Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

SYARAT-SYARAT AKAD JUAL BELI

Hukum Menjual Barang Yang Belum Selesai Diserahterimakan

Sebagai contoh : bila anda membeli kain dari  pabrik dalam jumlah besar, anda belum menerima kain tersebut. Dan kain tersebut masih berada di gudang pabrik, maka anda tidak dibenarkan untuk menjualnya kembali kapada orang lain.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ»، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ»

“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya kembali hingga dia selesai menerimanya.” Ibnu Abbas berkata : “ dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.”

Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim. Lafadz Muslim

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata :

عن ابن عمر، قال: ابتعت زيتاً في السوق، فلما استوجبته لقِيني رجلٌ، فأعطاني به ربحاً حسناً، فأردتُ أن أضرِبَ على يدِه، فأخذ رجلٌ من خَلْفي بذراعي، فالتفتُّ فإذا زيدُ بن ثابت، فقال: لا تَبِعْهُ حيث ابتعتَه حتى تَحُوزَهُ إلى رَحْلِكَ، فإن رسول الله – صلَّى الله عليه وسلم – نهى أن تُباع السلعُ حيث تُبتاعُ حتى يَحُوزَهَا التجارُ إلى رَحالهم

” Saya pernah membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, adaseorang laki laki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut,kemudian dia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka aku pun hendak menyalami tangannya ( guna menerima tawaran dari orang tersebut ), tiba tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku, maka aku pun menoleh, dan dia ternyata Zaid bin Tsabit, kemudian dia berkata, :janganlah engkau jual minyak itu ditempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing masing.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim

Diantara hikmah larangan ini adalah :

pertama  : kepemilikan penjual terhadap barang yang belum diterima bisa saja batal, karena kerusakan atau bencana atau yang lain.

Kedua : sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas kepada thawus

Thawus berkata :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ” (مُرْجَئُونَ): مُؤَخَّرُونَ “

” saya bertanya kepada Ibnu Abbas, bagaimana bisa demikian, ? Dia menjawab : “itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham. Sedangkan bahan makanan ditunda”.

Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dan Muslim.

Ibnu hajar menjelaskan : “bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar dan dia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan dia belum menerima bahan makanan yang dia beli, kemudian dia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan dia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan akan orang ini telah menjual ( menukar ) uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.”

fathul bari, ibnu hajar al asqalaniy 4 / 348 – 349.

Hal ini tidak ada bedanya, baik pembayaran dengan cash atau hutang, dengan pembayaran dicicil atau tunai, selama barang belum dipindahkan tempat dan kepemilikan maka transaksi tersebut adalah tidak sah.

Bila pembeli telah memindahkan ke tempat lain, bukan tempat penjual pertama ( bukan tempat pembeliannya ), maka sudah cukup sebagai penerimaan yang sah. Hal ini berdasarkan penuturan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma :

كنا نشتري الطعامَ من الركبان جزَافاً، فنهانا رسول الله -صلي الله عليه وسلم – أن نَبيعه حتى ننقُله من مكانه.

“Dahulu kami membeli bahan makanan dari para pengendara ( yang datang ) tanpa takaran, kemudian rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang kami dari menjualnya kembali hingga kami membawanya pindah dari tempat pembeliannya.” riwayat Imam Ahmad

كنا في زَمَنِ رسولِ الله – صلَّى الله عليه وسلم – نبتاع الطعامَ، فيبعث علينا مَن يأمُرنا بانتقاله مِن المكان الذي ابتعناه فيه إلى مكانٍ سواهُ قبلَ أن نبيعَه، يعني جِزَافاً (2).

pada riwayat lain :”Dahulu di zaman Nabi shalallahu alaihi wasallam, kami biasa membeli bahan makanan, kemudian beliau mengutus seseorang yang memerintahkan kami agar membawanya pindah dari tempat kami membelinya ke tempat lain, sebelum kami menjualnya kembali.” riwayat abu Ya’la

كانوا يَشْتَرونَ الطعامَ مِن الرُّكبانِ على عَهْدِ النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم -، فيَبْعَثُ عليهِم مَن يَمْنَعُهم أن يَبيعوه حيث اشتَرَوْهُ، حتى يَنْقُلُوهُ حيثُ يُباعُ الطعامُ

pada riwayat lain : “Dahulu pada zaman Nabi shalallahu alaihi wasallam, mereka para shahabat membeli bahan makanan dari para pengendara, kemudian beliau mengutus seseorang yang melarang mereka dari menjualnya kembali di tempat pembeliannya hingga mereka membawanya pindah ke tempat yang biasa menjadi tempat jual beli bahan makanan.” Riwayat Imam Bukhari

«قَدْ رَأَيْتُ النَّاسَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ابْتَاعُوا الطَّعَامَ جِزَافًا، يُضْرَبُونَ فِي أَنْ يَبِيعُوهُ فِي مَكَانِهِمْ، وَذَلِكِ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِهِمْ»

Pada riwayat lain : “Dahulu pada zaman Rasulullah aku melihat bila ada orang yang membeli bahan makanan dengan cara diborong ( tanpa ditakar ), mereka dilarang dari menjualnya kembali ditempat mereka membelinya hingga mereka memindahkannya ketempat lain.” Riwayat Muslim

Mungkin kita akan berpikir, semisal ada seseorang membeli barang dengan diborong atau tidak, kemudian dia membayar kontan kepada penjual pertama, setelah selesai dia masih di tempat pembeliannya dan barang juga masih ditempat penjual pertama, kemudian dia berteriak memanggil pembeli dengan menawarkan barang yang dibelinya, apakah seperti ini juga dilarang, jika masih terlarang maka apakah hikmahnya,?Jika dilihat dari hikmahnya yang disebutkan diatas, sepertinya maasalah ini tidak masuk kesalah satunya.

