Bertaubat Dari Harta Haram

Bertaubat dari Harta Haram

BERTAUBAT DARI HARTA HARAM – Hidup di masyarakat yang heterogen tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan kita tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekadar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.

Coba kita bayangkan, ketika kita belanja di supermarket, kita menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, kita mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli kita menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentu mengusik ketenangan batin kita, sehingga kita meragukan status halal keuntungan yang kita peroleh dari bertransaksi dengan mereka.

Alasan suatu harta diharamkan?

Secara tinjauan syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:

  1. Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zat-nya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
  2. Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.

Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamer dan yang semisal.

Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ

Yang artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” [1]

Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya. Sahabat Anas ibn Malik mengisahkan bahwa Sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda:  “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, Sahabat Abu Talhah. berkata, “Tidakkah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah menjawab: “Tidak”.[2]

Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.

Sahabat ‘Abdullah ibn Abbas Radhiyallahu Anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikkan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

Yang artinya :“Sejatinya Allah Yang mengharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.”[3]

Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

Yang artinya : “Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya.”[4]

Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tiada berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi. Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Qur’an al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khaba’is (benda-benda kotor).

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Yang artinya : “Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”[5]

Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keu-tuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia.[6]

Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencurinya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptarnya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”[7]

Cermatilah bagaimana pada ayat di atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan. Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.

Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah tidur di Masjid Nabi berbantalkan bajunya. Di saat ini terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah. Maka segera Rasulullah memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan, merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: “Wahai Rasulullah, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu Anhu dengan bersabda:

فَهَلَّا كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

Yang artinya : “Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[8]

Ibn Taimiyyah Rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.”[9]

Penjelasan al-Imam Ibn Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul mukrninin ‘Umar ibn al-Khattab. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal mengadukan kepada Amirul mukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirul mukminin ‘Umar ibn al-Khattab Radhiyallahu Anhu mengeluarkan perintah:

لاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ

Yang artinya : “Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjualbelikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[10]

Al-Imam Abu ‘Ubaid mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”

Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunyi:

تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ

Yang artinya: “Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.”[11]

Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.

Cara bertobat dari kedua jenis harta haram

Adapun cara bertobat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:

  1. Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
  2. Bertekad untuk tidak mengulanginya.
  3. Memohon ampunan kepada Allah Azza Wajalla atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
  4. Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya.

Allah Azza Wajalla menjelaskan tentang tata cara bertobat dari harta riba:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

Yang artinya : “Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.[12]

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًا جَادًّا وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ

Yang artinya: “Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekadar bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[13]

Pada Hadits lain beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Yang Artinya : “Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[14]

Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada Hadits di atas.

Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertobat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda. Wallahu Ta’ala a’lamu bi al-sawab.

REFERENSI:

Diringkas oleh                 : Jeffri Pamungkas Setiawan, S.Pd.

Sumber referensi             : Majalah Al-Furqon No.142 Ed 06 Th. Ke-13_1434

Penulis                             : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, MA حفظه الله

[1] QS. al-Ma’idah [5]: 3

[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya

[3] HR. Muslim

[4] Muttafaq ‘alaihi

[5] QS. al-A’raf[7]:157

[6] Tafsir Ibn Kasir 3/488

[7]  QS. al-Baqarah [2]: 278-279

[8] HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lainnya

[9] Majmu Fatawa Ibn Taimiyyah 29/330

[10] Riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitabnya al-Amwal riwayat no. 115, ‘Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Musannaf ‘6/23, dan lainnya

[11]   al-Qawa’id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taisir 1/71

[12] QS. al-Baqarah [2]: 279

[13] Ahmad 4/221 dan lainnya

[14] al-Bukhari Hadits no. 2317

Baca juga artikel:

Pendukung dan Pengahalang Taubat

Kunci Sukses Dalam Tawakkal

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.