
Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah) – Saudaraku muslim, ketauhuilah bahwa ketika kita mempunyai kekurangan dalam menunaikan shalat fardhu dan itu mesti terjadi, maka amalan shalat tathawwu’ yang engkau kerjakan akan dilihat untuk menyempurnakan kekurangan dari shalat fardhu yang engkau kerjakan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي اللّه عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil, tetapi jika shalatnya rusak, sungguh dia telah rugi dan menyesal. Kemudian jika ada kekurangan dalam shalat fardhu, Rabb Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat tathawwu’?’ Kemudian shalat fardhunya yang kurang itu disempurnakan dengan shalat tathawwu’nya. Kemudian seluruh amal yang lainpun seperti itu.”[1]
- Definisi dan Keutamaan Shalat Tatthawwu’
Secara bahasa, setiap tambahan yang baik disebut tathawwu’.[2] Sedangkan menurut istilah, tathawwu’ adalah perbuatan secara sukarela yang dilakukan seorang muslim, akan sesuatu yang bukan fardhu.[3] Adapun keutamaan shalat tathawwu’ adalah sebagai berikut:
- Menyempurnakan kekurangan shalat fardhu
Berdasarkan hadits Tamim ad-Dari radhiyallaahu ‘anhu secara marf’:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ كَانَ أَتَمَّهَا كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَتَمَّهَا قَالَ اللّهُ عَزَّوَجَلَّ لِمَلَائِكَتِهِ: أُنْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ فَتُكْمِلُو نَبِهَا فَرِيضَتَهُ….
“Amalan hamba yang pertama kali diperhitungkan di hari Kiamat adalah sahatnya. Jika ia menyempurnakan shalatnya, maka dituliskan shalat yang sempurna. Jika ia tidak menyempurnakannya, maka Allaah Ta’ala berfirman kepada para Malaikat: ‘Lihatlah, apakah kalian mendapatkan tathawwu’ (shalat sunnah) yang dilakukan hamba-Ku? Maka sepurnakanlah fardhunyya dengan sunnah yang ia lakukan. …”[4]
- Meningkatkan derajat seorang hamba dan menghapus dosa-dosanya.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ، فَإِنَّكَ لَاتَسْجُدُ لِلّهِ سَجْدَةً إِلَّا رَفَعَكَ اللّهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً.
“Perbanyaklah sujud, karena tidaklah engkau sujud karena Allaah satu kali, malainkan Allaah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapus darimu satu kesalahan.”[5]
- Salah satu penyebab masuk Surga dan bersama-sama dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di sana.[6]
- Menyebabkan kecintaan Allaah kepada hamba-Nya.
… وَمَايَزَا لُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبَ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ….
“…Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah, hingga aku mencintainya…” (HR. Al-Bukhari, no. 6502).
5. Menambah rasa syukur seorang hamba kepada Allaah Ta’ala.
Ketika beliau ditanya mengapa membanyakkan shalat sunnah, maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا.
“Tidakkah aku ingin manjadi hamba yang banyak bersyukur?”[7]
B. Hukum Shalat Tathawwu’
- Shalat sunnah boleh dilakukan sambil duduk, meskipun ia mampu berdiri. Aa-Nawawi berkata, “Ini merupakan ijma’”[8] Dibolehkan pula melakukan sebagian shalat sunnah sambil berdiri dan sebagian lagi sambil duduk.[9] Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha mengenai shalat Nabi صلى الله عليه وسلم di malam hari.[10]
- Shalat sunnah seseorang sambil duduk pahalanya setengah dari pahala orang yang melakukannya sambil berdiri. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ.
“Shalat (sunnah) seseorang sambil duduk adalah setengah (dari) shalat (sambil berdiri).”[11]
- Bagi orang yang shalat sunnah sambil duduk, dianjurkan untuk duduk sila di tempat-tempat yang semestinya ia berdiri.
