Berikut ini kami terangkan tentang bagaimana cara ber amal dengan amal – amal shalih / berbuat kebaikan namun amal tersebut tidak menjadi sia-sia, dan ini juga termasuk syarat di terimanya amal ibadah ;
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور”
Artinya:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia mengetahui siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya..” (QS. Al-mulk: 2)”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Maksudnya adalah yang paling ikhlas dan benar amalnya”, orang-orang bertanya, “Wahai abu ali, amal apa yang paling ikhlas dan benar?” Ia menjawab, “Amal yang ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima Allah. Demikian sebaliknya, jika benar tapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima, sampai amalan itu dilakukan dengan ikhlas dan benar. Amalan yang ikhlas adalah amalan yang dikerjakan hanya untuk Allah semata, sedangkan yang benar adalah amalan yang sesuai dengan sunnah.”
Ia kemudian membaca firman Allah:
“فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا”
Artinya:
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya” (QS. Al-Kahf: 110).
Allah berfirman:
“ومن أحسن دينا ممن أسلم وجهه لله وهو محسن “
Artinya:
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang (ikhlas) menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pin mengerjakan kebaikan…” (QS. An-Nisa: 125).
Menyerahkan diri artinya menyerahkan tujuan dan amal perbuatan kepada Allah. Maksud amal kebaikan dalam ayat ini adalah mengikuti Rasul Shollallahu ‘alaihi wasallam dan sunnahnya.
Allah juga berfirman:
“وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا”
Artinya:
“Dan kan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqon:23)
Yaitu amal-amal yang tidak sesuai dengan sunnah atau amal-amal yang dipersembahkan kepada selain Allah.
Sebagian ulama salaf mengatakan, “sekecil apa pun perbuatan, akan dipaparkan dua catatan. Yaitu untuk siap amal tersebut dan bagaimana cara pelaksanaannya.” Pertanyaan pertama berkenaan dengan alasan pelaksanaan dan motifnya. Apakah ia mengharapkan dunia, seperti ingin dipuji, takut dicerca krang, menarik simpati yang disegerakan, atau menolak disegerakannya hal yang ia benci. Ataukah karena wujud penghambaan, mengharap kasih sayang, mendekatkan diri, dan memohon wasilah kepada Allah ta’ala.
Inti dari pertanyaan ini adalah, apakah amal perbuatan yang anda kerjakan ini untuk Rabb anda, atau demi memperoleh bagian anda di dunia dan memenuhi hawa nafsu anda sendiri.
Sedangkan pertanyaan kedua mengenai ketaatan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam menjalankan penghambaan tersebut. Artinya, apakah amal tersebut termasuk amalan yang disyariatkan Allah kepada anda melalui lisan Rasulullah, atau tidak.
Pertanyaan pertama tentang ikhlas, dan pertanyaan kedua tenang ketundukan pada sunnah karena Allah tidak akan menerima amalan tanpa tanpa disertai keduanya.
Cara melepaskan diri dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Dan cara melepaskan diri dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti sunnah sholallahu ‘alaihi wasallam dan merealisasikannya dalam perbuatan.
1. Ikhlas
Ikhlas adalah membersihkan tujuan dalam mendekatkan diri kepada Allah dari semua cela dan noda. Ada yang berpendapat bahwa ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam ketaatan. Ada juga yang berpendapat, ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dan mengharapkan pandangan sang Pencipta semata.
Allah telah memerintahkan ikhlas dalam firman-Nya:
“وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة”
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus. Dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5).
Allah ta’ala juga berfirman:
“ألا لله الدين الخالص والذين اتخذوا من دونه أولياء ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى إن الله يحكم بينهم في ما هم فيه يختلفون إن الله لا يهدي من هو كاذب كفار”
Artinya:
“Ingatlah,! Hanya milik Allah-lah agama yang bersih dari syirik. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, “Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka mendekatkan. Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang ala yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak menunjukki orang -orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az-zumar: 3).
Allah ta’ala juga berfirman:
“قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا”
Artinya:
“Katakanlah, ‘Sesunghuhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Sesungguhnya ilah kamu itu adalah ilah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahf: 110).
Abu Umamah Radiallahu ‘Anhu meriwayatkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, ‘Bagaimana menurut anda, seorang laki-laki yang ikut berperang untuk mencari pahala dan agar dikenang, apa yang akan ia peroleh?, Rasulullah menjawab, “ia tidak akan memperoleh apa-apa.’ Lalu, orang tersebut mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali, dan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam tetap menjawab, ‘ia tidak akan mendapatkan apa-apa.’ Sampai akhirnya beliau bersabda:
«إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»
Artinya:
‘Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali amal yang ikhlas untuk-Nya dan hanya untuk mencari ridha-Nya.’ (Hasan, HR. An-Nasa’I dalam Sunannya)
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ , وَالنَّصِيحَةُ لِوُلَاةِ الْأَمْرِ , وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ
Artinya:
“Tiga hal yang tidak menyebabkan dengki hati orang mukmin: Mengikhlaskan amal untuk Allah, menasehati lada pemimpin kaum muslimin, dan konsisten dalam golongan mereka”. (Shahih, HR. Tirmidzi dalam Sunannya).
