
MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT ANUGERAH TERISTIMEWA
MUQADDIMAH
Masalah ini merupakan salah satu pembahasan aqidah yang sangat penting. Bagaimana tidak. sedangkan hal itu merupakan kenikmatan yang ter amat agung. Inilah salah satu pokok di antara pokok aqidah yang didukung oleh banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, disepakati oleh seluruh nabi dan rasul serta para sahabat dan imam ineluruh lam segala Pembahasannya menyejam Is pandangan Ahli Sunnah dan membuat geram para ahli bid’ah, dan menyembulkan semangat mi para untuk berlomba-lomba meningkatkan amal shaba dalam menggapainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “la merupakan kenikmatan surga yang paling tinggi dan puncak harapan para hamba yang beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Menurut mayoritas ulama salaf, seorang yang mengingkarinya telah jatuh dalam kubang kekufuran.”
Aneh tapi nyata, kendatipun masalah ini begitu gamblang dan jelas, ternyata ia diungkari oleh seba- gian ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu yang dibutakan mata hatinya. Mereka berasal dari kalangan Jahmiyyah yang hina, Bathiniyyah yang nista, dan Rafidhah yang dimurka. Mereka tidak memper cayainya, menolaknya, atau minimal meragukannya.
Mengingat begitu pentingnya masalah ini, para ulama kita turut berpartisipasi mengulasnya. Tidak sedikit di antara mereka yang menulis kitab khusus tentangnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Ibnu Wadhdhah (287 H), Yahya bin Umar al Kindi al-Andalusi (289 H), Ibnu A’rabi (340 H), Abu Bakar ash-Shibghi (342 H), Abu Ahmad al-‘Assal (349 H), al-Ajurri (360 H), ath-Thabrani (360 H), ad-Daruquth- ni (378 H), Ibnu Nahhas (416 H), Abu Nu’aim al-Ash- bahani (430 H), dan sebagainya.
ARGUMENTASI AQIDAH
Sesungguhnya keyakinan “melihat Allah di akhirat kelak” merupakan aqidah yang mapan dalam al- Qur’an, hadits, dan ijma’. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Berikut ini beberapa dalil tersebut:
1. AL-QUR’AN
a. Firman Allah Ta’ala:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu ber seri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat.”(QS al-Qiyamah [75]: 22-23).
Ketahuilah wahai saudaraku semoga Allah merahmatimu bahwa ayat yang mulia ini termasuk dalil yang sangat kuat dan jelas yang menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti. Hal itu bisa dilihat dari tiga segi:
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menggandengkan kata “melihat” dengan kata depan ila (kepada) yang ini berarti mereka melihat wajah Allah Ta’ala dengan indra penglihatan mereka.Dalam ayat ini juga disandarkan kepada wajah yang merupakan anggota untuk melihat.
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa “wajah-wajah mereka berseri-seri” karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan sesuai dengan tingkatan surga yang mereka tempati. Dan keceriaan wajah seperti itu diraih dengan melihat.
Oleh karenanya, as-Suyuthi mengatakan tentang ayat di atas, “Dalam ayat ini terdapat bantahan terha-dap kaum Mu’tazilah yang mengingkari ru’yah (melihat Allah di akhirat).”
b. Firman Allah:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Artinya: “Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalangi dari (melihat) Rabb mereka”. (QS al-Muthaffifin [83]: 15).
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Harm al-Qurasyi berkata, “Saya mendengar asy-Syafi’i berkata tentang firman Allah di atas: ‘Tatkala Allah menghalangi mereka dengan kemurkaan, maka hal ini menunjukkan bahwa kaum mukminin akan melihat-Nya dengan keridhaan. “
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkomentar, “Apa yang diucapkan oleh Imam Syafi’i di atas bagus sekali. Beliau berdalil dengan mafhum mukhalafah (pemahaman keterbalikan) dari ayat ini, yang secara jelasnya dite- gaskan dalam firman-Nya:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat”. (QS al-Qiyamah [75]: 22-23).
Dan sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits yang shahih, bahkan mutawatir, kaum mukminin akan melihat Rabb mereka di kampung akhirat dengan mata kepala.”
Sebenarnya, masih ada beberapa ayat lainnya lagi yang dijadikan dalil Ahlus Sunnah untuk menetap- kan aqidah ini, di antaranya surat Yunus [10]: 26, Qaf [50]: 35,9 dan ayat-ayat yang menceritakan tentang perjumpaan dengan Allah seperti al-Baqarah [2]: 223, al-Kahfi [18]: 110, ar-Ra’du [13]: 3, dan lain-lain.
2. HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia semoga Allah selalu membimbingmu hadits-hadits tentangmelihat Allah di akhirat banyak sekali.” Bahkan, menurut timbangan para ahli hadits telah mericapas derajat mutawatir sehingga tidak perlu diragukan keabsahannya. Kalau memang demikian keadaannya maka kita pilih salah satu di antaranya:
عَنْ جَرِيرٍ ، قَالَ : كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ : إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوْا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوا
Artinya: Dari Jarir berkata, “Ketika kami duduk-duduk ber sama Nabi, tiba-tiba beliau melihat ke arah bulan di malam purnama seraya berkata, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak samar dalam melihat-Nya. Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan shalat sebe- lum terbitnya matahari (Subuh) dan shalat sebelum terbenamnya matahari (Asar) maka lakukanlah.” (HR al-Bukhari: 7434, Muslim: 1432)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya tentang “melihat Allah di akhirať” hingga menurut para pakar ilmu hadits mencapai derajat mutawatir se hingga tidak perlu diragukan keabsahannya.
