Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Sawang sinawang

SAWANG

Sawang sinawang

 

Mencari kambing hitam ketika terjadi masalah adalah kebiasaan buruk. Lebih-lebih jika yang dijadikan kambing hitam adalah benda mati. Seperti orang yang menyalahkan batu ketika jatuh. Seharusnya seseorang itu introspeksi diri ketika terjadi masalah. Bukan malah menyalahkan orang lain.

Orang yang selalu mencari kambing hitam ketika terjadi masalah tidak akan terdidik menjadi baik.

Allah berfirman,

ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وأن الله سميع عليم

Artinya:

(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal 53)

 

Jadi ketika ada nikmat yang tercabut dari seseorang. Maka sebabnya adalah diri dia sendiri. Maka ayat ini mengajarkan kita agar introspeksi ketika terjadi masalah dan tidak mengkambing hitamkan orang lain.

Di antara pemicu terjadinya berbagai masalah, adalah suka membanding-bandingkan. Contoh, seorang suami yang membanding-bandingkan kecantikan istri dengan wanita lain. Maka jadilah kebahagiaan di rumah tangga semakin pudar. Contoh lain, membanding-bandingkan harta yang sudah dimiliki dengan yang ada pada orang lain. Akhirnya dia tidak bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.

Allah berfirman,

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)

Makna ayat ini, Allah melarang kita dari sikap mudah terpesona dengan kenikmatan yang telah Allah berikan kepada orang lain.

Ketika seseorang menganggap orang lain dalam keadaan yang lebih baik dari dirinya, bisa jadi orang itu menganggap kita lebih baik dari dia. Inilah yang dimaksud dari kalimat (pepatah Jawa) SAWANG SINAWANG.

_”Urip iku sawang sinawang. Mulakno ojo mung nyawang sing kesawang.”_

Artinya:

Hidup itu adalah permasalahan melihat dan dilihat. Maka jangan hanya menilai dari apa yang terlihat.

Maksudnya, jangan mudah menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang kita lihat.

Maka jangan suka buru-buru menyimpulkan apa yang dilihat dari orang lain. Terlebih lagi manusia sering mengenakan “topeng” dalam hidupnya. Tertawa untuk menutupi kesedihan, menangis untuk menutupi kebahagiaan.

Dalam Islam, terdapat petunjuk dalam menyikapi perbedaan dalam kehidupan.

  1. Kita harus yakin bahwa perbedaan di muka bumi adalah sunnatullah, yaitu kodrat ilahi yang tidak bisa diubah.

Contoh, perbedaan adanya yang kaya ada yang miskin, ada yang jadi atasan ada bawahan, ada tawa ada tangis dan lain sebagainya.

Dan adanya perbedaan ini adalah karena Allah maha adil. Karena Allah menginginkan dari perbedaan ini agar kehidupan manusia bisa berjalan dengan sebaik mungkin.

Contoh, seandainya Allah menjadikan semua orang menjadi kaya semua, maka kehidupan tidak akan berjalan.

Hal ini telah diisyaratkan dalam Al-Quran,

Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)

  1. Menyikapi perbedaan yang ada dengan bersyukur.

Ketika kita melihat orang lain lebih kaya maka hendaknya kita bersyukur, yaitu dengan melihat orang yang levelnya di bawah kita.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu, jangan lihat kepada yang lebih tinggi. Hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim no. 2963)

Contoh, orang yang punya motor butut melihat orang yang hanya punya sepeda ontel, orang yang punya sepeda ontel melihat kepada orang yang kemana-mana berjalan kaki. Orang yang hanya berjalan kaki melihat kepada orang yang tidak bisa jalan. Dengan demikian setiap orang akan mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya.

Aun ibnu Abdillah – rahimahullah – pernah bercerita.

Dulu aku hanya bergaul dang orang-orang kaya. Maka ketika itu aku merasa susah dan tidak tenang. Setiap aku bergaul dengan mereka ternyata tunggangan mereka lebih bagus dari tungganganku, dan baju mereka lebih bagus dari bajuku. Lalu aku pun bergaul dengan orang-orang miskin. Maka aku merasa nyaman dalam hidup.

 

Maka wajar Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdoa,

اللهم إني أسألك فعل الخيرات، وترك المنكرات، وحب المساكين…

Artinya:

“…. Ya Allah, aku memohon kepada Mu (untuk bisa) melakukan kebaikan, dan meninggalkan kemungkaran, dan mencintai orang-orang miskin.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata Hadits hasan shahih).

Catatan : Melihat orang yang levelnya di bawah kita adalah dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan agama dan akhirat maka hendaknya melihat yang levelnya di atas agar bisa berlomba-lomba dalam kebaikan.

Contoh, Umar melihat kepada Abu Bakr dalam rangka untuk berlomba-lomba dalam sedekah, sebagaimana dalam kisah yang telah makruf.

Sebagian ulama salaf berkata, “Apabila kamu kalah dari temanmu dalam urusan dunia, maka kalahkan dia dalam urusan akhirat.”

Catatan lain : pembahasan ini bukan berarti kita tidak perlu memajukan perekonomian umat. Sebagai bukti, bahwa para salaf dulu ada yang kaya, seperti Abu Bakr, Utsman, Abdurrahman bin Auf, dan yang lain. Akan tetapi mereka tidak saling iri hati.

Dan para sahabat dahulu, pikiran mereka adalah bagaimana mengalahkan orang lain dalam urusan akhirat, bukan dunia. Sebagaimana dahulu orang-orang yang miskin datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikan rasa “iri” mereka kepada orang-orang kaya bukan karena kekayaan mereka, tetapi karena mereka (orang-orang kaya) bisa bersedekah dengan kekayaan yang ada pada mereka.

  1. Pergunakan nikmat dengan benar.

Ini merupakan bagian dari syukur. Yaitu bersyukur dengan amalan.

Kebanyakan orang yang suka membanding-bandingkan pada umumnya karena tidak menggunakan waktu untuk yang bermanfaat. Maka gunakanlah waktu dalam amalan-amalan yang bermanfaat. Dan sungguh masih sangat banyak sekali amalan-amalan bermanfaat yang belum kita lakukan. Contohnya, seperti amalan mentadabburi Al-Quran.

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr berkata,

“Seandainya tingkat intensitas (keseringan) kita untuk mengkaji dan tadabbur Al-Quran seperti tingkat intensitas kita dalam membuka HP, niscaya akan terjadi perubahan dahsyat dalam hidup kita.”

 

Wallahu a’lam bish shawaab.

REFERENSI:

 

DIRINGKAS DARI : ARTIKEL KAJIAN USTADZ ABDULLAH ZAEN LC MA DI MASJID AGUNG DARRUSALAM PURBALINGGA

DIRINGKAS OLEH : ANGGARA PRATODI (PENGAJAR PONPES DARUL QUR’AN WAL HADITS)

Baca Juga Artikel:

Nasehat Berharga di Bulan Ramadhan Part 1

Cara Selamat dari Fitnah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.