Jawabanya adalah tetap dilarang, sesuai dengan hadits Ibnu Umar diatas, bahwa Nabi melarang para sahabat untuk menjual kembali barang yang dibeli ditempat pembelian, tempat pedagang pengendara menurunkan dan berhenti ketika menawarkan barang, sampai mereka beralih tempat baik di tempat biasa untuk berjualan atau dia mengambil tempat untuk berjualan. Hikmah yang terbesar adalah taatnya seseorang kepada perintah Nabi shalallahu alaihi wasalaam, dan dengannya diharapkan mendapat barakah, dan selamat dari harta haram.

Hukum Perkreditan Mobil , Rumah Dan Barang Barang Serupa.

Terkait syarat yang kelima ini juga, adalah penjualan mobil rumah dan motor dengan kredit. Dan transaksi yang terjadi di masyarakat umum, kebiasaannya melibatkan tiga pihak, yaitu pihak penyedia barang, pembeli, dan bank atau lembaga pembiayaan.

Transaksi seperti ini ada dua penafsiran :

             Pertama : bank atau lembaga keuangan menghutangi pembeli motor, dengan sejumlah uang 10 juta. Dan dalam waktu yang sama bank langsung membayarkannya ke showroom atau dealer, ( artinya uang tidak diberikan kepada pembeli, tapi langsung diserahkan ke penjual, dan terkadang pembeli hanya tau nantinya pembayaran lansung ke bank ). selanjutnya pihak Bank menuntut pembeli untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah 13 juta.

Bila keaadaannya seperti ini, maka ini jelas jelas riba nasi’ah ( riba jahiliyah ),

Kedua : Bank telah membeli motor tersebut dari showroom , dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut, dengan menarik keuntungan sebesar 3 juta,

bila penafsiran ini benar, maka bank telah menjual motor yang dia beli sebelum dia pindahkan dari tempat dielar / showroom ke tempatnya sendiri. Maka akad seperti ini adalah tidak sah.

Hukum Menjual Air , Api Dan Rumput.

Diantara penerapan syarat ini adalah larangan menjualbelikan air sumur, api dan rumput. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam, :

النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ : فِي الْكَلَأِ ، وَالْمَاءِ ، وَالنَّارِ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

“seluruh manusia adalah sekutu dalam tiga perkara : air, rumput dan api,” diriwayatkan oleh Abu Dawud dan abu udaid.

Diantara hikmah larangan ini adalah karena air sumur bukanlah upaya manusia. Akan tetapi murni karena karunia Allah subhanahu wata’ala. Realitanya, berapa banyak orang menggali sumur yang dalam tidak dapat air, dan berapa banyak orang menggali sumur yang dangkal dan keluar air yang melimpah.

Adapun bila air sumur telah dia miliki, dengan menimbanya dan ditempatkan di dalam bejana. Maka dia boleh menjualnya. Karena dengan ditimba dan ditampung air itu telah menjadi miliknya. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :

مَنْ سبق إلى ما لم يَسْبقْه إليه مسلمٌ فهو له”

“Barang siapa lebih dahulu mendapatkan suatu benda yang belum pernah dimiliki oleh seorang muslimpun maka itu menjadi miliknya.”

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud

Adapun rerumputan masuk juga tanaman dan tumbuhan maka mengenai hukum menjualnya adalah sebagia berikut :

Pertama :

Tanaman dan tumbuhan yang sengaja ditanam oleh pemiliknya, maka itu aldalah miliknya dan boleh memperjualbelikannya. Dengan syarat tanaman yang hendak dijual adalah sudah matang, atau siap konsumsi, atau layak manfaat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu :

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ، وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ، وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ» نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ

“Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang penjualan kurma hingga menua dan dari penjualan biji bijian hingga memutih dan aman dari hama, beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim.

kedua :

Tumbuhan yang tumbuh sendiri, dalam hal ini ada 3 pendapat

pendapat pertama : tumbuhan tumbuh sendiri tanpa diupayakan. Maka tidak boleh meperjualbelikannya.

Pendapat kedua : tumbuhan tumbuh sendiri dengan upaya ditumbuhkan, seperti dengan membajak, atau menghilangkan gulma, dan lain sebagainya. Maka tanaman tersebut adalah miliknya, dan boleh memperjualbelikannya.

Pendapat ketiga : pemilik ladang berhak menjualnya, walaupun tumbuh tanpa ada upaya, mereka mentakwilkan hadits diatas dengan makna tumbuh tumbuhan di tanah yang tidak bertuan.

Peringatan :

walaupun demikian syariat melarang menjual air dan rumput, namun syariat juga menghargai dan menjaga hubungan sesama. Yaitu bahwa pemilik sumur dan pemilik ladang adalah orang yang paling berhak untuk yang pertama kali memanfaatkan air dan rumputnya. Karena dengan sebabnya Allah karuniakan air, dan juga karena pemilik ladang senantiasa merawat ladangnya. Sehingga manakala orang lain ingin mengambil air dan rumput kemudian hal tersebut sampai mendzalimi pemilik sumur dan pemilik ladang, pemilik tersebut berhak dan boleh melarangnya. Dan jika pemiliknya tidak berkebutuhan dengan tumbuhan atau berlebih air maka boleh orang lain mengambil dan tidak boleh pemilik sumur dan ladang melarangnya. Hal ini sesuai denga hadits :

“Tidak ada kemudharatan dan perbuatan memberikan madharat.”

Referensi:

Ringkasan Dari Buku Fikih Perniagaan Karya Dr Muhammad Arifin Badri M.A

Di ringkas oleh : Nur Anisah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.