- Syaikh Ibnu Baz berkata, “Shalat beliau صلى الله عليه وسلم di malam hari ada empat cara:
- Seringnya beliau shalat sambil berdiri
- Beliau shalat sambil duduk dan ruku’-pun sambil duduk
- Ketika membaca (al-Fatihah dan surat dari al-Qur’an) beliau duduk, dan ketika bacaannya tersisa sedikit, maka beliau berdiri dan ruku’ sambil berdiri
- Beliau shalat sambil duduk, demikian pula ruku’nya, beliau lakukan sambil duduk.”[12]
- Sah melakukan shalat sunnah di kendaraan ketika safar, baik di atas binatang, kapal terbang, mobil, perahu, dan alat-alat transportasi lainnya. Adapun shalat fardhu, maka tidak boleh. Seseorang harus turun terlebih dahulu dari kendaraan, terkecuali jika tidak mampu. Ini berdasarkan hadits ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Nabi صلى الله عليه وسلم shalat di atas kendaraannya ke mana saja kendaraannya menghadap.” Dalam satu lafazh, “Dan Rasulullaah صلى الله عليه وسلم tidak melakukannya dalam shalat fardhu.”
Yang benar, dalam safar yang tidak boleh mengqashar shalat pun, hal itu diperbolehkan. Dan ini dipegang oleh mayoritas ulama.[13] Hal ini berdasarkan firman Allaah Ta’ala:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ، فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Dan kepunyaan Allaah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allaah.[14] Sesungguhnya Allaah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115).
Imam ath-Thabari rahimahullaah memperkuat bahwa ayat ini masuk ke dalamnya shalat sunnah dalam perjalanan, ke mana saja kendaraannya menghadap.[15]
- Shalat sunnah dapat dilakukan di masjid, di rumah, dan di setiap tempat yang suci: seperti gurun pasir dan selain itu. Akan tetapi, yang paling utama adalah di rumah, berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya:
فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِالْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوْبَةَ.
“Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”[16]
Kecuali untuk shalat-shalat sunnah yang disyari’atkan berjama’ah, seperti tarawih, maka yang lebih utama adalah di masjid.
- Shalat sunnah yang paling dicintai Allaah adalah yang dilakukan terus-menerus. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, disebutkan di dalamnya:
…وَأَنَّ أَحَبَّ الْأًعْمَالِ إِلَى اللّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.
“…Sesungguhnya amal-amal yang paling dicintai Allaah adalah yang dilakukan terus-menerus, sekalipun sedikit.”[17]
- Diperbolehkan melakukan shalat sunnah sewaktu-waktu dengan berjama’ah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma ketika menceritakan shalat Nabi صلى الله عليه وسلم, disebutkan di dalamnya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ، قَالَ: فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ ….
“Nabi صلى الله عليه وسلم berdiri (shalat) malam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “ Lalu aku berdiri (makmum) di sampingnya….”[18]
Hadits ini menerangkan bolehnya berjama’ah pada shalat sunnah selain tarawih di bulan Ramadhan. Akan tetapi tidak boleh dilaksanakan secar rutin, karena Nabi صلى الله عليه وسلم lebih sering melakukannya sendirian.[19]
C. Macam-Macam Shalat Tathawwu’
- Shalat Sunnah Rawatib
Yaitu shalat-shalat sunnah yang dilakukan sebelum dan setelah shalat fardhu lima waktu. Shalat sunnah rawatib dibagi menjadi dua, yaitu rawatib mu’akkadah (sangat ditekankan) ada 12 raka’at dan rawatib ghairu mu’akkadah (tidak terlalu ditekankan). Rasalullaah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ اسُّنَّةِ بَنَى اللّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ: أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ.
“Barangsiapa yang tekun melakukan dua belas raka’at shalat sunnah, maka Allaah membangun sebuah rumah baginya di Surga, yaitu: empat raka’at sebelum Zuhur, dua raka’at setelah Zuhur, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah ‘Isya’ dan dua raka’at sebelum Subuh.”[20]
Shalat sunnah rawatib berjumlah dua belas raka’at, sebagaimana dalam hadits Ummu Habibah dan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhuma. Bisa juga dikatakan sepuluh raka’at, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Saya (Syaikh al-Qahthani) mendengar guru kami, Imam Ibnu Baz rahimahullaah berkata, “Jika seorang muslim merasa semangat, maka lakukanlah dua belas raka’at, dan jika terdapat kesibukan-kesibukan maka lakukanlah sepuluh raka’at. Seluruhnya dapat dikatakan Rawatib. Adapun yang sempurna dan lengkap adalah dua belas raka’at.”[21]
- Shalat Subuh
Sebelumnya (qobliyah): dua raka’at shalat sunnah mu’akkadah. Shalat ini adalah shalat sunnah yang paling ditekankan. Disebutkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata, “Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pernah menjaga shalat sunnah sebagaimana penjagaan beliau terhadap dua raka’at shalat sunnah Fajar (sebelum shalat Subuh).”[22]
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَافِيْهَا
“Dua raka’at shalat sunnah sebelum shalat Subuh lebih baik daripada dunia beserta isinya.”[23]
Disunnahkan meringankan pelaksanaannya. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullaah صلى الله عليه وسلم meringankan pelaksanaan shalat dua raka’at sebelum shalat Subuh, hingga aku berkata [dalam hati], ‘Apakah beliau membaca Ummul Kitab [atau tidak]?’”[24] Pada raka’at pertama disunnahkan membaca surah (al-Kafirun) dan pada raka’at kedua membaca surah (al-Ikhlas) sebagaimana yang bisa dilakukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم.[25]
Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua raka’at sebelum Sbuh, baik ketika mukim (tidak sedang bepergian atau sedang berada di kampung halaman) maupun ketika sedang bepergian (safar). Jika shalat sunnah ini ditinggalkan karena ada alasan tertentu, disyari’atkan untuk diqdha’ setelah udzur tersebut hilang. Karena ketika Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabat tertidur sehingga terlambat mengerjakan shalat Subuh, beliau berwudhu kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu, dikumandangkanlah iqamat, lalu beliau صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat Subuh.”[26] Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, di dalamnya disebutkan: “Beliau صلى الله عليه وسلم tidak meninggalkan dua raka’at tersebut selama-lamanya.”[27]
- Shalat Zhuhur
Sebelumnya (qobliyah): empat atau dua raka’at shalat sunnah mu’akkadah dan ghairu mu’akkadah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pernah meninggalkan (shalat sunnah) empat raka’at sebelum (shalat zhuhur dan dua raka’at sebelum shalat subuh.”[28]
Sesudahnya (ba’diyah): dua raka’at shalat sunnah mu’akkadah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwa ia berkata, “Rasulullaah صلى الله عليه وسلم biasa mengerjakan (shalat sunnah) empat raka’at sebelum (shalat) Zhuhur dan sua raka’at setelahnya.”[29]
- Shalat ‘Ashar
Sebelumnya (qobliyah): dua atau empat raka’at shalat sunnah ghairu mu’akkadah. Berdasarkan sabda beliau صلى الله عليه وسلم:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ…لِمَنْ شَاءَ
“Diantara setiap dua adzan ada shalat (sunnah)…bagi siapa yang menghendakinya.”[30]
Dan sabda beliauصلى الله عليه وسلم :
رَحِمَ اللّهُ امْرَأَ صَلَّ قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allaah melimpahkan rahmat kepada orang yang mengerjakan shalat empat raka’at sebelum (shalat) ‘Ashar.”[31]
Sesudahnya (ba’diyah): dua raka’at shalat sunnah ghairu mu’akkadah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi صلى الله عليه وسلم sama sekali tidak pernah meninggalkan dua sujud (dua raka’at) setelah (shalat) ‘Ashar ketika belia صلى الله عليه وسلم berada di tempatku.[32]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hal ini hanya khusus bagi Nabi صلى الله عليه وسلم Akan tetapi, tidak ada dalil yang menunjukkannya, sedangkan menurut hukum asal setiap perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم boleh sicontoh.
