Hasrat Ingin Viral Dan Bahayanya

hasrat ingin viral dan bahayanya

Hasrat Ingin Viral Dan Bahayanya – Mencintai ketenaran dan kemuliaan merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam jiwa, menghancurkan hati, tidak disadari kecuali setelah masuk begitu mendalam, sulit dideteksi dan kerusakannya pun sulit diperbaiki. Bahkan perlahan-lahan keikhlasan mulai teriritasi dan menjadikan kamuflase hasrat yang selama ini belum terpenuhi. Bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan urgensi keikhlasan, bagaimana ulama’ membenci ketenaran, baik tenar sebab kebaikan atau tenar sebab keburukan, serta solusi apa yang Islam ajarkan dan berikan.

Di antara pokok penting yang harus dijaga dan diperjuangkan seumur hidup dalam rangka meraih kebahagiaan di sisi Allah adalah keikhlasan. Modal terpenting ini dibutuhkan dalam setiap amalan yang akan dikerjakan. Sebab, dengannya seorang hamba memiliki tingkatan yang bebeda di sisi Allah, dengannya amal ibadahnya menjadi berpahala dan tidak sia-sia, dan dengannya pula seorang hamba terjaga dari godaan setan yang selalu membisikkan di dalam hatinya. Makanya tak heran bila peran keikhlasan dalam kehidupan seorang muslim sangat perlu diperhatikan, dijaga dan bahkan diperjuangkan sampai ia bertemu dengan Rabb nya. Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah berkata: “Saya tidak mengobati sesuatu dengan sangat (sulit) kecuali mengobati niatku, karena niat itu berubah-ubah di dalam diri saya”.

Meraih keikhlasan itu tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan namun butuh perjuangan yang tidak singkat dan kontinyu. Ditambah lagi godaan setan senantiasa membayangi setiap saat. Di antara perkara yang dapat membantu dalam memperjuangkannya adalah,

  1. Memperbanyak Berdoa

Keikhlasan merupakan perkara hati yang tidak mudah dikendalikan maka butuh pertolongan Allah sebagai pemilik yang membolak-balikannya. Lihatlah Nabi Muhammad, diantara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:

اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

Artinya: “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” [HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, No. 716. Dishahihkan Syaikh Al-Albani]

  1. Menyembunyikan Amal Kebaikan

Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan keikhlasannya, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari, No. 731 dan Muslim, No. 781)

  1. Memandang Rendah Amal Kebaikan

Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’īd bin Jubair V berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka”.

  1. Takut Akan Tidak Diterimanya Amal

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Artinya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” [QS. Al Mu’minun : 60]

  1. Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia

Pujian merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Begitu pula sebaliknya, celaan merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun, janganlah jadikan pujian atau celaan tersebut sebagai sebab beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas tidak akan terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal shalih.

Dari sejak dahulu Nabi sudah memerintahkan untuk menjauhi ketenaran dan pujian-pujian karena hal tersebut berbahaya dan mendatangkan fitnah. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

Artinya: “Jauhilah sifat suka dipuji, karena dengan dipuji-puji itu seakan-akan engkau disembelih.” [HR. Ahmad, No. 16837. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menilai sanadnya shahih]

Diantara bahayanya adalah,

  1. Mendatangkan banyak penyakit hati

Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidaklah seorang yang cinta kepemimpinan (ketenaran) melainkan dia akan hasad, melampaui batas, mencari-cari aib manusia dan benci disebutkan kebaikan orang lain”.

  1. Sulit bertakwa dan merasakan kelezatan iman

Bisyr bin Al-Harist berkata, “Tidaklah bertakwa kepada Allah seorang yang cinta ketenaran”.

Dalam kesempatan lain beliau juga berkata, “Tidak akan mendapatkan manisnya akhirat orang yang suka dikenal oleh manusia”.

  1. Bisa menjadi jariyah keburukan

Secara tabiat manusia suka mengikuti sesuatu yang aneh dan viral, sehingga penyakit ingin terkenal merupakan penyakit yang mudah menular kepada orang lain dan lama-kelamaan akan menjadi jariyah keburukan tanpa disadari.

  1. Terancam neraka

Dari Abi Hurairah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah ﷻ berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” [HR. Muslim, No. 1905]

Islam memerintahkan umatnya agar tawadhu’ dan menjauhi popularitas. Terkadang ketenaran bisa membuat orang sombong dan tidak ikhlas dalam beramal. Namun, jika ditakdirkan seseorang yang mencari kebaikan dalam masalah agama atau dunia kemudian menjadi terkenal tanpa dia minta dan tanpa berusaha untuk mendapatkannya, maka hal itu tidak masalah, akan tetapi dia harus selalu memperbaiki niatnya dalam mencari kebaikan dan tidak peduli baik akan menjadi terkenal setelah itu atau tidak. Jika ada keinginan kuat untuk meraihnya, hatinya pun tidak terkait dengannya, maka tidak diragukan lagi bahwa para tokoh masyarakat dalam masalah agama dan dunia akan menjadi terkenal sesuai dengan keadaan, kedudukan dan tingkat kebutuhan masyarakat kepadanya. Maka bukan termasuk hal yang bijak, juga bukan termasuk bagian dari syari’at jika meninggalkan penyebaran kebaikan yang diminta untuk disebarkan, bisa jadi sebuah kewajiban maupun sunnah karena khawatir akan terkenal.

Makanya para ulama’ memberikan tiga patokan supaya terkenal sebab kebaikan tidak tercela,

  1. Melaksanakan suatu kewajiban syariat

Fakhruddin Az-Zailai V berkata, “Syi’ar-syi’ar Islam dan perkara khusus dalam agama (kewajiban) maka wajib dikerjakan secara terbuka (untuk dikenal)”.

  1. Tidak ada keinginan terkenal

Ibnu Qudamah berkata, “Ahli ilmu tidak pernah memaksudkan ketenaran, tidak pernah melakukannya dan tidak pula mengambil sebabnya. Bila pun tenar berkat (takdir) dari Allah maka mereka lari darinya dan lebih mendahulukan ketertutupan (tidak tenar)”.

  1. Terkenal sebab menyelisihi perkara haram

Ibnu ‘Aqil berkata, “Tidak sepatutnya keluar dari adat kebiasaan manusia kecuali dalam perkara yang haram”. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berkata: “Jika perkara itu berputar antara akan menyilaukan dirinya, memunculkan dirinya dan menjadi terkenal dengan yang akan menjadikan dirinya tersembunyi, maka pada saat itu hendaknya memilih yang menjadikan dirinya tersembunyi”.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi.” [HR. Muslim, No. 2965]

Berbeda jika seorang sengaja memviralkan kebaikan yang dilakukannya maka ini masuk kategori riya’ yang menghanguskan pahala amalan tersebut dan mendatangkan dosa. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Apa itu syirik kecil?, beliau menjawab, “Riya’, Allah berfirman (kepada para pelaku riya’) pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka, ‘Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan (amalanmu) di dunia, lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?!’”. [HR. Ahmad, No. 23630. Dihasankan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth]

Mencari ketenaran itu tercela dalam kondisi apapun, seorang mukmin seharusnya menjadi pribadi yang tunduk patuh dan tawadhu’. Di antara sarana terbesar yang akan merusak seseorang untuk sampai kepada Rabbnya adalah; menyukai ketenaran, merasa mulia di hadapan manusia dan berhasrat ingin kekuasaan. Jika seorang yang tidak mengerti aturan syariat mendapatkan ketenaran sebab perbuatan yang haram, seperti menyanyi, model buka aurat, dan semisalnya, maka kewajibannya untuk meninggalkan perbuatan tersebut dan bertobat, serta menggantinya dengan perbuatan kebaikan, jika menurutnya banyak orang yang memperhatikannya atau menirunya.

Namun, jika dia sudah mengerti aturan syariat dan sengaja memviralkan keburukan yang dilakukannya sendiri atau orang lain maka termasuk kategori mujaharah, yaitu sengaja menampakkan maksiat kepada orang lain, dan mujaharah ini merupakan dosa besar. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nur : 19]

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah orang yang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu’. Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut”. [HR. Bukhari, No. 6069 dan Muslim, No. 2990]

Sejatinya tidaklah ada satu penyakit melainkan Allah akan datangkan obatnya. Begitu juga tidaklah sesorang diuji dengan satu karakter buruk melainkan Allah akan berikan solusi untuk mengatasinya. Para ulama’ menyebutkan bahwa obat penyakit ini menggabungkan antara ilmu dan amal.

  • Adapun dari sisi ilmu maka seseorang harus memahami tiga perkara berikut,

Hasrat ingin terkenal merupakan ujian dari Allah kepada hamba-Nya maka seorang muslim harus berusaha melawannya. Masalah dicintai dan disenangi orang lain merupakan urusan Allah, sedangkan perkara terkenal dan semisalnya hanya sebab semata bukan syarat mutlak untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Keselamatan di akhirat hanya terletak pada keselamatan hati sehingga keterkenalan sama sekali tidaklah berarti.

  • Adapun dari sisi amal maka seseorang harus melakukan enam perkara berikut,

Berdoa kepada Allah untuk menghilangkannya. Memperbanyak baca dan merenungi kisah perjalanan orang-orang shalih yang mana mereka lari dari keterkenalan dan mengkhawatirkan diri mereka terjatuh kedalamnya. Berusaha zuhud terhadap dunia. Menyembunyikan keutamaan dan segala hal yang dapat menjadi faktor untuk terkenal. Berusaha menghilangkan hasrat ingin dipuji, dihormati, dan dipandang manusia. Merenungkan sisi-sisi negatif dari keterkenalan, mulai dari munculnya hasad, keinginan menyakiti orang lain, sulit mendapatkan privasi hidup, dan sulit memperbaiki kondisi hati.

Demikian yang bisa penulis jelaskan terkait pengajaran islam tentang keikhlasan dan bahaya hasrat ketenaran. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih perhatian terhadap kondisi hati kita saat beramal. Akhir kata, kami memohon kepada Allah dengan segala asma’ dan sifat-Nya agar memberkahi dan meridhai tulisan ini. Wabillahi Taufiq Ila Aqwamith Thariq.

 

Referensi:

Ditulis oleh : Abdullah Yahya An-Najaty, Lc. .

Majalah HSI Edisi 53 Dzulqa’dah 1444 H.

Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.