Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Harta dan Dirimu Milik Ayahmu

harta dan dirimu milik ayahmu

Harta dan Dirimu Milik Ayahmu – Anakku.. engkau telah sampai usia dewasa. Engkau telah menjadi tumpuan asa dan tempat harapan. Aku menulis surat ini. Aku memulainya di waktu sahur di awal bulan Ramadhan tahun 1422 H yang penuh berkah, semoga Nabi Muhammad senantiasa di limpahkan shalawat yang terbaik serta salam yang paling suci.

Aku tidak akan menyembunyikan sesuatu kepadamu, bahwa Ketika aku memulai tulisan ini, maka guncanglah perasaanku, berdegup jantungku, dan air ataupun bercucuran. Aku pun hampir menangis dan hampir meletakan pena ini. Seandainya tidak ada satu perasaan yang membawaku Kembali untuk meneruskan tulisan ini.

Perasaan seperti ini belum pernah saya alami sebelumnya Ketika menuliskan suatu kitab, apa pun itu.

Akan tetapi aku ingat ayah saya yang berusia lebih dari tujuh puluh taun , semoga Allah senantiasa memberikan Kesehatan kepadanya. Saya teringat masa muda beliau, kekuatan beliau serta ketabahan serta kesabarannya, aku teringat penderitaannyaa. Ya Rab, berapa banyak ia telah memberikan kesungguhannya, waktunya dan dirinya ! berapa banyak ia telah menggunakan usianya untuk anaknya! Bahkan sekarang di usianya yang telah lanjut, ia masih mengerahkan seluruh kemampuannya untuk anak-anaknya, Ya Allah berikanlah Kesehatan kepadanya , ampunilah ia dan sejukkanlah matanya di dunia ini dan akhirat nanti.

Anakku.. telah aku jelaskan apa yang kuingat mengenai hari-hari di mana aku berada di usia seperti engkau sekarang .. Dan sekarang ada dua perasaan yang mendominasi diriku dan sekarang aku hidup dalam dua perasaan itu :

  1. Perasaan seorang ayah terhadap anaknya, dan
  2. Perasaan seorang anak terhadap anaknya..

Ada perasaan-perasaan yang sulit untuk di gambarkan ….ingin kudefinisikan perasaan-perasaan itu , kemudian aku tulis di atas papan agar tidak bisa terhapus sekali seumur hidupku..

Seorang pun tidak ada yang dapat menjelaskan atau menggambarkan perasaan kedua orang tua terhadap anak-anaknya, dengan kata-kata. Tidak peduli apakah orang itu pujangga yang hebat atau seseorang yang fasih lidahnya…

Akan tetapi perasaan-perasaan itu memiliki saksi atau tanda-tanda, di mana hati akan terbelah, batu yang keras akan meleleh , dan air mata pun akan bercucuran . Berikut ini akan aku hadiahkan untukmu apa yang senantiasa tertanam di dalam pikiranku sejak memutuskan untuk menulis buku ini untukmu.

Suatu Jalinan yang Kuat Antara ayah Dan Anak

Sesungguhnya di antara manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang semisal di bawahnya . Hali ini sebagaimana yang sudah di terangkan oleh Nabi Muhammad.

Dari Mus’ab bin Sa’d dari ayahnya ia berkata, “Aku berkata” Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling berat ujiannya.? Maka beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة

Artinya: “(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih)

Dan begitulah yang terjadi pada para Nabi tatkala Allah menguji mereka Sebagian dari ujian berat yang mereka alami berkaitan berkaitan dengan anak adalah peristiwa yang menimpa Nabi Ya’kub, dengan kehilangan putranya ,yakni Nabi Yusuf ,kemudian Bunyamin.

Ujian ini mencapai puncaknya di mana orang-orang hebat tidak akan mampu menanggungnya kecuali yang telah di pilih oleh Allah . dan penderitaan itu mencapai klimaks ,maka nabi Ya’kub pun kehilangan Bunyamin , Ketika itulah dia berkata “ Aduhai duka citaku terhadap Yusuf .” sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰاَسَفٰى عَلٰى يُوْسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنٰهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيْمٌ

Artinya: “Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya).” (QS. Yusuf; 84)

Nabi Ya’kub sangat sedih padahal musibah yang beliau alami sekarang adalah kehilangan saudara Yusuf, yakni Bunyamin bukan kehilangan Yusuf itu sendiri , ini menunjukkan bahwa musibah kehilangan Yusuf adalah pangkalnya musibah , sekalipun Sudah lama berlalu, akan tetapi musibah itu telah mengambil keceriaan seluruh hatinya dan tidak akan pernah terlupakan selamanya, Musibah itu tidak akan pernah pergi dari fikirnya, ,hingga ia bertemu Kembali dengan Yusuf bahkan musibah yang baru ini bagaikan mengungkit-ungkit luka yang lama, seperti di dalam syair :

“Musibah-musibah baru tidak akan melupakanku

Malah luka lama menganga Kembali dengan luka baru “

Kedua mata Ya’kub memutih karena sedihnya ,dan penglihatannya pun mulai berkurang dan memudar. Mengapa demikian padahal saat itu tidak ada orang yang paling mulia di sisi Allah di permukaan bumi selain beliau, kedudukan beliau sebagai Nabi memastikan adanya pengenalan beliau kepada Allah ,  dan pengenalan itu memastikan kecintaan beliau kepada Allah. Namun kecintaannya kepada Allah tidak menghabiskan ruang di hati beliau untuk mencintai selainya, Jadi keadaan Nabi Ya’kub tersebut tidak bertentangan dengan posisi beliau sebagai Nabi.

Hal diatas dapat di jelaskan sebagai berikut , apa yang dialami Nabi Ya’qub adalah kecintaan seorang ayah terhadap anaknya dan kecintaan seperti itu merupakan Mahabba Thabiiyyah , kecintaan yang sudah merupakan tabiat atau naluri seorang ayah kepada anaknya.

Tidak masalah jika kecintaan ini berkumpul dengan kecintaan kepada Allah.

Adapun ujian terberat orang tua yang melibatkan anak adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim. Untuk menyembelih anaknya Ismail.

Dan Nabi kita Muhammad menangis Ketika putranya Ibrahim meninggal dunia air matanya bercucuran dan hatinya tetap khusu’, beliau merasa sedih atasnya, namun beliau tidak mengeluarkan perkataan apa pun, kecuali yang diridhoi Allah.

اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadanyalah kami Kembali” (QS. Al-Baqarah: 156)

Engkau akan keheran-heranan ,wahai anakku ,melihat kuatnya keterikatan antara seorang ayah dengan anaknya, Ketika merenungkan apa yang terjadi pada Nabi Ya’kub, menjelang hari kelapanganya, Nabi Ya’qub mendapatkan wanginya Nabi Yusuf Ketika gamisnya memasuki kota di mana Nabi Ya’kub tinggal, gamis itu di bawah oleh rombongan unta.

Bukan diri Nabi Yusuf, tapi gamisnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيْرُ قَالَ اَبُوْهُمْ اِنِّيْ لَاَجِدُ رِيْحَ يُوْسُفَ لَوْلَآ اَنْ تُفَنِّدُوْنِ

Artinya: “Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya Aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).” (QS. Yusuf: 94)

Perhatikan! Masih sangat jauh jarak antara Nabi Ya’kub dengan gamis Nabi Yusuf ,Adapun Ketika pembawa berita gembira itu meletakan gamis tersebut ke wajah sang ayah ini maka seketika itu juga matanya yang buta itu Kembali melihat, ini karna semata-mata hanya bersentuhan dengan gamisnya saja.

Jadi bagaimana mungkin engkau mampu menggambarkan perasaan Nabi Ya’kub Ketika berjumpa dengan diri Nabi Yusuf dan Bunyamin dengan perjumpaan yang sebenarnya.

 

REFERENSI:

Di Ringkas Oleh: Abdul Hadi Martapian

Di Ambil Dari: Buku Ibumu, Ibumu, Ibumu

Karangan; Sulaiman bin Shaqir As-shaqiir

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.