Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Ketaatan Yang Bersahaja

ketaatan-yang-bersahaja

Bersahaja, Maksudnya sederhana dan tidak berlebih-lebihan

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah.

Segala puji kita panjatkan hanya kepada Allah, dan shalawat serta salam atas baginda Rasulullah, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan dan hamba Allah.

Seorang muslim sebagai makhluk yang Allah ciptakan dengan tujuan yang agung dan mulia, yaitu mewujudkan peribadatan kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu-pun hendaknya bersemangat dalam mengerjakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan dalam beribadah dianjurkan untuk bersahaja (tidak kurang atau tidak berlebihan) di dalamnya.

Sebab sikap berlebihan bisa membuat terputusnya kebaikan. Betapa banyak orang yang di awal perkara kita dapati memiliki semangat empat lima, namun selang beberapa hari kebosanan tiba-tiba menerpanya, bagai angin yang membawa hujan asam. Sehingga dia tidak dapat sampai ke tujuan yang diimpikan.

Begitu pula sikap bermalas-malasan bisa memutus kebaikan dan mencegah dari mendapatkannya. Seorang yang malas dalam ibadah niscaya tidak akan pernah sampai pada tujuannya dan harapannya pun menjadi sirna.

Dan sebaik-baik sikap adalah pertengahan, karena itu dapat menyampaikan kepada maksud dan mempercepat harapan terwujud. Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkata,

دِيْنُ اللهِ وَسطٌ بَيْنَ الغَالِي فِيهِ والجَافِي عَنْهُ

Artinya: “Agama Allah berada menengahi antara sikap berlebihan dan sikap kaku (jumud).”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin setelah menjelaskan makna pertengahan, Beliau berkata,”Dan begitu juga ketaatan harus ada sikap pertengahan di dalamnya, bahkan wajib bagimu bersikap pertengahan. Tidak memberatkan dirimu dengan amalan yang tidak dimampui. Karena Nabi ketika sampai kepadanya berita tiga orang yang berlebihan dalam beribadah, orang pertama tidak mau menikah, orang yang kedua ingin berpuasa sepanjang tahun dan ketiga ingin qiyamul lail tanpa tidur. Segera Beliau berdiri di atas mimbar dan mencelah mereka dan berkata,’Siapapun yang benci dengan sunnahku maka bukan termasuk golonganku. Pukulan yang telak bagi mereka dan orang yang sejenisnya.

Allah berfirman,

طه (1) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (2) [طه : 1،2]

Artinya: “Tidaklah Kami turunkan al-Quran itu padamu -hai Muhammad- agar engkau mendapat celaka.” (QS. Thaha: 1-2)

Allah meurunkan Al-Quran al-Karim kepada Rasulullah sebagai upaya menghilangkan kesusahan yang dialami umat manusia, serta untuk melepaskan belenggu dan rantai yang mengikat umat-umat terdahulu. Karenanya Al-Quran itu penyembuh hati dan cahaya petunjuk kepada keselamatan dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman lagi:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة : 185]

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan padamu semua dan tidak menghendaki kesukaran untukmu semua.” (al-Baqarah: 185)

Allah menekankan kepada hamba-hamba-Nya bahwasanya Allah ingin kemudahan bagi para hamba-Nya, bukan kesulitan. Dengan cara menghilangkan kesukaran dari diri mereka serta hanya memerintahkan kepada mereka dengan hal-hal yang mampu mereka kerjakan. Dan hanya menghisab yang mereka perbuat saja. Karena itulah, Allah mengutus Rasul-Nya dengan membawa agama yang terbaik; al-Hanifiyyah as-Samhah (Agama Nabi Ibrahim yang mudah).

Dan sunnah Rasul mengenai penjelasan akan hal ini banyak, dan Imam Nawawi telah membuat bab dalam kitab Riyadhus-Shalihin-nya yang terkenal. Yaitu bab al-Iqtishod fiit Tho’ah. Kita akan menukilkan beberapa hadis dalam kitab tersebut.

Hadis pertama,

عن عائشةَ رضي اللَّهُ عنها أَن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم دخَلَ عليْها وعِنْدها امْرأَةٌ قال : منْ هَذِهِ؟ قالت : هَذِهِ فُلانَة تَذْكُرُ مِنْ صَلاتِهَا قالَ : « مَهُ عليكُمْ بِما تُطِيقُون ، فَوَاللَّه لا يَمَلُّ اللَّهُ حتَّى تَمَلُّوا وكَانَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَيْهِ ما داوَمَ صَاحِبُهُ علَيْهِ » متفقٌ عليه.

Artinya: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam memasuki rumahnya dan di sisinya ada seorang wanita. Beliau shalallahu alaihi wasalam bertanya: “Siapakah ini?” Aisyah menjawab: “Ini adalah si Fulanah.” Aisyah menyebutkan perihal shalatnya wanita tadi yang sangat luar biasa tekunnya. Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Jangan demikian, hendaklah kalian berbuat sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah itu tidak bosan -memberi pahala- sehingga kalian sendiri yang bosan -melaksanakan amalan itu. Dan, pengamalan agama (syari’at) yang paling beliau sukai adalah yang dikerjakan secara terus-menurus.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah menasehati si Fulanah agar tidak berlebihan dalam beribadah tapi bersahaja-lah di dalamnya. Sebab Allah itu tidak akan bosan sampai hamba itu sendiri yang jemu. Dan amalan yang paling baik adalah yang langgeng meski sedikit. Karena banyak ibadah di luar kemampuan fisik dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan yang mengakibatkan jiwa tidak mau melakukannya lagi.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata,”Sungguh telah sampai kepada Rasulullah berita mengenai ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash yang berkata,’Aku akan berpuasa siang hari dan qiyamul lail selama Aku hidup.’ Beliau berkata seperti itu karena cinta kebaikan. Nabi pun berkomentar,’Apakah engkau yang berkata seperti itu?’ beliau pun menjawab,’Ya wahai Rasulullah.’ Rasulullah pun berkata,’Engkau tidak akan sanggup.’ Kemudian Nabi menyuruhnya berpuasa tiga hari setiap bulan.

Beliau berkata,’Sungguh Aku bisa lebih dari itu.’ Lalu diperintah untuk berpuasa sehari dan berbuka sehari. Namun Beliau berkata,’Sungguh Aku bisa lebih dari itu.’ Tapi beliau masih tetap ngeyel. Sehingga Nabi berkata,’Puasalah sehari dan berbukalah sehari.’ Lagi-lagi Beliau berkata,’Sungguh Aku bisa lebih dari itu.’ Rasulullah pun berkata,’Tidak ada yang lebih banyak dari itu, inilah puasa daud.’

Ketika Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tumbuh besar dan berpuasa sehari dan berbuka sehari menjadi hal yang sulit baginya, beliau berkata,’Seandainya Aku menerima keringanan dari Nabi.’ Kemudian beliau berpuasa lima belas hari secara berurutan dan berbuka lima belas hari begitu juga.

Inilah dalil agar manusia dalam beribadah supaya bersahaja, tidak berlebihan dan tidak meremehkan. Sehingga kelanggengan di dalam menjalankannnya menjadi sebuah keniscayaan, dan amal yang dicintai Allah adalah yang langgeng meskipun sedikit.

Hadis kedua,

وعن ابن مسعودٍ رضي اللَّه عنه أن النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ »

قالَهَا ثلاثاً ، رواه مسلم.

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan (keterlaluan dalam melakukan sesuatu).” Beliau shalallahu ‘alaihi wasalam mensabdakan ini sampai tiga kali banyaknya.” (Riwayat Muslim)

Almutanathtbi’un yaitu orang-orang yang mendalami serta memberatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Rasulullah mewarning umatnya agar tidak menjadi orang yang Almutanathtbi’un. Dan kebinasaan adalah akhir bagi orang yang suka berlebihan dalam ucapan dan perbuatan. Padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kesederhanaan dan keseimbangan anatara ucapan dan perbuatan.

Dan diantara kisah yang bisa menjadi contoh adalah kisah Bani Isroil yang diperintahkan untuk menyembelih sapi betina agar pembunuh yang membunuh seorang dapat diketahui. Tapi apa yang mereka perbuat? Mereka merepotkan diri mereka sendiri dengan menanyakan perkara yang tidak perlu dari ciri-ciri hewannya. Padahal jika mereka langsung menerima maka perkaranya mudah. Tapi ketika sikap ghuluw terdapat dalam diri maka jadilah apa yang terjadi. Mereka meu membinasakan diri mereka sendiri.

Termasuk dalam hal ini seorang yang memberatkan diri dengan shalat dan puasa serta selainnya padahal Allah telah memberikan kemudahan di dalam pelaksanaannya. Contohnya, orang yang sakit terutama di bulan Ramadhan. Allah telah membolehkan mereka untuk berbuka dalam keadaan sakit, dan orang sakit butuh makan dan minum. Tapi dia memberatkan diri dengan tetap berpuasa.

Hadis ketiga,

عن أَبِي هريرة رضي اللَّه عنه النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، ولنْ يشادَّ الدِّينُ إلاَّ غَلَبه فسدِّدُوا وقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، واسْتعِينُوا بِالْغدْوةِ والرَّوْحةِ وشَيْءٍ مِن الدُّلْجةِ » رواه البخاري.

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shalallahu alaihi wasalam sabdanya: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah agama ini dijalankan dengan cara memaksakan diri (di luar kemampuan) melainkan ia akan mengalahkan pelakunya (membuatnya semakin tidak berdaya menjalankannya). Maka bersikap luruslah (bersahajalah), mendekatlah pada kesempurnaan dan bergembirahlah kalian; serta jadikanlah waktu pagi, sore dan sebagian dari waktu malam sebagai penopang (untuk taat kepada Allah).” (Riwayat Bukhari)

وفي رواية له « سدِّدُوا وقَارِبُوا واغْدوا ورُوحُوا ، وشَيْء مِنَ الدُّلْجةِ ، الْقَصْد الْقصْد تَبْلُغُوا ».

Artinya: Dalam riwayat Imam Bukhari lainnya disebutkan: “Berlaku luruslah, lakukanlah yang sederhana, pergilah di waktu pagi, juga di waktu sore serta sebagian di waktu malam. Berbuatlah sederhana, niscaya kalian akan sampai (pada tujuan).”

Ini adalah tips dari Rasulullah dalam menjalankan agama ini. Adapun orang yang tidak mengikuti tips ini bahkan mempersulit diri sendiri dia akan dikalahkan oleh agamanya dan tidak akan kuat menanggungnya dikarenakan banyaknya jalan (cabang syari’at) yang mesti ditempuh.

Tiga waktu yang Rasulullah bicarakan adalah waktu yang seorang hamba merasa semangat dan hati tidak sibuk, sehingga ibadah pada saat itu dapat dilakukan dan tujuan pun bisa digapai. Sebagaimana seorang musafir yang cerdas akan berjalan pada ketiga waktu ini dan akan beristirahat bersama dengan tunggangannya pada selain waktu tersebut, dan dia bisa sampai tujuan tanpa merasa lelah.

Dan Sederhana dalam beribadah akan mengantarkan seseorang kepada keridhaan Allah, di samping akan mendorongnya untuk terus beribadah kepada-Nya.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata,”Jadi kesimpulannya, agama itu mudah. Mudah dari pokok dan asal pensyariatannya. Dan mudah pada hal yang mewajibkan untuk adanya kemudahan. Nabi berkata kepada ‘Imron bin ‘Husain,

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Artinya: Shalatlah berdiri, kalau tidak bisa maka duduklah, kalau tidak bisa (duduk) maka berbaringlah (kesisi qiblat).”

Hadis keempat,

وعن أَنسٍ رضي اللَّهُ عنه قال : دَخَلَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم الْمسْجِدَ فَإِذَا حبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فقالَ : « ما هَذَا الْحبْلُ ؟ قالُوا ، هَذا حبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَترَتْ تَعَلَقَتْ بِهِ . فقال النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « حُلّوهُ ، لِيُصَلِّ أَحدُكُمْ نَشَاطَهُ ، فَإِذا فَترَ فَلْيرْقُدْ » متفقٌ عليه.

Artinya: Dari Anas radhiyallahu anhu, katanya: “Suatu ketika Nabi shalallahu alaihi wasalam masuk ke dalam masjid, dan ternyata di dalamnya terdapat tali yang terikat di antara dua tiang. Maka Beliau shalallahu alaihi wasalam bertanya: “Tali apakah ini?” Para Sahabat menjawab: “Ini adalah kepunyaan Zainab, jika ia sudah merasa lelah (dalam shalat), ia pun berpegangan pada tali tersebut.” Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu bersabda: “Lepaskan sajalah. Hendaklah seorang itu melakukan shalat di waktu ia sedang bersemangat, maka jikalau ia telah merasa malas, maka hendaklah ia tidur.” (Muttafaq ‘alaih)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata,”Dalam hadis ini terdapat dalil akan ketidak-bolehan seorang untuk mendalami dan berlebihan dalam beribadah serta tidak boleh membebankan dirinya dengan sesuatu yang tidak disanggupi. Tapi, shalatlah selagi semangat, jika terasa lelah istirahatlah tidur. Karena jika dilanjutkan hal ini bisa membuatnya terganggu, suntuk, bosan bahkan bisa menjadikan benci terhadap ibadah.

Bisa jadi dia berdoa untuk kebaikan dirinya, ternyata dia berdoa untuk keburukan dirinya (karena ngantuk yang hebat) atau dia bersujud seraya berdoa meminta ampunan ternyata yang terucap meminta murka (karena saking ngantuknya)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

« إِذَا نَعَسَ أَحدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي ، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ ، فإِن أَحدَكم إِذَا صلَّى وهُو نَاعَسٌ لا يَدْرِي لعلَّهُ يذهَبُ يسْتَغْفِرُ فيَسُبُّ نَفْسَهُ » . متفقٌ عليه

Artinya: “Jikalau seorang dari kalian mengantuk dan ia sedang bershalat, maka hendaklah ia tidur dulu, sehingga hilanglah rasa kantuknya. Sebab sesungguhnya seorang dari kalian itu jikalau bershalat sedang ia mengantuk, maka ia tidak tahu, barangkali ia memohonkan pengampunan -kepada Allah, tetapi ia lalu mencaci maki dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan hal ini tidak khusus dalam permasalahan shalat saja. Tapi mencakup semua amalan. Jangan membebani diri dengan ketidak-mampuan. Berbuamalah-lah dengan dirimu secara lembut. Jangan tergesa-gesa dalam mengapai sesuatu. Karena impian itu terkadang ditunda dengan hikmah yang Allah inginkan. Jangan berkata, “Aku ingin mecapekkan diriku.” Tunggulah dan berikan kepada dirimu haknya. Kemudian engkau akan mendapatkan apa yang diinginkan.

Dan inilah diantara kemudahan Islam dan ketaatan yang bersahaja. Semoga risalah yang ringkas ini bisa memberikan manfaat kepada yang menulis, membaca dan menyebarkannya.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammmad wa alihi wa shohbihi.

Referensi:

Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi.

Terjemah Kitab “Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali. Pustaka Imam Syafi’i. Cet. 7/Sept 2012M.

Syarh Riyadhus Sholihin. Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin. Madaa-rul Wathan lin Nasyr. Cet tahun 1435H.

Penyusun: Muhammad Syarifudin.

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.