Inilah tiga perkara yang isa memperbaiki hati. Seorang hamba yang melakukannya hatinya akan bersih dari sifat khianat, dengki dan keburukan.
Dengan keikhlasan, seorang hamba akan dapat melepaskan diri dari belitan setan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
إلّا عبادك منهم المخلصين
Artinya:
“Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas diantara mereka” (QS. Al-Hijr: 40).
Seorang shaleh pernah berkata kepada jiwanya, “ikhlaslah niscaya kamu kan terlepas dari setan!” Setiap bagian dunia sedikit atau banyak pasti digemari nafsu dan digandrungi oleh hati. Bika ia telah merasuk lada amal perbuatan, ia bisa mengeruhkan yang bersih dan melenyapkan keikhlasan.
Manusia terikat pada keinginan dan tenggelam dalam syahwatnya. Jarang sekali satu perbuatan atau ibadah benar-benar bersih dari keinginan dan tujuan-tujuan dunia. Oleh sebab itu, ada sebuah ungkapan, “Beruntunglah orang yang benar langkahnya yaitu orang yang hanya mengharapkan ridha Allah semata.”
Ikhlas adalah membersihak hati dari semua noda, baik sedikit maupun banyak, sehingga tujuannya hanyalah mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak ada motif lain didalamnya. Setan terkadang mengepung hamba dan melebur semua amal perbuatannya, dan nyaris tidak ada satu amal pun yang lepas dari jeratannya. Jika ada satu amal saja yang lepas, seorang hamba terkadang masih bisa selamat.
Pada dasarnya, jiwa manusia suka dipuji, mengharap popularitas. Senang disanjung, dan mengagumi kekuasaan. Nafsu manusia juga sangat cenderung menonjolkan diri dan malas. Selain itu, mereka juga mudah terkena kepada wanita, anak, dan harta yang melimpah, seperti emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang.
Karena itu, yang paling barat bagi jiwa adalah mengikhlaskan niat kepada Allah. Ayyub menegaskan, “Mengikhlaskan niat bagi orang yang beramal lebih berat daripada amal perbuatan itu sendiri.”
Diantara ulama ada yang berkata, “Ikhlas sesaat bisa menyebabkan keselamatan untuk selamanya. Akan tetapi Ikhlas itu barang langka. Maka siapa yang menginginkan ikhlas, hendaknya ia memutus cinta shahwat dari hatinya, memenuhi hatinya dengan cinta Allah, dan mencurahkan perhatiannya untuk akhirat.”
2. Mengikuti Sunnah
Syarat diterimanya amal yang kedua adalah harus sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam.
Dasar hukum ini diambil dari hadits Aisyah Radiallahu ‘anha yang mengatakan bahwa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
Artinya:
“Barangsiapa yang membuat-buat hal baru dalam urusan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya (bid’ah), maka ia tertolak.” (HR. Bukhori)
Dan juga menurut riwayat Muslim:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
Artinya:
“Barangsiapa yang melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ia tertolak”.
Hadits ini merupakan dasar yang agung diantara dasar-dasar islam. Jika hadits yang menyebutkan, “sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat” adalah sebagai neraca amalan dari sisi internal, hadits diatas adalah sebagai neraca amalan dari sisi eksternal. Amal yang tidak didasari perintah Allah dan Rasul-Nya akan tertolak, sebagaimana orang yang melakukan amalan dengan tujuan selain Allah, tidak akan mendapat pahala (sia-sia).
Dengan demikian, sabda beliau, “…yang tidak didasari oleh perintah kami…” Adalah isyarat bahwa semua amal perbuatan hendaklah sesuai dengan syariat Islam. Hukum syariat yang berupa perintah dan larangan adalah hakim. Oleh sebab itu, amalan yang selaras dengan hukum-hukum Allah akan diterima. Sebaliknya, amalan yang keluar dari ketentuan syariat akan ditolak.
Dua hal inilah yang hendaknya selalu kita perhatikan dalam setial amalan kita, yaitu mengikhlaskan niat hanya untuk Allah dan beribadah kepada-Nya dengan mengikuti petunjuk yang dibawa Rasul-Nya.
Wa Shollallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa ash habihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Wallahu a’lam wa billahit taufiq wal hidayah.
Diringkas dari buku: Tazkiatun Nafs (البحر الرائق في الزهد والرقائق)
Penulis: Ahmad Farid
Di susun oleh : Sahl Suyono
(Santri I’dad Du’at Mu’allimin -Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU timur)
Leave a Reply