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ngatakan, “Adapun hadits-hadits dari Nabi me dan para sahabatnya tentang melihat Allah di akhirat derajatnya mutawatir. Diriwayatkan oleh banyak saha- hat Abu Bakar ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Abu Sa’id 1-Khudri, Jarir bin Abdullah al-Bajali, Shuhaib bin inan ar-Rumi, Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali, Ali in Abu Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, ‘Adi bin Ha m ath-Tha’i, Anas bin Malik al-Anshari, Buraidah n Hushaih al-Aslami, Abu Razin al-Uqaili, Jabir binAbdullah al-Anshari, Abu Umamah al-Bahili, Zaid bin Tsabit, Ammar bin Yasir, Aisyah Ummul Muk- minin, Abdullah bin Umar, Umarah bin Ruwaibah, Salman al-Farisi, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin ‘Ash auf, Ubay bin Ka’ab, Ka’ab bin ‘Ujrah, Fadhalah bin Ubaid secara mauquf, dan seorang sahabat yang in dak disebutkan namanya (semoga Allah mend thi mereka semua).
Imam adz-Dzahabi berkata, “Adapun melihat Allah dengan mata kepala di akhirat merupakan hal yang pasti dan yakin. Telah mutawatir nash-nash tentangnya. Hadits-hadits tentangnya telah dikumpulkan oleh ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya.”
Ibnu Hajar berkata, “Ad-Daruquthni telah mengumpulkan hadits-hadits tentang melihat Allah di akhirat hingga mencapai dua puluh hadits. Ibnul Qayyim menelitinya hingga mampu mencapai tiga puluh hadits yang kebanyakan sanadnya bagus. Ad- Daruquthni menukil dari Yahya bin Ma’in bahwa dia mengatakan, ‘Saya memiliki tujuh belas hadits tentang melihat Allah di akhirat, semuanya shahih.
Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Nawawi, Ibnu Abil Izzi al-Hanafi”, Muhammad Amin asy-Syinqithi”, al-Kattani.
3. IJMA’
Banyak para ulama menukil ijma’ tentang melihat Allah di akhirat kelak:
a. Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau berkata, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) bersepakat bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat dengan mata kepala mereka.
b. Imam al-Baihaqi. Beliau berkata, “Kami meriwayatkan dalam kitab Itsbat Ru’yah dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abu Musa, dan lain- lain, tidak dinukil dari seorang pun di antara mereka yang meniadakannya. Sekiranya mereka bkil selisih, tentu perselisihan mereka itu akan dinukil kepada kita. Nah, tatkala telah dinukil kepada kita bahwa mereka menetapkan melihat Allah di akhirat dengan mata kepala dan tidak dinukil adanyaperselisihan di antara mereka, maka kita menge- tahui bahwasanya mereka semua telah bersepakat satu kata tentang melihat Allah di akhirat dengan mata kepala.”
c. Imam ad-Darimi. Beliau berkata, “Sungguh telah shahih atsar-atsar dari Rasulullah dan ahli ilmu setelahnya, demikian pula al-Qur’an telah menegaskannya. Apabila berkumpul al-Qur’an, ha- dits Rasul, dan ijma’ (kesepakatan umat), maka tidak ada peluang bagi seorang pun untuk menakwilkannya, kecuali seorang yang sombong atau pengingkar.”
d. Imam Ibnu Khuzaimah. Beliau berkata, “Ahli Islam dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang- orang setelah mereka hingga para ulama yang kita saksikan pada zaman kita, tidak berselisih dan ti- dak meragukan bahwa seluruh kaum mukminin akan melihat Pencipta mereka kelak di akhirat dengan mata kepala.”
e. Imam an-Nawawi. Beliau berkata, “Ketahuilah, madzhab seluruh Ahlus Sunnah menetapkan ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat bagi kaum mukminin, bukan kaum kafirin. Hal itu bukan- lah mustahil. Sebagian kelompok ahli bid’ah dari Mu’tazilah, Khawarij, dan sebagian Murji’ah be- ranggapan, tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Nya dan merupakan suatu hal yang mus- tahil secara logika. Anggapan mereka ini sangat jelas keliru. Banyak sekali dalil dari al-Qur’an, hadits, dan ijma’ sahabat serta para ulama salaf setelah mereka yang menetapkan melihat Allah di akhirat bagi kaum mukminin, diriwayatkan oleh dua puluh sahabat dari Rasulullah Ayat-ayat al-Qur’an juga masyhur. Adapun syubhat-syubhat ahli bid’ah telah dijawab secara tuntas di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.”
f. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau berkata setelah memaparkan beberapa dalil berupa ayat, hadits, ucapan para salaf tentang masalah ini, “Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma’ sahabat, imam Islam, dan ahli hadits menunjukkan bahwa Allah akan dilihat kelak di akhirat dengan mata kepala secara terang, sebagaimana rembulan di malam bulan purnama dapat terlihat secara jelas dan sebagaimana matahari dapat dilihat secara terang di siang bolong.”
