KESALAHAN YANG AKAN DIMAAFKAN ALLAH TA’ALA

kesalahan yang akan dimaafkan Allah

Allah sangat sayang kepada hambanya, diantara tanda bentuk beberapa kasih sayangnya adalah ada beberapa kesalahan yang dilakukan manusia akan tetapi namun Allah ma’afkannya, seperti melakukan kesalahan karena lupa, tanpa  sengaja, atau karena dipaksa.

‘’Dari Ibnu ‘Abbas rodiyallahuma, bahwasannya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إن الله تجاوزلي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

Artinya: ‘’Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan umatku karena aku (disebabkan oleh beberapa hal): kesalahan,lupa dan apa yang dipaksakan terhadapnya” (Hadist hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan selainnya).

Penjelasan tentang hadist tersebut adalah:

  1. Melakukan kesalahan: Seseorang melakukan sesuatu hal tanpa sengaja.
  2. Lupa: Tidak ingatnya hati dari sesuatu yang sebelumnya telah diketahui.
  3. Dipaksa terhadapnya: dipaksa orang lain untuk melakukan perbuatan haram dan ia tidak bisa menolaknya.

Tiga alasan ini disebutkan didalam al-Qur’an. Tentang salah dan lupa Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به ولكن ما تعمدت قلوبكم

Artinya: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu’’. (QS.  Al-Ahzab: 5)

Adapun tentang paksaan, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

ومن كفر بالله من بعد إيمانه إلا من إكره وقلبه مطمئن بالإيمان ولكن من شرح بالكفر صدرا فعليهم غضب من الله ولهم عذاب عظيم

Artinya: ‘’Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.’’ (QS.An-Nahl: 106)

Allah meniadakan hukum kafir dari orang yang dipasa. Maka terlebih lagi dosa maksiat dibawah kekufuran, pasti Allah memaafkannya. Jadi hadist ini, meskipun ada yang menghukuminya dengan dha’if, namun dikuatkan kebenarannya oleh Al-Qur’an kalamullah Ta’ala, Rabb sekalian alam.

 

BEBERAPA FAEDAH (PELAJARAN) DARI HADIST INI:

  1. Luasnya rahmat dan kelembutan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya, dimana Allah memaafkan dari mereka dosa maksiat yang disebabkan tiga hal diatas, padahal jika Allah berkehendak, niscaya Ia akan menghukum setiap orang yang menyelisihi perintahnya-Nya, bagaimanapun keadaan mereka.
  2. Segala yang diharamkan oleh allah, baik dalam hal ibadah maupun selainnya,jika seseorang melakukannya karena tidak tahu, lupa,dan dipaksa, maka tidak berdosa baginya yang berkenaan dengan hak Allah. Adapun yang berkaitan dengan hak manusia, mka tidak dimaafkan. Tetap ia harus menanggung ganti rugi, meskipun dosaya itu sendiri dimaafkan.

Maka segala yang diharamkan akan diangkat hukumnya dengan tiga hal, seakan dia tidak melakukannya, dan sama sekali tidak dikecualikan dalam hal ini. Misalnya:

  1. Seseorang berkata-kata dalam shalatnya sebab ia menyangka hal ini diperbolehkan, maka shalatnya tidak batal, sebab ia tidak tahu dan kesalahannya tanpa sengaja. Dalam hal ini ada dalil yang khusus, yaitu bahwa Mu’awiyah bin al-Hakam rodiyaallahu ‘anhu, ia shalat bersama Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam, lalu ia mendengar seseorang bersin dan mengucapkan hamdalah. Ia langsung mendoakannya seraya berkata: yarhamukalla. Orang-orang pun memandanginya dengan tajam( padangan pengingkaran). Mu’awiyah berkata: ‘’semoga ibu kalian merasa kehilangan kalian.’’-kalimat meruh iba-.  Mereka jadi memukul paha mereka sendiri, supaya Mu’awiyah diam, lalu ia pun terdiam. Setelah selesai shalat, Rasulullah shallahu ‘alahissalam- orang yang sangat penyatu dan penyayang, memanggil kaum mukminin. Mu’awiyah berkata: “Ayah dan ibuku yang menjadi tebusannya, belum pernah aku liahta seorang guru yang lebih indah pengajrannya darinya, ia tidak membenciku, tidak menghardiku, tidak pula memukulku, hanya saja berkata:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيئ من كلام الناس إنما هي التكبير والتسبيح وقراءة القرآن

Artinya: ‘’Sesungguhnya, dalam shalat ini tidak layak padanya apapun dari perkataan manusia. Shalat hanyalah berupa takbir, tasbih dan bacaan al-Qur’an’’ (HR. Muslim no: 37)

Kesimpulan dalil dari hadist diatas: Nabi tidak menyuruh mengulangi shalat, apabila mengulang shalat itu diwajibkan atasnya, niscaya Nabi akan memerintahkannya sebagaimana beliau memerintahakan hal itu terhadap orang yang tidak tenang (thumaninah) dalam sholatnya.

  1. Seseorang sedang sholat, lalu ada orang yang mengetuk pintu lalu ia menjawab: “Silahkan.” Ia lupa kalau dirinya sedang sholat, maka sholatnya tidak batal disebabkan lupa dan tidak sengaja.
  2. Seseorang dipaksa untuk makan disiang hari dibulan Ramadhan lalu ia makan, maka puasanya tidak rusak sebab dirinya dipaksa. Akan tetapi disyaratkan dalam paksaan, yaitu: yang memaksa mamapu untuk melakukan apa yang dipaksakannya jika ia tidak mampu seperti: seseorang berkata: “hai fulan makan kurma ini, jika kamu tidak memakannya saya pukul batau saya ikat kamu”. Padahal ia lebih lemah dari orang yang diancam dan yang diancam mampu melawannya. Maka ini tidak termasuk paksaan, sebab ia mampu untuk mengalahkannya.
  3. Orang yang puasa berbuka karena menyangka matahari telah terbenam, kemudian jelas baginya belum terbenam baginya, demikian pula orang yang mendengar adzan, lalu nia mengira itu adalah adzan di negrinya, sehingga ia pun berbuka kemudian terbukti bahwa dinegrinya belum adzan dan matahari juga belum terbenam, maka baginya tidak diwajibkan qodho dikarenakan tidak tahu. Jika ia tahu, pasti ia tidak akan melakukannya. Andaikan dirinya belum berbuka, lalu mengira bahwa matahari sudah terbenam dengan adanya adzan,kemudian bedrbuka, tetap tidak ada dosa baginya.

Dalam masalah ini tedapat sebuah dalil, sebagaimana diriwayatkan oleh Asma binti Abu Bakar As-Shiddik, bahwasannya para sahabat berbuka puasa di hari yang mendung( mereka menyangka matahari telah terbenam), hal itu terjadi pada zaman Rasulullah shallahu ‘alaissalam , lalu matahari muncul kembali. (HR. Bukhori dalam shohinya)

Jadi mereka berbuka puasa sebelum matahari terbenam dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk mengqodhonya. Diantara para ulama ada yang mengatakan diwajibkanya qodho dalam keadaan seperti ini (berbuka sebelum matahari terbenam), besandar pada perkataan sebagian fuqohah.

Sikap kita dari pendapat ini, kita katakan sebagaimana dalam al-Qur’an suarat An-nisa: 59 dan surat asysyuro: 10, sehingga pada saat itu tidak tersisa satu komentar pun.

Demikian apa yang telah saya tulis di artikel ini, berdasarkan ringkasan dari pembahasan di kitab syarah hadits “Arba’in Nawawi”, semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat bagi diri saya pribadi dan kepada para pembaca.

 

Referensi:

Diringkas dari kitab Syarah hadits Arbain An-Nawawi, Karya Syeikh Ibnu Shalih Al-Utsaimin

Peringkas: Nensi Lestari (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.