
Halal Haram Bisnis Online – Para ulama menjelaskan bahwa, transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum baligh, atau orang yang tidak dewasa dlam memegang harta atau orang yang belum memenuhi syarat jaiz at tasharruf , bisa dinilai dengan syarat:
- Atas izin dan pengawasan walinya (misalnya, orang tua,atau saudara atau semua orang yang mengurusi dirinya)
- Objek akad nilainya kecil
- Transaksi yang murni menuntungkan dirinya, seperti diberi hadiah, diberi hibah, dan semacamnya.
Ketentuan ini merupakan pendapat imam ahmad.(mudzkarah fi fiqh al muamalat, Dr. as -syubaili, hlm.8).
Tidak dewasa ketika transaksi
Ada kemungkinan terjadi, anak kecil yang belanja via online. Apalagi ketika barang dibayar ditempat,seperti COD (cost on delivery). Karena itulah, ketika ada anak yang belanja, dan nilainya besar, sementara tidak ada izin dari wali, maka ketika barang diantar, seharusnya ada hak pilih bagi walinya antara melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Ketika, orang yang akad harus pemilik,atau atas seizin pemilik
Karena seseorang tidak boleh men-transaksikan milik orang lain. Baik menjual barang orang lain maupun membelu dengan menggunakan uang orang lain, tanpa seizin dari pemilik.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا تبع ما ليس عندك
Artinya: “janganlah kamu jual barang yang bukan milikmu.”( ahmad 15311, abu daud 3505,dan dishahihkan syuaib al-arnauth)
Jika seseorang menjualkan barang orang lain dengan seizin pemilik, hukumnya boleh. Jika pemilik barannya dijual orang lain, maka transaksinya batal dengan sepakat ulama.
Mengenal Bai’ al-Fudhuli
Menjual barang tanpa iseizin pemilik atau tidak memiliki izin secara syar’I, disebut ba’I al-Fudhuli.
Iliustrasi ba’I fudhuli
Si A punya mobil mau dijual seharga 300jt. Si B pinjam mobil itu dan menjualnya ke si C tanpa minta izin ke si A. hingga terjadilah transaksi antara ke si B dengan si C. dalam kasus ba’i fudhuli, barang telah dikuasi si B. namun tidak ada izin dari pemilik untuk menjualnya.
Mengenai hukum ba’I fudhuli, jika selanjutnya penjual mendapat izin dari pemilik, apakah jual belinya menjadi sah?
Ada dua pendapat ulama
Pendapat pertama, jual beli fudhuli statusnya sah, selama pemilik barang telah merelakannya. Ini merupakan pendapat abu hanifah, iamam malik, dan imam ahmad dalam salah satu riwayat.
Dalam kitab al-inayah syarh al-hidayah – kitab fiqih madzhab hanafi – dinyatakan,
من باع ملك غيره بغير إذنه , فلما لك بالخيار أن شاء أجاز البيع وإن شاء فشح وهو مذهب مالكو أحمد في رواية
Terjemahan: “Orang yang menjual baranag orang lain tanpa seizinnya, maka pemilik memiliki hak pilih. Jika dia mau, dia bisa merelakannya. Dan jika dia tidak mau, dia bisa membatalkanya transaksi, ini adalah pendapat imam malik dan imam ahmad dalam satu riwayat. (al-inayah syarh al-hidayah, 9/361)
Pendapat kedua, ba’I fudhuli statusnya batal,sekalipun pemiliknya merelakan. Ini adalah pendapat imam as-syafi’i dalam qoul jadid (ijtihad baru) dan imam ahamad dalam satu riwayat.
وقال شافعي رحمه الله : لا ينعقد لأنه لم يصدر عن ولا ية شرعيية لأنها بالملك أو بإذن المالك وقد فقد ا, ولاإنعقاد إلا بالقدرة الشرعية
Terjemahan: “Sementara imam as syafii rahimahullah, menyatakan, jual-belinya tidak sah, karena dia tidak memiliki izin secara syar’I ketika melakukan akad. Karena izin syar’i untuk akad adalah dengan memiliki barang atau dengan izin pemiliknya. Sementara keduanya tidak ada. Dan transaksi tidak sah kecuali dengan al-qudrah as syar’iyah(keadaan yang diizinkan syariah). (al-inayah syarh al-hidayah,9/361).
Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat pertama, selama peilik mengizinkan, diperbolehkan. Dan ini yang dinilai kuat oleh syaikul islam.(majmu al-fatawa, 20/578)
Ba’i fudhuli berbeda kasusu dengan kasus dropshipping liar. Karena dalam kasus dropshipping liar, barang belu dikuasai, masih ada ditempat suplier. Mengenai penjelasan dan kesimpulan hukumnya, insyaaAllah akan kita bahas dikajian tersendiri tentang dropshipping.
Keempat, barang yang dijual,manfaatnya mubah
Semua barang yang suci dan halal dimanfaatkan boleh diperjual-beliakan. Kita memiiki kaidah, “semua yang haram dimanfaatkan, diperjual-belikan, haram dimanfaatkan.
Kelima, barang memungkin untuk diserah-terimakan
jika barang dalam akad itu tidak memungkinkan untuk diserah-terimakan, seperti barang yang tidak jelas keberadaannya atau objek yang bentuknya peluang, tidak boleh dijual. Menjual barang semacam ini statusnya gharar.
Contoh jual beli gharar adalah jual-beli peluang dimana objek yang ditransaksikan tidak jelas, berpeluang ada dan berpeluang tidak ada. Misalnya, ada pemancingan yang menawarkan, setiap yang memancing harus membayar 100rb; dan diberi kesempatan mancing selama 1 jam. Baik dapat ikan ataupun tidak, bayarnya sama. Dan jika sudah 1 jam, dia harus meninggalkan tempat. Akad ini termasuk gharar, karena yang ditransaksikan tidak jelas.
Dikarenakan contoh jual beli gharar adalah bisnis afiliasi.terutama untuk produk yang sampir sama sekali tidak dibutuhkan customer, selain karena inagin mendapatkan referral. Inshaa allah akan kita bahas secara khusus mengenai gharar dalam transaksi online.
Keenam, barang harus diketahui ketika akad
Tidak boleh melakukan transaksi yang mengandung jahalah (ketidak jelasan), terutama ketidak-jelasan yang berpotensi memicu sengketa. Karena itu, barang harus diketahui dengan jelas.
Beda jahalah dengan gharar
Gharar, objektransaksinya belum tentu ada. Sehingga konsumen bisa berhasil mendapatkan barang itu, bisa juga gagal untuk mendapatkan barang itu, bisa juga ggal untuk mendapatkannya. Berbeda dengan jahalah, konsuman akan mendapatkan barang itu, hanya saja, ada yang tidak jelas kriterianya. Permisalan jahalah seperti jual-beli kucing dalam karung. Kucingnya ada, namun tidak jelas cirinya, karena kucingnya didalam karung.
Dimasa sahabat, mereka melakuakan transaksi salam untuk bahan makanan, seperti kurma atau gandum. Uang diserahkan tunai saat akad, sementara barang diserahkan tahun kedepan atau beberapa bukan kedepan. Sehingga konsumen tidak pernah melihat barang itu. Namun dia hanya mendapat informasi mengenai kriteria barang yang dipesan. Inilah yang diistilahkan dengan jual beli barang mausuf fi dzimmah.
Gharar dalam transaksi online
ciri khas transaksi online, konsumen tidak melihat barang secara langsung. Sehingga berpeluang besar adanya jahalah (ketidak-jelasan) terhadap kriteria barang untuk mengurangi potensi itu, penjual onlibe bertanggung -jawab memberikan penjelasan yang bisa memuasakan konsumen. Insyaallah akan dibahas tersendiri dibab tentang gharar dan jahalah dalam transaksi online.
Ketujuh, harga barang telah ditentuakan ketiaka akad
Ketidak-jelasan harga, tidak diperbolehkan dalam transaks. jika itu terjadi, maka melanggar hadits yang melarang jual beli dua harga. Karena itulah, para ulama menegaskan jual beli dengan harga yang tidak jelas, ter maksud transaksi yang terlarang, dan status nya batal.
Taqabudh dalam transaksi online
Diantara kosenkuensi jual beli adalah terjadinya pepindahan . dari penjual ke pembeli dan kepemilikan uang, dari pembeli kepenjual. Pepindahan kepemilikan terjadi sejak akad jual beli dilakukan, meskipun barang belum dilakukan dan uang belum dibayarkan. Sementar taqabudh, ketika baranh telah diterima oleh pembeli. Dalam transaksi online taqabudh tidak bisa dilakukan secara seketika. Karna semua barang melalui proses pengiriman.
Konsekuensi setelah taqabudh
Ada beberapa setelah terjadinya taqabudh. Pertama, tanggung jawab barang berpindah dari penjual kepembeli. Sebelum serah terima, barang masuh menjadi tanggung jawab penjual. Apapun resiko yang terjadinya, penjuak yang mennaggung kerugiannya. Sehungga perbedaaannya dengan konsekuensi setelah akad, untuk akd memberikan konsekuensi perpindahan hak milik, sementara taqabudh memberikan konsekuensi perpindahan tanggung jawab.
Kecuali dalam 2 keadaan;
- Kerusakan itu disebabkan kesalahan pembeli
- Pembeli memungkin untuk membawa barang, namun dia ingin merepotkan penjual. Misalnya; orang membeli 20 sak semen, setelah dibayar, ernyata tidak diambil-ambil, penjual berhak memeaksa pembeli untuk segera mengambilnya agar dia terbebas dari resiko. Jika pembeli tetap tidak mau mengambilnya karna berat menangung resiko, maka tanggung jawab terhadap baran, tetap kembali kepembeli.
Kasus transaksi online
Dalam kasus transaksi online siapa yang bertanggung jawab terhadap barang dalam masa pengiriman? Sebagaimana ketentuan diatas, sebelum barang diterima konsumen, tanggung jawab masih berada ditangan pejual. Sehingga semua resiko selama masa pengiriman menjadi tanggung jawab penjual. Karna itu ketika barang sampai, ternyata mengalami kerusakan pembeli punya hak untuk mengembalikan barang dan menerima yang norma.
Bersambung……
Referensi : Halal Haram Bisnis Online,Ammi Nur Baits,Pustaka Muamalah Jokja,Cetakan ke2,Dzul Qa’dah 1441.
Di ringkas oleh: Ulfa Salimatun Nisa (Pengabdian Ponpes DQH Oku Timur)
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar