab, sebab dia adalah salah seorang pemuka suku Bani Hasyim. Dia tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah sebeum kaum quraisy berkeinginan melakukan hal itu. Telah kita ketahui di muka bagaimana perilaku Abu Lahab terhadap nabi di Majlis bani Hasyim dan di bukit Shafa. Sebelum beliau diutus, Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya: Utbah dan Utaibah dengan kedua putrinya Rasulullah Rukayyah dan Ummu Kultsum. Namun tatkala beliau diutus menjadi rasul, dia memerintahkan kedua anaknya agar menceraikan kedua putri beliau dengan cara yang kasar dan keras, hingga keduanyapun menceraikan kedua putri Rasulullah tersebut.[5]
Ketika Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat, Abu Lahab amat gembira dan mendatangi semua kaum musyrikin untuk memberitakan perihal Muhammad yang sudah menjadi orang yang terputus (keturunannya).[6]
Telah disebutkan di atas, bahwa Abu Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya untuk mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin Abdullah al-Muaharibi meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah. akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukuli beliau dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah.[7]
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil bin Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah pula frekuensi permusuhannya terhadap Nabi dibanding sang suami. Dia pernah membawa duri dan menyerakkan di jalan yang dilaluinya oleh Nabi bahkan di depan pintu rumah beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang galak, selalu mencaci Rasulullah, mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulut api fitnah serta mengobarkan perang membabi buta terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Al-Quran menjulukinya sebagai Hmmah al-Hathab (Wanita pembawa kayu bakar)
Ketika dia mendengar ayat Al-Quran yang turun mengenai dirinya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah yang sedang duduk duduk bersama Abu Bakar ash-Shidiq di dekat Ka’bah. Tidak lupa, dia membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri di hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga hanya dapat melihat Abu Bakar, lantas dia berkata, “wahai Abu Bakar” mana sahabatmu itu? Aku mendengar bahwa dia telah mengejekku, Demi Allah, andai aku menemuinya, niscaya akan aku tampar mulutnya dengan batu yang ada di genggamanku ini. Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang penyair! Kemudian dia menguntai bait syair berikut (baitnya):
Si tercela yang kami tentang
Urusannya yang kami tentang
Dinnya yang kami benci
Kemudian dia berlalu, setelah kepergiannya, abu Bakar berkata, “wahai Rasulullah! Tidakkah engkau lihat dia dapat , melihatmu?”
Beliau menjawab “dia tidak dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangnnya dariku.”[8]
Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkan kisah di atas, di dalam riwayatnya itu disebutkan bahwa Ketika dia (ummul Jamil) berdiri dihadapn Abu Bakar! Sxahabatmu itu telah mengejek kami!”
Abu Bakar menjawab, “Tidak, demi Rabb bangunan ini (ka’Bah)! Dia tidak pernah berbicara dengan merangkai syair atau melantunkannya.”
Dia menjawab “sungguh! Engkau selalu membenarkan (Muhammad)”
Demikianlah pula yang dilakukan Abu Lahab, padahal dia adalah paman beliau sekaligus tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga beliau yang lain yang selalu menggangu beliau di saat sedang berada di rumahnya.
Berbeda lagi dengan perlakuan Ummayyah bin Khalaf; bila melihat Rasulullah dia langsung mengumpat dan mencelanya, karena itu turunlah terhadapnya ayat,
ويل لكل همزة لمزة
Artinya: “kecelakaan bagi setiap pengumpat (al-Humazah) dan pencela, “ (QS. Al-Humazah: 1)
Bentuk pelecehan lainnya, al-Akhnas bin Syariq at-Tsaqafi sellau mencaci maki Rasalullah karena itu Al-Quran melabelkan terhadapnya Sembilan sifat yang menyingkap perangainya tersebut, yaitu firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍۙ ﴿١٠﴾ هَمَّازٍ مَّشَّاۤءٍۢ بِنَمِيْمٍۙ ﴿١١﴾ مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ اَثِيْمٍۙ ﴿١٢﴾ عُتُلٍّۢ بَعْدَ ذٰلِكَ زَنِيْمٍۙ ﴿١٣﴾
Artinya: “Dan jangalah kamu ikuti setia orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang enggan berbuat baik, yang melalui batas lag banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya. “ (QS. Al-Qalam: 12-13)
Beragam penindasan yang dilakukan kaum quraisy yang merupakan tetangganya tersebut tidak sampai disini, dan akan dibahas di bagian selanjutnya. Semoga semakin menguatkan tekad kita dan menjadi teladan bagi kita dalam kesabaran.
Referensi : Sirah Nabawiah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad
Penulis : Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri
Diringkas oleh : Iis Rosmi Rojibah S.S. (pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadist)
[1] Ibnu Hisyam, op.cit., hal. 205.
[2] Ibnu Hisyam, op.cit., hal. 165-166.
[3] Lihat Dala ‘il an-Nubuwwah, karya al-Baihaqi, 2/188.
[4] Ibnu Hisyam, op.cit., hal 266,267.
[5] Usd al-Ghabah, op.cit., 6, pada Biografi Rukayyah dan Ummu Kultsum.
[6] Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Kaustar: (orang-orang di Zaman jahiliyah mempunyai anggapan apabila seseorang kehialnagn putraputranya karena wafat, maka terputuslah sejrahnya. Karena garis keturunan tersambung melalui anak laki-laki bukan anak perempuan.
[7] Kanz al-Ummal. 12/449.
[8] Lihat shirah Ibnu Hisyam, op.cit., hal. 335, 336.
Baca juga artikel:
Leave a Reply