- Shalat Maghrib
Sebelumnya (qobliyah): dua raka’at shalat sunnah ghairu mu’akkadah. Berdasarkan sabda beliau
صلى الله عليه وسلم:
صَلُّوا قَبْلَ المَغْرِبِ…لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum (shalat) Maghrib…bagi siapa yang menghendakinya.”[33]
Sesudahnya (ba’diyah): dua raka’at shalat sunnah mu’akkadah. Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengimami shalat Maghrib mereka. Setelah salam beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
اِرْكَعُوْا هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ
“Kerjakanlah (shalat sunnah) dua raka’at ini di rumah-rumah kalian.”[34]
Maksudnya, shalat sunnah dua raka’at setelah shalat Maghrib. Disunnahkan membaca surah (al-Kahfi) dan surah (al-Ikhlas) dalam dua raka’at tersebut.[35]
- Shalat ‘Isya’
Sebelumnya (qobliyah) dua raka’at shalat sunnah ghairu mu’akkadah dan setelahnya (ba’diyah) dua raka’at shalat sunnah mu’akkadah. Shalat sunnah rawatib mu’akadah ada sepuluh raka’at. Sepuluh raka’at tersebut tercantum dalam hadits Ibnu ‘Umar
رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا, ia berkata, “Aku hafal dari Nabi صلى الله عليه وسلم sebanyak sepuluh raka’at (shalat sunnah), yaitu dua raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah Maghrib, dua raka’at setelah ‘Isya’, dan dua raka’at sebelum shalat Subuh.”[36]
- Shalat Sunnah Ghairu Rawatib
Yaitu shalat sunnah yang tidak dihubungkan dengan shalat fardhu. Shalat-shalat tersebut adalah:
- Shalat Witir
Shalat witir adalah shalat sunnah mu’akkadah (yang sangat ditekankan) setiap malam. Nabi
صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ اللّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allaah adalah ganjil (tunggal) yang mencintai Witir.”[37]
Beliau صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِا للَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah pada akhir shalat malam kalian adalah shalat Witir.”[38]
Shalat Witir boleh dikerjakan setelah shalat ‘Isya’ hingga terbit fajar. Waktu yang lebih utama adalah dikerjakan pada sepertiga malam terakhir. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Setiap malam, Rasulullaah صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat Witir, baik di awal, pertengahan, dan akhir malam, dan beliau menyelesaikan shalat Witirnya hingga waktu subuh.”[39] Namun demikian, jika engkau khawatir tidak bisa bangun di akhir malam untuk mengerjakan shalat Witir, maka jangan tidur sebelum mengerjakan shalat Witir di awal malam.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbertanya kepada Abu Bakar, “Kapan engkau mengerjakan shalat Witir?” Ia menjawab, “Aku mengerjakan shalat Witir sebelum tidur.” Beliau kemudian bertanya kepada ‘Umar, “Kapan engkau mengerjakan shalat Witir?” Ia menjawab, “Aku tidur terlebih dahulu, lalu mengerjakan shalat Witir.” Kemudian beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Engkau telah melakukannya dengan hati-hati,” dan bersabda kepada ‘Umar, “Engkau melakukannya dengan kekuatan.”[40]
- Qiyamul Lail (Shalat Malam/Tahajjud)
Shalat tahajjud hukumnya sunnah mu’akkadah (sangat ditekankan). Disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allaah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqaan: 64).
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allaah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyyat: 15-19).
Shalat malam boleh dikerjakan di awal malam, tengah malam, atau akhir malam. Semuanya telah shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم. Namun, yang lebih utama adalah dikerjakan pada sepertiga malam yang terakhir ketika Allaah Ta’ala turun ke langit dunia dan berfirman: “Siapa yang berdo’a kepada-Ku maka Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan beri dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan ampuni.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- Qiyam Ramadhan (Tarawih)
Tarawih adalah shalat malam yang dilakukan di awal malam pada bulan Ramadhan.[41]
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berdiri malam (shalat Tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala Allaah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[42]
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، كَتَبَ اللّهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ، وَفِيْ لَفْظٍ: كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ.
“Sesungguhnya barangsiapa berdiri (shalat Tarawih) bersama imam hingga ia selesai, maka Allaah mencatat baginya pahala berdiri (shalat) semalam suntuk.”[43]
- Shalat Dhuha (Shalat Awwabin)
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ: فَكُلُّ تَسْبِييحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْ كَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى.
“Setiap pagi, setiap tulang dan persendian (sulama) salah seorang diantara kalian harus dikeluarkan sedekahnya. Setiap bacaan tasbih (subhaanallaah) adalah sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillaah) adalah sedekah, setiap bacaan tahlil (laa illaaha illallaah) adalah sedekah, setiap bacaan takbir (Allaahu akbar) adalah sedekah. Amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) adalah sedekah, dan nahi munkar (melarang kemunkaran) adalah sedekah. Semua itu tercukupi dengan dua raka’at shalat Dhuha.”[44]
Shalat Dhuha dimulai setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga mendekati waktu Zhuhur. Namun demikian, yang lebih utama dilakukan pada waktu matahari telah tinggi dan sinarnya mulai terasa panas. Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم , “Shalat Awwabin dilakukan ketika anak unta sudah merasa kepanasan pada waktu Dhuha.”[45] Maksudnya ketika pasir terasa panas bagi anak unta yang masih kecil.
- Shalat Istikharah
Jika engkau hendak melakukan suatu urusan yang dibolehkan, sedangkan engkau belum bisa menentukan mana yang lebih baik, maka disunnahkan bagimu mengerjakan shalat sunnah dua raka’at yang bukan shalat wajib meskipun itu adalah shalat rawatib atau shalat sunnah yang lain. Istikharah hanya disyari’atkan ketika hendak melakukan urusan yang mubah. Engkau tidak disyari’atkan melakukan istikharah dalam perkara yang wajib atau haram dan tidak pula dalam perkara yang disunnahkan, kecuali untuk memilih diantara amalan-amalan sunnah tersebut.
Orang yang melakukan istikharah tidak disyari’atkan harus melihat sesuatu dalam mimpinya sebagaimana yang diyakini oleh banyak orang. Akan tetapi, cukup hanya dengan sesuatu yang membuat hatinya merasa tenang atau sesuatu yang berjalan apa adanya secara alami sesuai pilihan Allaah Ta’ala. Istikharah merupakan ungkapan do’a. Jadi, tidak mengapa jika dilakukan lebih dari satu kali. Bisa jadi apa yang dipilih oleh Allaah Ta’ala tidak sesuai dengan keinginanmu atau menurut penilaianmu hal itu merupakan sesuatu yang jelek. Meski begitu, engkau tetap harus menerima keputusan Allaah Ta’ala:
…وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَاتَعْلَمُونَ
“… Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, dan Allaah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
- Shalat Sunnah Setelah Wudhu
Jika engkau berwudhu, disunnahkan setelahnya mengerjakan shalat dua raka’at atau lebih. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah رَضِيَ اللّهُ عَنْه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepada Bilal ketika shalat Subuh, “Wahai Bilal, beritahukan kepadaku amal apa yang paling banyak engkau harapkan pahalanya dalam Islam? Sungguh aku mendengar hentakan suara kedua sandalmu di hadapanku di surga.” Bilal menjawab, “Amalan yang paling banyak aku harapkan pahalanya bahwa aku tidaklah berwudhu, baik pada malam atau siang hari kecuali aku mengerjakan shalat dengan wudhu itu sebanyak apa yang telah ditetapkan untukku.”[46]
- Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid
Jika engkau memasuki masjid, disunnahkan mengerjakan shalat dua raka’at sebelum duduk. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Qatadah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, janganlah ia duduk sebelum mengerjakan shalat dua raka’at.”[47]
- Shalat Taubat Bagi Orang yang Melakukan Dosa
Dari Abu Bakar رَضِيَ اللّهُ عَنْه, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullaah صلى الله عليه وسلم bersabda, ‘Tidaklah seseorang melakukan dosa, lalu ia berdiri, berwudhu, mengerjakan shalat lalu memohon ampun kepada Allaah melainkan Allaah pasti mengampuninya.’ Kemudian beliau membaca QS. Ali ‘Imran:135. (HR Tirmidzi)
- Shalat Setelah Thawaf di Ka’bah
Disebutkan secara shahih dalam hadits Jabir tentang kisah hajinya Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau mengerjakan shalat dua raka’at setelah melakukan thawaf di belakang Maqam Ibrahim. Dalam shalat tersebut, beliau صلى الله عليه وسلم membaca surah (al-Ikhlash) dan (al-Kafirun).[48]
- Shalat Kusuf (gerhana matahari dan gerhana bulan)
Shalat Kusuf hukumnya sunnah mu’akkadah bagi laki-laki dan wanita. Shalat Kusuf lebih utama dikerjakan secara berjama’ah meskipun boleh juga dikerjakan secara sendiri-sendiri. Dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda tentang gerhana matahari dan gerhana bulan:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللّهَ وَكَبِّرُوا وَتَصَدَّقُوا…
“Jika kalian melihatnya, berdo’alah kepada Allaah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah….”[49]
- Shalat Istisqa’ (meminta hujan)
Apabila hujan tak kunjung turun dan tanah menjadi kering, maka orang-orang disunnahkan keluar menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat Istisqa’. Dari Abdullah bin Zaid bahwa ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullaah صلى الله عليه وسلم keluar menunaikan shalat Istiqa’. Kemudian beliau membelakangi orang banyak dan menghadap kiblat sambil berdo’a. Setelah itu beliau memindahkan selendangnya kemudian mengerjakan shalat dua raka’at dan mengeraskan bacaannya.”[50]
- Sujud Tilawah
Sujud Tilawah dilakukan jika engkau membaca atau mendengar ayat sajadah, baik di dalam shalat atau di luar shalat (disunnahkan melakukan sujud satu kali tanpa tasyahhud dan tanpa salam serta tidak disyaratkan berwudhu dan menghadap kiblat, karena sujud ini bukan shalat.[51]
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu ia sujud, maka setan akan menyingkir sambil menangis dan berkata, ‘Calaka! Dia diperintahkan untuk sujud lalu ia melakukannya, maka ia mendapatkan surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, namun aku tidak mau, maka aku mendapat neraka.”[52] Dalam sujud Tilawah, disunnahkan membaca:
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
“Wajahku bersujud kepada Rabb yang menciptakannya dan membuat pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya.”[53]
Atau membaca:
اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي شَقَّ سَمْعَهُ، وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللّهُ أَحْسَنُ الْخَا لِقِيْنَ
“Ya Allaah, hanya kepada-Mu aku sujud, hanya kepada-Mu aku beriman, dan hanya kepada-Mu aku berserah diri. Engkaulah Rabb-ku. Wajahku bersujud kepada Rabb yang menciptakannya dan membuat pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allaah, sebaik-baik Pencipta.”[54]
- Sujud Syukur
Sujud Syukur dilakukan jika engkau memperoleh sesuatu yang menyenangkan, mendapatkan kenikmatan, atau terhindar dari bahaya, maka disunnahkan bagimu untuk sujud kepada Allaah Ta’ala. Dalam sujud Syukur ini tidak disyaratkan berwudhu dan tidak pula menghadap kiblat. Disebutkan dari Abu Bakrah bahwa biasanya jika Nabi صلى الله عليه وسلم mendapatkan sesuatu yang menggembirakan atau diberi kabar gembira, beliau melakukan sujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allaah Tabaraka wa Ta’ala,”[55]
- Sujud Sahwi
Jika engkau lupa dalam shalat, yakni dengan mengurangi atau menambahnya, maka engkau wajib melakukan dua sujud sebelum atau setelah salam sesuai dengan keadaan-keadaan berikut ini:
- Jika engkau lupa satu raka’at atau lebih, lalu salam sebelum menyempurnakan shalat, maka berdirilah lalu kerjakan raka’at yang engkau tinggalkan. Setelah itu bersalamlah kemudian lakukan dua kali sujud.
- Jika engkau menambah raka’at dalam shalat, lakukanlah sujud dua kali setelah salam.
- Jika engkau luma melakukan tasyahhud awal dan telah selesai melakukan tasyahhud akhir, maka sujudlah dua kali sebelum salam kemudian setelah itu salamlah.
- Jika engkau ragu dalam shalatmu dan tidak mengetahui berapa raka’at yang engkau lakukan, pilihlah mana yang meyakinkan. Jika engkau ingat jumlah raka’at yang telah engkau kerjakan, jadikanlah jumlah itu sebagai patokan. Namun jika engkau tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, maka yang dijadikan patokan adalah raka’at yang paling sedikit, kemudian lakukan sujud sahwi dua kali sebelum salam.
- Jika engkau meninggalkan bacaan al-Fatihah, raka’at, atau sujud, dan engkau teringat di raka’at berikutnya, hendaknya hal itu engkau abaikan dan tidak perlu dihitung (satu raka’at). Kemudian sempurnakan shalatmu, lalu lakukan sujud sahwi dua kali dan salam.
DAFTAR PUSTAKA
Malik, Abu Kamal bin as-Sayyid Salim. 2014. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta Timur:Griya Ilmu.
Sa’id, Syaikh bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani. Sifat Shallat Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Bogor:Pustaka Ibnu ‘Umar.
[1] HR. At-Tarmidzi (no. 411), an-Nasa’i (1/232), dan selain keduanya. Sanad hadits ini shahih secara mauquf, tetapi mempunyai hukum marfu’. Hadits ini mempunyai beberapa jalur yang saya kumpulkan dan saya bicarakan dalam tahqiq saya terhadap kitab Ta’zhim Qadrish Shalah.
[2] Qaamuus al-Muhiith, hal. 962.
[3] Lisaanul ‘Arab (VIII/248).
[4] HR. Abu Dawud (no. 864, 866), Ibnu Majah (no. 1425), Ahmad (IV/65, 103 dan V/377). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/353).
[5] HR. Muslim (no. 488)
[6] HR. Muslim (no. 489)
[7] Muttafaq ‘alaih.
[8] Syarh Muslim (VI/255).
[9] Syarh Muslim (VI/256)
[10] HR. Muslim (no. 730) dan al-Bukhari (no. 118 dan 119)
[11] HR. Muslim (no. 735).
[12] Saya (Syaikh al-Qathani) mendengarnya ketika beliau menerangkan hadits no. 1118 dan 1119 dari Shahih al-Bukhari.
[13] Lihat Fat-hul Baari karya Ibnu Hajar (II/575) dan al-Mughni (II/96).
[14] [Disitulah wajah Allaah, maksudnya; kekuasaan Allaah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allaah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapat dengan Allaah].
[15] Lihat Jaami’ul Bayaan’an Ta-wiili Aayil Qur-aan (III/530 dan 533).
[16] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari (no. 731) dan Muslim (no. 781).
[17] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari (no. 6464, 6467) dan Muslim (no. 2818).
[18] Muttafaq’alaih: Al-Bukhari (no. 992) dan Muslim (no. 83-(763)).
[19] Lihat Syarhum Nawawi ‘alaa Shahiihi Muslim (V/168), Nailul Authaar (II/275), al-Mughni (II/567), Syarhul Mumti’ (IV/83).
[20] HR. At-Tirmidzi, kitab ash-Shalaah, bab Maa Jaa-a Fiiman shallaa fii yaumin tsintai ‘asyrata rak’atan minas sunnati wamaa lahuu fihi minal fadhli (no. 414), Ibnu Majah, kitab ash-Shalaah, bab Maa jaa-a fitsnatai ‘asyrata rak’atin minas sunnati (no. 1140). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahih at-Tirmidzi (I/131) dan Shahih Sunan Ibnu Majah (I/188).
[21] Saya (Syaikh al-Qathani) mendengarnya ketika beliau menerangkan Buluughul Maraam, hadits (no. 374).
[22] HR. Bukhari (no. 1093) dan Muslim (no. 1191).
[23] HR. Muslim (no. 725) dan at-Tirmidzi (no. 416) .
[24] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, bab Maa yaqra’u fii raka’atil Fajri (no. 1171), Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Istihbaahu rak’atai sunnatil Fajri (no. 724).
[25] Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 726) dan selainnya.
[26] HR. Muslim (no. 1098) dan selainnya.
[27] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, lafazh ini miliknya, kitab at-Tahajjud, bab al-Mudaawamatu ‘alaa rak’atail fajri (no. 1159). Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Istihbaabu rak’atai sunnatil Fajri wal hatstsu ‘alaihimaa (no. 724).
[28] HR. Bukhari (no. 1182), Abu Dawud (no. 1240) dan an-Nasa’i (2/251).
[29] HR. Muslim (no. 730) dan Ahmad (6/30).
[30] HR. Bukhari (no. 627) dan Muslim (no. 838).
[31] HR. At-Tirmidzi (no. 428), Abu Dawud (no. 1257) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani.
[32] HR. Bukhari (no. 591).
[33] HR. Al-Bukhari (no. 1129).
[34] HR. Ibnu Majah (no. 1165) dan ini adalah hadits hasan.
[35] HR. At-Tirmidzi (no. 429) dalam sanad yang hasan.
[36] HR. Bukhari (no.80) dan at-Tirmidzi (no. 431) serta selain keduanya.
[37] HR. Al-Bukhari (no. 6410) dan Muslim (no. 2677).
[38] HR. Al-Bukhari (no. 998) dan Muslim (no. 751).
[39] HR. Al-Bukhari (no. 996) secara ringkas dan Muslim (no. 745). Ini adalah lafazh Muslim.
[40] HR. Abu Dawud (no. 1421), Ibnu Majah (no. 1202), dan Ibnu Khuzaimah (no. 1084). Hadits ini shahih.
[41] Lihat Majmuu’ Fataawaa Ibni Baz.
[42] HR. Al-Bukhari (no. 37) dan Muslim (no. 759).
[43] HR. Ahmad (V/159), an-Nasa’i (no. 806). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah (I/353).
[44] HR. Muslim (no. 720) dan Abu Dawud (no. 1271).
[45] HR. Muslim (no. 748).
[46] HR. Al-Bukhari (no. 1045) dan Muslim (no. 910).
[47] HR. Al-Bukhari (no. 444) dan Muslim (no. 714).
[48] HR. At-Tirmidzi (no. 406), Abu Dawud (no. 1521), dan Ibnu Majah (no. 1395).
[49] HR. Al-Bukhari (no. 1044) dan Muslim (no. 901).
[50] HR. Bukhari (no. 1025) dan Abu Dawud (no. 1150).
[51] Al-Muhalla karya Ibnu Hazm (5/111).
[52] Shahih Muslim (no. 81).
[53] HR. Abu Dawud (no. 1401), at-Tirmidzi (no. 577) , an-Nasa’i (2/222) dengan sanad shahih.
[54] HR. Muslim (no. 771), Abu Dawud (no. 746), at-Tirmidzi (no. 3481), Ibnu Majah (no. 1054).
[55] HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar