METODE BELAJAR PENUNTUT ILMU-Setelah belajar dan memahami serta sembari mengamalkan adab-adab diri seorang penuntut ilmu, maka selanjutnya mari kita lihat bagaimana metode yang ditempuh para salaf dalam menuntut ilmu.
- Metode dan Tahapan Menuntut Ilmu
Perhatikan perkataan ulama salaf berikut ini!
مَنْ لَمْ يُتْقِنِ اْلاُصُوْلَ حُرِمَ الْوُصُوْلَ.
“Siapa yang tidak menguasai dasar-dasar ilmu dengan baik pasti gagal meraihnya.”[1]
مَنْ رَامَ الْعَلْمَ جُمْلَةً ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً.
“Siapa yang menginginkan ilmu sekaligus maka akan ditinggalkan ilmu sekaligus pula.”[2]
إِزْدِحَامُ الْعِلْمِ عِنْدَ السَّمْعِ مَضَلَّةُ ألْفَهمِ.
“Terlalu banyaknya ilmu yang didengarkan mengacaukan pemahaman”[3]
Dapat ditarik benang merah bahwa perlu pembangunan landasan dan fondasi untuk setiap bidang ilmu yang dipelajari, yaitu dengan cara menghafal kaidah dan ikhtisar ilmu tersebut di bawah bimbingan seorang guru yang ahli. Namun yang harus diingat adalah bukan belajar secara autodidak, tetapi terus manjalani proses belajar secara bertahap.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقُرءَانًا فَرَقنَٰهُ لِتَقرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكثٍ وَنَزَّلنَٰهُ تَنزِيلًا
Artinya: “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”[4]
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari setiap bidang ilmu:
- Menghafal kitab mukhtasar mengenai bidang ilmu yang dipelajari.
- Menyetorkannya kepada ahlinya, seperti guru, ustadz, dan/atau syaikh.
- Tidak menyibukkan diri dengan buku-buku besar dan beragam bacaan sebelum hafal dengan baik dan mengusai dasar-dasar ilmu tersebut.
- Jangan beralih dari satu mukhtasar kepada mukhtasar lain tanpa alasan, karena ini termasuk ketidaksabaran penuntut ilmu yang bisa menjadi sebab futur.
- Mencatat informasi yang bermanfaat dan kaidah ilmiah ke dalam buku atau sekedar kertas coretan.
- Fokus belajar dan meningkatkan ilmu, disertai perhatian dan semangat meraih ilmu dan mencapai tingkatan yang lebih baik sampai akhirnya mampu mengkaji kitab-kitab tebal melalui cara yang aman.
Ibnul Arabi Al-Maliki[5] berpendapat, seorang pelajar jangan mencampuradukan dua bidang ilmu dalam belajar dan hendaknya ia mendahulukan belajar bahasa Arab, syair, dan matematika, kemudian beralih kepada Al-Quran. Tetapi, Ibnu Khaldun membantah pendapatnya ini serta menyatakan bahwa berbagai pengalaman tidak mendukung car aini. Yang terlebih dahulu harus dilakukan justru mempelajari dan menghafal Alquranul Karim, karena seorang anak biasanya lebih patuh ketika masih dalam pemeliharaan orang tua, sedangkan ketika dewasa ia akan sulit dipaksa.
Adapun soal pengkombinasian pengajaran dua biang ilmu atau lebih maka hal ini berbeda-beda tergantung kepada tingkat pemahaman dan semangat murid.
Sebagian Ulama mengajarkan fikih Hanbali melalui kitab Zadul Mustaqni untuk pemula, Al-Muqni untuk tingkatan selanjutnya tentang perbedaan pendapat, kemudian Al-Mughni untuk perbedaan pendapat tingkat tinggi. Para penuntut ilmu tidak boleh belajar ke jenjang tingkat dua sebelum menyelesaikan dan memahami jenjang tingkat dasar, begitu seterusnya.
Buku mukhtasar yang digunakan oleh para ulama dalam menuntut ilmu yang menjadi rujukan mereka berbeda-beda, tergantung madzhab yang diterapkan di kawasan dan daerah yang ditempati. Selain itu juga, tergantung buku mukhtasar manakah yang lebih mudah dipahami calon murid serta yang biasa dipelajari oleh para ulama di kawasan tersebut dalam proses pendidikannya. Kondisi murid juga harus diperhatikan dalam hal tingkat kemampuan intelektual, semangat dan motivasi, pemahaman, kuat-lemahnya bakat, serta tajam-tumpulnya kecerdasannya.
Dalam bidang tauhid, buku yang bisa dipelajari adalah: Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha; Al-Qawa’idul Arba’; Kasyfusy Syubuhat; dan Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi rahimahullah. Sedangkan bidang tauhid asma’ wa shifat adalah: Al-‘Aqidah Al-Washithiyah; Al-Hamawiyyah; dan At-Tadmuriyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, lalu Ath-Thahawiyyah dan syarahnya. Begitu pula dalam bidang nahwu di antaranya: Al-Ajurumiyyah; Mulhatul I’rab; Al-Hariri; Qathrun Nada karya Ibnu Hisyam; Alfiyyah karya Ibnu Malik beserta syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Aqil. Buku dalam bidang hadits adalah: Al-Arba’in karya Imam Nawawi; Umdatul Ahkam karya Al-Maqdisi; Bulughul Maram karya Ibnu Hajar; AL-Muntaqa karya Ibnu Taimiyyah rahimahumullah, lalu berlanjut pada kitab pembacaan enam kitab induk dan lainnya. Dalam bidang ilmu musthalah hadits: Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar dan Alfiyyah karya Iraqi rahimahumallah.
Adapun dalam bidang fikih misalnya: Adabul Masyyi ilash Shalah karya Syaikh Muhammad bin Adbul Wahab; Zadul Mustaqni karya Al-Hijawi atau Umdatul Fiqh; kemudian Al-Muqni untuk perbedaan pendapat, dan Al-Mughni untuk perbedaan pendapat tingkat lanjut karya Ibnu Qudamah rahimahumullah. Sementara dalam bidang ushul fikih: Al-Waraqat karya Al-Juwaini dan Raudhatun Nazir karya Ibnu Qudamah rahimahumallah. Bidang faraidh, bukunya antara lain: Ar-Rahabiyyah beserta beberapa syarahnya dan Al-Fawaid Al-Jaliyyah. Dalam bidang tafsir: Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah. Dalam ushul tafsir: Al-Muqaddimah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. SIrah Nabawiyah sebaiknya memakai buku: Mukhtasar Sirah Rasul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab; As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam; dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahumullah. Sedangkan dalam bahasa Arab syair: Al-Mu’allaqat As-Sab’ dan Al-Qamus karya Fairuz Abadi rahimahullah.
Para penuntut ilmu juga hendaknya membaca dan mempelajari secara cepat kitab-kitab tebal seperti Tarikh dan Tafsir karya Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Selanjutnya juga fokus mengkaji buku-buku karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnu Qayyim rahimahumallahu ta’ala, disertai buku dan fatwa ulama di bidang aqidah.
Kegiatan belajar bisa disimulasikan seperti cara belajar salaf. Belajar dimulai usai shalat Shubuh hingga pertengahan siang. Qailulah (tidur siang) dilaksanakan menjelang shalat Zhuhur. Usai pelaksanaan shalat lima waktu sebaiknya selalu diadakan kajian. Para penuntut ilmu hendaknya menjalani kegiatan dengan penuh sopan santun, hormat, dan percaya diri dari guru dan murid dengan metode para salafush shalih rahimahumullah. Demikianlah banyak dari mereka yang berhasil menjadi tokoh dalam bidang ilmu. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin.
Hendaknya kita kembali kepada metode menuntut ilmu yang orisinal yang dipratikkan langsung oleh para ulama dengan mengkaji kitab mukhtasar yang menjadi rujukan, bukan diktat; dengan menghafalnya, bukan hanya mengandalkan pemahaman sehingga kegiatan belajar murid menjadi sia-sia karena tidak memiliki hafalan maupun pemahaman; juga hendaknya dengan menjalani proses pengajaran yang bersih dari kotoran dan kekeruhan, mengikuti para salaf.
Al-Hafizh Utsman bin Khurazad (w. tahun 282 H) rahimahullah berkata:
يَحتَاجُ صَاحِبُ الْحَدِثِ إِلَى خَمْسٍ, فَإِنْ عُدِمَتْ وَاحِدَةٌ فَهِيَ نَقْصٌ, يَحْتَاجُ إِلَى عَقْلٍ جَيِّدٍ وَدِيْنٍ وَضَبْطٍ وَحَذَاقَةٍ بِاالصِّنَاعَةِمَعَ أَمَانَةٍتُعْرَفُ بِهِ.
Artinya: “Seorang ahli hadits membutuhkan lima hal, jika salah satunya tidak ada maka itu merupakan kekurangan. Ia membutuhkan kecerdasan yang baik, agama, hafalan, keahlian dalam bidangnya, disertai amanah yang diketahui darinya.”
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah mengatakan:
الاَمَانَةُ جُزْءٌ مِنَ الدِّيْنِ وَالضَّبْطُ دَاخِلٌ فِي الْخِذْقِ, فَالَّذِيْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ الْحَافَظُ أَن يَّكْتُبَ بِيَدَيْهِ مِئَتَى مُجَلَّدٍ وَيُحَصِّلَ مِنَ الدَّوَاوِيْنِ الْمُعْتَبَرَةِ خَمْسَمِائَةِ مُجَلَّدٍ وَأَن لاَّ يَفْتُرَ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَى الْمَمَاتِ بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ وَتَوَاضُعٍ, وَإلاَّ فَلَايَتَعَنَّ.
Artinya: “Amanah adalah bagian dari agama, sedangkan hafalan adalah bagian dari keahlian. Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah sifat: hati-hati terhadap larangan, cerdas, ahli nahwu, ahli bahasa, banyak beramal kebajikan, pemalu, dan bermanhaj salaf, cukuplah ia menulis dua ratus jilid dengan tangannya dan menguasai hingga lima ratus jilid antologi syair yang muktabar. Jangan sampai ia berhenti menuntut ilmu hingga wafat dengan niatan ikhlas dan ketawadhuan. Jika tidak demikian, janganlah ia memberatkan diri.”
- Belajar Kepada Guru
Menuntut ilmu pada dasarnya harus dengan belajar kepada seorang guru dan langsung mendengarkan ucapan syaikh, bukan dari tulisan atau buku (termasuk kajian online -dewasa ini-). Cara belajar pertama sejenis bernasab kepada nasab yang berbicara, yaitu guru. Adapun cara kedua yaitu belajar dari buku, ia benda mati, bagaimana mungkin bernasab kepadanya? Sedangkan mendengarkan kajian dari gadget tidak termasuk ke dalam keutamaan menunut ilmu.
Barangsiapa yang mempelajari ilmu tanpa guru, maka ia selesai mempelajarinya tanpa memperoleh ilmu. Ilmu adalah keterampilan, sedangkan setiap keterampilan membutuhkan ahlinya. Untuk memperlajarinya membutuhkan guru yang ahli. Demikianlah, hal ini hampir menjadi kesepakatan para ulama, kecuali segelintir ulama yang “nyeleneh”, seperti Ali bin Rudhwan Al-Mashri Ath-Thabib (w. tahun 453 H). Para ulama di zamannya maupun sesudah mereka telah membantah pendapatnya ini.
Al-Hafizh Dzahabi rahimahullah ketika menulis biografi Ali bin Rudhwan Al-Mashri Ath-Thabib, berkata[6]: “Ia tidak mempunyai guru. Ia sibuk belajar dari buku dan menulis sebuah buku tentang belajar dari buku secara autodidak. Menurutnya, car aini lebih tepat daripada belajar kepada guru. Pendapatnya ini keliru.”
Shafadi telah memberikan bantahan panjang lebar terhadap pendapat ini, dalam Al-Wafi’, darinya Imam Zabidi dalam Syarhul Ihya’ mengutip pendapat sejumlah ulama dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Di antaranya adalah pernyataan Ibnu Bathlan dalam membantahnya[7]:
“Yang keenam: di buku terdapat hal-hal yang pemahaman ilmu, yang tidak terdapat pada guru, yaitu kesalahan pelafalan karena kemiripan huruf ketika tidak diucapkan, kesalahan karena mata kurang konsentrasi, sedikitnya pengalaman dalam i’rab, kerusakan yang terdapat padanya, koreksi buku, penulisan apa yang seharusnya tidak dibaca, pembacaan apa yang sebenarnya tidak tertulis, madzhab yang dianut oleh penulis buku, kesalahan tulis, buruknya pengutipan, penyambungan bacaan yang dilakukan oleh pembaca pada bagian yang seharusnya berhenti, kombinasi beberapa prinsip pengajaran, penyebutan istilah-istilah tertentu dalam suatu bidang ilmu, dan kata-kata berbahasa Yunani yang belum diterjemahkan oleh pengutip, seperti naurus. Semua itu menghambat pemahaman ilmu. Seorang pelajar bisa terbebas dari beban-beban di atas apabila ia membaca di hadapan seorang guru. Jika keadaannya seperti ini, maka membaca buku di hadapan para ulama itu lebih bermanfaat daripada membaca sendiri. Inilah yang hendak kami jelaskan…”
Shafadi berkata: “Oleh karena itu, para ulama mengatakan: ‘Jangan menuntut ilmu dari seorang shahafi atau mushafi!’” Maksudnya, jangan belajar menghafal Al-Quran dari orang yang menghafalnya dari mushaf dan belajar hadits yang hanya belajar dari buku tanpa menyetorkan dan belajar kepada seorang guru yang ahli.
Bukti materi tentang kesalahan orang ini (yang dimaksud Ibnu Rudhwan) adalah : para ulama di dalam biografi mereka sepanjang zaman dan berbagai bidang, sedikit banyak pasti mencantumkan nama syaikh dan guru maupun murid mereka. Banyak dari mereka yang memiliki banyak guru, bahkan ada yang memiliki guru hingga ribuan sebagaimana disebutkan dalam Al-‘Uzzab dan Al’Isfar.
Walid berkata[8] bahwa Auza’I berkata:
كَانَ هَذَا الْعِلْمُ كَرِيْمًا يَتَلَاقَاهُ الرِّجَالُ بَيْنَهُمْ, فَلَمَّ دَخَلَ فِي الْكُتُبِ دَخَلَ فيْهِ غَيْرُ أَهلِهِ.
Artinya:
“Dahulu, ilmu ini mulia, para tokoh saling mengajarkan ilmu di antara mereka. Ketika ia memasuki buku-buku maka ia mulai dimiliki oleh orang-orang yang bukan ahlinya.”
Sudah tidak diragukan lagi bahwa bealajar dari buku dan melalui ijazah-ijazah mengandung banyak kelemahan. Terutama di masa itu, ketika belum ada titik dan syakal. Pengucapan lafal bisa menjadi keliru sehingga akan mengubah makna. Hal seperti ini tidak terjadi, jika proses belajar langsung kepada seorang guru. Begitu pula halnya, meriwayatkan hadits dari hafalan bisa menimbulkan kesalahan, lain halnya meriwayatkan hadits dari sebuah kitab yang tertulis.
Ibnu Khaldun menulis sebuah pembahasan yang sangat bagus dan menarik seputar ini sebagaimana disebut dalam Al-Muqaddimah[9].
Sebagian orang mengatakan:
Siapa yang tidak mempelajari dasar-dasar ilmu langsung dari ucapan seorang ulama
Maka keyakinannya ketika menghadapi permasalahan hanya dugaan semata
Abu Hayan sering sekali menyandungkan bait berikut:
Banyak yang menyangka, buku bisa memberikan petunjuk kepada orang cerdas untuk menguasai ilmu
Namun, orang bodoh itu tidak tahu bahwa di dalam buku
Ada hal-hal rumit yang menjadikan akal orang cerdas kacau
Jika kauinginkan ilmu tanpa guru yang mengajari tentulah kausesat dari shirathal mustaqim
Banyak persoalan tampak kabur bagimu, sampai kau menjadi lebih sesat daripada Tuma Al-Hakim
Alhamdulillah, semoga Allah memberikan taufik kepada antum dan terkhusus kepada diri saya pribadi untuk memperlajari ilmu syar’i, mengamalkannya, mendakwahkannya, serta senantiasa bersabar dan istiqamah di atasnya. Sebagaimana firman-Nya ta’ala:
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَواْ بِٱلحَقِّ وَتَوَاصَواْ بِٱلصَّبرِ
Artinya:
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”[10]
InsyaaAllah wa biidznillahi ta’ala pembahasan terkait “Perhiasan Penuntut Ilmu” ini akan terus diringkas secara bertahap, sampai akhir halaman dari bukunya.
REFERENSI:
Diringkas dari buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi: Perhiasan Penuntut Ilmu karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abuzaid; Penerbit: Al-Qowam, Solo; Cetakan VII (Agustus 2018 M): hlm. 27-38
Diringkas oleh: Tamim Adi Joyo Prasetyo (Pegawai Pondok Darul Quran wal-Hadits OKU Timur)
[1] Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim. hlm. 144.
[2] Fadhul ‘Ilmi, Arsalan, hlm. 144.
[3] Syarhul Ihya’, I/334.
[4] QS. Al-Isra’: 106
[5] Tarajimul Rijal, Al-Khudhar Husain, hlm. 105 dan Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. XXIII/54-56.
[6] Siyaru A’lamin Nubala’, XVIII/105. Lihat Syarhul Ihya’, I/66, Bughyatul Wu’at, I/131, 286; Syadzaratudz Dzahab, V/11; dan Al-Ghuniyah, Qadhi Iyadh, hlm. 16-17.
[7] Syarhul Ihya’. I/66.
[8] As-Siyar, VII/114.
[9] Al-Muqaddimah, IV/1245.
[10] Al-‘Ashr: 3.
Baca juga artikel:
Leave a Reply