Imam al-Ajurri. Beliau berkata, “Apabila ada yang menentang masalah ini dari seorang jahil yang tidak berilmu atau sebagian Jahmiyyah yang tidak diberi petunjuk dan dipermainkan setan, seraya mengatakan, ‘Benarkah orang-orang yang beriman akan melihat Allah kelak di akhirat? Ja wablah, ‘Ya, benar. Segala puji bagi Allah atas hal itu. Kalau orang Jahmi berkata, ‘Saya tidak mem percayainya. Katakan kepadanya, Engkau telah kufur kepada Allah, Dzat Yang Maha Agung Kalau dia mengatakan, ‘Apa alasannya?’ Katakan kepadanya, Karena kamu telah menolak al-Qur’an, hadits, ucapan para sahabat, dan ucapan seluruh ulama kaum muslimin, serta kamu tidak mengi kuti jalan orang-orang yang beriman. Sehingga engkau termasuk dalam ayat:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya; “Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas ke benaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa ter- hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ta ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu se buruk-buruk tempat kembal”i. (QS an-Nisa’ [4]: 115).
Selanjutnya, al-Ajurri mengatakan, “Barangsiapa membenci aqidah yang dianut oleh para imam tersebut dan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, serta ridha dengan ucapan Jahm, Bisyr al-Mirrisi, dan se- jenisnya maka dia kafir”.
Dengan penjelasan di atas, tidak kita ragukan lagi bahwa melihat Allah di akhirat merupakan masalah ijma’ (konsensus ulama) dan tidak ada perselisihan di kalangan Sahabat sedikit pun selama-lamanya Ini lah pendapat seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan tabi’in dan para imam. Bahkan, kata Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, “Sesungguhnya kaum mukminin tidak berselisih pendapat bahwa mereka akan melihat pencipta mereka kelak di Hari Akhir. Barangsiapa mengingkarinya, dia tidak termasuk orang yang beriman. “
4. AKAL
Adapun dalil akal yang menunjukkan masalah ini adalah bahwa Allah melihat hamba-Nya sehing-juga bisa melihat-Nya, sebab segala sesuatu yang ada maka bisa dilihat, sedangkan yang tidak dilihat itu adalah sesuatu yang tidak ada. Maka tatkala Allah adalah Dzat yang ada maka bukanlah mustahil jika Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita semua.
MUNGKINKAH MELIHAT ALLAH DI DUNIA?
Melihat Allah dengan mata kepala di dunia ini adalah tidak mungkin terjadi selama-lamanya, ber dasarkan hadits:
وَإِنَّكُمْ لَمْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
Artinya: “Dan sesungguhnya kalian tidak akan melihat Rabb ka lian (di dunia) sampai kalian mati.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah)
Hal itu karena manusia tidak akan kuat jika melihat Allah di dunia. Karenanya, tatkala Nabi Musa meminta kepada Allah agar memperlihatkan diri- Nya kepadanya, maka Allah berfirman kepadanya:
لَن تَرَىنِي
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak bisa melihat-Ku.” (QS al-A’raf [7]:143)
Maksudnya, kamu tidak bisa melihat-Ku sekarang di dunia karena kamu tidak akan kuat.
Para ulama telah bersepakat tentang hal ini. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang yang jahil tidak mengetahui tentang agama atau membangun agamanya dengan dasar yang batil atau orang yang terjerumus dalam kubang tasawuf yang berlebihan. Kita berlindung kepada Allah dari hawa nafsu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Setiap orang yang mengaku melihat Allah dengan mata kepalanya sebelum mati maka pengakuan nya adalah batil dengan kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena mereka telah bersepakat bahwa seorang mukmin tidak bisa melihat Allah dengan mata kepalanya hingga dia meninggal dunia.”
Dahulu, dikatakan oleh al-Kalabadzi dalam kitab nja at-Ta’arruf hlm. 78, “Melihat Allah adalah ke nikmatan yang sangat tinggi dan kesenangan yang sangat mengagumkan.Oleh karenanya,tidak terjadi kecuali di kampung yang tidak tercampuri oleh kemaksiatan, yaitu kampung Surga. Adapun bumi, maka telah ternodai oleh dosa-dosa yang begitu banyak, maka tidak mungkin terjadi padanya nikmat yang teragung yaitu melihat Allah yang melalaikan ahli surga dari kenikmatan surga lainnya.”
SUMBER:
MAJALAH AL-FURQON
DIKARANG OLEH: USTADZ ABU UBAIDAH YUSUF BIN MUKHTAR AS-SIDAWI
JUDUL: MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT ANUGERAH TERISTIMEWA
DIRINGKAS OLEH: ABDUL LATIF MUKHAMINUDDIN
Baca juga artikel:
Ajukan Pertanyaan atau Komentar