Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Benarkah Hidup Kaya Raya Mati Masuk Suga?

KAYA

 

 

Benarkah Hidup Kaya Raya Mati Masuk Suga? –Segala puji hanya milik Allah subhaanahuwata’ala, zat yang maha kaya, dan tidak ada zat yang lebih kaya di alam semesta ini yang bisa menandingi kekayaan-Nya, Dan tidaklah makan dan minum makluk di muka bumi kecuali merupakan pemberian dari-Nya.

Kemudian shalawat beserta salam semoga senantiasa kita haturkan kepada suri tauladan kita yaitu Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam pada para shahabat, keluarga dan ummatnya yang setia mengikuti sunnah-sunnah beliau  hingga akhir jaman kelak.

Siapa yang tidak ingin kaya? Siapa yang tidak ingin masuk surga? Tentu semua orang ingin kaya raya dan semua orang ingin masuk surga.

Pendek kata senang di dunia bahagia di akhirat. Namun apakah pasti kekayaan seseorang akan menjadi sebab dirinya masuk surga dan mereguk setiap kenikmatan di dalamnya? Jawabannya belum tentu. Tinggal kita lihat bagai mana dia mempergunakan harta kekayaan yang di titipkan kepadanya, apakah itu di jalan Allah atau malah sebaliknya.

Dalam sematan tulisan yang ringkas ini mari kita tengok sejenak sosok orang yang kaya raya plus dijamin masuk surga.

Semoga kita diberikan taufik oleh Allah ta’ala untuk meneladaninya.

Dia lahir 10 tahun setelah tahun gajah, semasa jahiliyyah ia bernama Abdul Ka’bah atau Abdu ‘amr, dan setelah hijrah berislam, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memberinya nama yang terbaik yaitu ‘Abdurrahman.

Dia lah Abdurrahmân binAuf bin AbdiAuf bin `Abdil Hârits Bin Zahrah bin Kilâb bin al-Qurasyi az-Zuhri Abu Muhammad.

Sahabat mulia yang masuk dalam sepuluh nama orang-orang yang dijamin masuk surga. Sebagaimana yang disabdakan oleh rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam,

أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ

Artinya:

Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’d di surga, Sa’id di surga, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah di surga”. (HR, Tirmidzi: 3680)

 

Semasa hidupnya ‘Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar, (1 dinar = 4,25 gram emas murni 22 karat = 2.279.045) bila dikurskan ke rupiah mungkin sekitar Rp. 91.160.000.000,- kemudian membagi-bagikan uang tersebut kepada para fakir miskin bani Zuhrah, orang-orang yang membutuhkan dan kepada Ummahâtul Mukminin (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dia juga menginfakkan separuh hartanya untuk kepentingan kaum muslimin. Pernah memerdekakan 3000 orang. Bahkan saking kaya rayanya beiau, begitu wafat, didapati bongkahan-bongkahan emas yang harus dibelah dengan kapak untuk kemudian dibagi-bagiakan kepada kaum muslimin sesuai dengan wasiat beliau radhiyallahu’anhu.

Dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia bercerita,

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ – رضى الله عنه – أُتِىَ بِطَعَامٍ وَكَانَ صَائِمًا فَقَالَ قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّى ، كُفِّنَ فِى بُرْدَةٍ ، إِنْ غُطِّىَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلاَهُ ، وَإِنْ غُطِّىَ رِجْلاَهُ بَدَا رَأْسُهُ – وَأُرَاهُ قَالَ – وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّى ، ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ – أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا – وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِى حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ

Artinya:

Suatu saat pernah dihidangkan makanan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Tetapi waktu itu ia sedang berpuasa. ‘Abdurrahman ketika itu berkata, “Mush’ab bin ‘Umair adalah orang yang lebih baik dariku. Ia meninggal dunia dalam keadaan mengenakan selimut yang terbuat dari bulu. Apabila kepalanya ditutup, maka terbukalah kakinya.Jika kakinya ditutup lebih baik dariku. Ketika ia terbunuh di dalam peperangan, kain yang mengafaninya hanyalah sepotong, maka tampaklah kepalanya. Begitu pula Hamzah demikian adanya, ia pun lebih baik dariku. Sedangkan kami diberi kekayaan dunia yang banyak.” Atau ia berkata, “Kami telah diberi kekayaan dunia yang sebanyak-banyaknya. Kami khawatir, jikalau kebaikan kami telas dibalas dengan kekayaan ini.”Kemudian ia terus menangis dan meninggalkan makanan itu.”(HR. Bukhari, no. 1275)

 

            Abdurrahman bin ‘auf dengan kekayaannya yang luar biasa ditambah kedermawanan beliau tidak membuatnya menjadi, ujub apalagi sombong. Beliau memandang mus’ab bin ‘Umair dan Hamzah lebih baik darinya, padahal keduanya lebih miskin darinya.

Sungguh itulah sifat penghuni surga. Kaya lagi tawadhu’, tidak ujub dan sombong. Tidak merendahkan orang lain meskipun strata sosialnya di bawahnya. Bahkan memandang mereka yang miskin bisa jadi lebih baik darinya disebabkan kesabaran dan kesungguhan ibadahnya meski diuji dengan kekurangan harta.

Pada zaman sekarang ini sangat sulit sekali kita dapati orang seperti Abdurrahman bin ‘auf sudah kaya raya dermawan tawadhu’ lagi, sugguh koplikasi yang sangat jarang sekali kita dapati di era sekarng ini, memang sering kita dapati seorang yang dermawan akan tetapi sangat sulit sekali kita dapati orang yang tawadhu’.

Padahal Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Artinya:

“Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).

 

Abdurrahman bin ‘auf ditinggikan derajatnya di dunia, Allah memuliakannya di tengah-tengah manusia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Bahkan di era sekarang ini banyak di dapati di media-media sosial yang di maka mereka mengumbar-umbar sedekah yang mereka berika seakan-akan merakalah yang paling dermawan. Hal seperti ini sangat rentan untuk merusak ketawadhuan seorang, bahkan bisa sampai merusak keikhlasan.

Abdullah bin al Mubarak berpetuah

رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند مَن هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أنَّ ليس لك بدنياك عليه فضل

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya hanya dengan sebab dunia yang dimiliki.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

Abdurrahman bin ‘auf menangisi kekayaannya. Setelah beliau menyebutkan nama-nama sahabat yang meninggal dalam keadaan fakir, beliau berkata,

 

ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ – أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا – وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِى حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ

Artinya:

“Sedangkan kami diberi kekayaan dunia yang banyak.” Atau ia berkata, “Kami telah diberi kekayaan dunia yang sebanyak-banyaknya. Kami khawatir, jikalau kebaikan kami telas dibalas dengan kekayaan ini. ”Kemudian ia terus menangis dan meninggalkan makanan itu.”(HR. Bukhari, no. 1275)

 

Jadi apa yang menyebabkan beliau menangis? Sebabnya adalah rasa khawatir dan takutnya jika ternyata kekayaan yang beliau miliki adalah balasan amal sholeh yang Allah tuntaskan di dunia, sehingga tidak akan diganjar di ahkhirat.

Maa syaa Allah, orang sedermawan beliau masih khawatir dengan kekayaannya. Tidak terlalu pede dengan ibadah, sedekah dan amal sholeh yang dikerjakannya. Siapa diantara kita yang mamapu menyaingi kedermawanan beliau?

Pantaskah bagi kita untuk merasa bahwa amal sholeh, ibadah sedekah yang dikerjakan telah cukup untuk bekal ke surga. Atau justru jangan-jangan kita hanya berharap balasan dunia dalam amalan yang dikerjakan. Na’udzubillahi min dzalik

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Yang artinya:

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS. Hud: 15-16).

 

Sungguh kita lebih pantas untuk khawatir dengan harta yang kita miliki dibandingkan Abdurrahman bin ‘auf. Apalagi bila kita jarang mendermakannya di jalan Allah.

Bahkan kita harus lebih berhati-hati lagi pada harta yang telah kita infakkan. jangan sampai kita menjadi orang yang merugi dunia dan akhirat. Jangan sampai amalan yang kita harapkan terbuang sia sia bahkan menjadi bumera bagi kita, bukannya mengantarkan kita ke pada surga malah menjerumuskan kita keneraka. nauzhubillahi min zahlik

Semoga Allah menjadikan kita hamba yang pandai bersyukur dalam setiap karuniaNya. Kemudian terus bersabar dalam seluruh takdir dan ketentuanNya. Dan menjadikan kita sebagai orang yang sesantiasa ikhlas karenaNya.

REFERENSI:

DITULIS ULANG DARI MAKALAH KHUTBAH JUMAT USTAD ABDURRAHMAN AL-KHAIRI SP.D.I DENGAN JUDUL ASLI ABDRRAHMAN BIN AUF KAYA RAYA MASUK SURGA.

DAN DIRINGKAS KEMBALI OLEH: ANGGARA PRATODI (PENGAJAR PONPES DARUL QURAN WAL HADITS).

Baca juga artikel:

Pajak Kontemporer Dalam Islam

Jika Doa KitaTidak Dikabulkan

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.