
Meraih Keikhlasan Hati Dengan Melawan Riya’ Dan Ujub – Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa Allah karuniakan atas penutup dan paling mulia, Muhammad, juga atas segenap keluarga, para sahabat, para tabi’in dan tabi’un tabi’in serta para pengikut setia beliau hingga akhir zaman.
Pentingnya Amalan Hati
Pembahasan ikhlas, menjauhkan diri dari riya’ dan ujub merupakan pembahasan mengenai amalan hati. Dan amalan hati merupakan amalan penting. Banyak orang memberikan perhatian besar terhadap amalan-amalan dzohir. Kita temukan sebagian orang benar-benar berusaha sholat sebagaiman shalatnya Nabi, maka seluruh gerakan-gerakan shalat Nabi dalam hadis-hadist shahih berusaha di terapkannya. Sungguh berupa kenikmatan dan kebahagian bagi orang-orang yang seperti ini. Akan tetapi, banyak juga orang yang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan dzahir yang ternyata lalai dalam amalan hati. Sebagai bukti, betapa banyak orang yang gerakan shalatnya seratus persen sama seperti gerakan shalat Nabi namun apakah mereka juga memberi perhatian besar terhadap kekhusu’an dalam shalatnnya.
Bukan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhya seseorang selesai dari shalatnya dan tidaklah di catat baginya dari pahala shalatnya kecuali sepersepuluhnya, persembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertigannya, setengahnya.” (HR. Abu Dawud no. 761 dan di shahihkan oleh Syaikh Albani)
Bukankah khusu’ adalah ruh shalat? Bukankah Allah tidak memuji semua orang yang shalat, dan hanya memuji orang yang beriman yang khusyu’ dalam shalatnya?
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
قد أفلح المؤمنون . الذين هم في صلاتتتهم خاشعون
Artinya: “sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang yangkhusyu’ dalam sembahyangnya.” (QS. AL-Mukminun: 1-2)
Sungguh merupakan perkara yang menyedihkan karena banyak diantara kita memilki ilmu tinggi dan melakukan amalan dzahir yang luar biasa, tapi sangat lemah dalam masalah amalan hati, Ada diantara mereka yang sangat mudah marah, dan sangat tidak sabar dan kurang tawakal. Hal ini menunjukan betapa lemahnya iman terhadap takdir. Tak kala datang perkara yang genting akan terlihat watak seseorang seperti anak kecil yang tidak sabar, mudah marah, dan menunjukan lemah amalan hatinya. Meskipun ilmunya tinggi dan amalannya banyak, tetapi ia adalah orang awam dalam masalah hati. Bahkan bisa jadi banyak orang awam jauh lebih baik darinya dalam masalah hati.
Dalam masalah ini yang kita butuhkan adalah keikhlasan sedangkan mendatangkan keikhlasan sampai akhir membutuhkan perjuangan, memurnikan atau mengkhususkan ibadah-ibadah kita hanya untuk Allah yaitu jika kamu melakukan sesuatu amalan tertentu maka bersihka diri dari memperhatikan manusia untu mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu tersebut. Cukuplah Allah yang memperhatikan amalan kebajikanmu, itu artinya 3ngkau ikhlas dalam amalanmu untuk-Nya. inilah yang harus di perhatikan oleh setiap muslim, hendaknya dia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkaan manusia sehingga aktifitasnya tergantung dengan komentar menusia. Namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Rabb manusia, karena yang menjadikan patokan adalah keridhaan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhaimu).
Berkata As-Susi rahimahullah:
الإخلاص فقد رؤية الإخلاص فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج اخلاصه إلى إخلاص
Artinya: “ikhlas adalah hilangnya rasa memandang bahwa dirinya sudah ikhlas, karena barang siapa yang melihat takkala ia sudah ikhlas bahwa ia adalah seseorang yang ikhlas maka keikhlasannya tersebut butuh pada keikhlasan.”(Tazkiyatun Nufus)
Perihal riya’ yang merusak amalan hati
Penyakit yang sangat berbahaya ini mengakibatkan hancur dan menjadikan suatu amalan seperti debu yang beterbangan tidak ternilai. Betapa banyak amalah yang telah dikumpulkan oleh seseorang selama bertahun-tahun dan bisa jadi puluhan tahun dan bisa jadi amalan tersebut sudah menumpuk tinggi menjulang ke langit, semuanya hancur lebur tidak bernilai sama sekali disis Allah.
Perumpamaan yang buruk
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :
كالذي ينفق ماله رئاء الناس ولا يؤمن بالله اليوم الآخرر فمثله كمثل صفوا ن عليه تراب فأصابه وابل فتركه صلدا يقدرون على شيء مما كسبوا
Artinya: “Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang seperti itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah).” Mereka tidak menguasi sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. (QS,Al- Baqarah: 264)
Sungguh ini merupakan permisalan yang sangat menghinakan orang-orang yang beramal dengan riya’. Mereka menyangka mereka telah mengumpukan amal yang banyak. Bahkan bukan hanya mereka yang berprasangka demikian, tetapi orang yang melihat mereka juga berprasangka demikian, yaitu orang-orang shaleh yang memiliki banyak amalan. Hal ini yang menyedihkan dan sangat menyakitkan serta sangat menghinakan takkala orang yang beramal dengan riya’ menyangka bahwa ia telah mengumpulkan amal dengan sebanyak-banyaknnya, dan ia telah berbangga dengal hal itu, bahkan mereka menyangka dirinya sebagai orang shaleh dan memujinya, padahal pada hakikatnya amalan mereka tidak ternilai sama sekali disisi Allah.
Samar dan halusnya riya’
Sungguh benar sabda Nabi bahwa riya’ bersifat samar sehingga terkadang menimpa seseorang, sehingga ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwa ada seseorang yang selalu shalat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga shalat di shaf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’an yang lain yang melihatnya shalat di shaf kedua. Maka takkala itu ia sadar bahwa selama ini senangnya hatinya dan tenangnya hatinya takkala shalat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia.
Mendeteksi diri dari riya’
Keikhlasan merupakan amalan hati yang tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah, bahkan terkadang seseorang merasa dirinya telah iklhlas namun ternyata ia tidak ikhlas, bahkan ternyata ia telah terjangkiti penyakit riya’. Seorang muslim hendaknya senantiasa mengecek kondisi hatinya pada lubuk yang paling dalam. Berikut ini beberapa pernyataan yang membantu kita baik pembaca maupun penulis sendiri untuk mengetahui jauh dekatnya diri kita dari keikhlasan, untuk mengetahui parah tidaknnya penyakit riya’ yang telah menjangkit kita.
Pertama: apakah engkau senantiasa berhenti sejenak sebelum beramal apapun (baik sebelum shalat, berdakwah, menulis sebuah tulisan ilmiah, menulis status maupun catatan, atau memberi komentar di facebook) untuk mengecek apakah niatnya sudah benar ikhlas karena Allah atau tidak, ( Selalu- sering- terkadang- jarang- hampir- tidak pernah ).
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita renungkan atsar berikut ini:
Ada orang yang berkata kepada Nafi’ bin Jubair Radhiyallahu’anhu, “Apakah engkau tidak menghadiri seorang jenazah?” Mak beliaupun berkata, “Tetaplah ditempatmu sampai aku berniat.” Beliau pun berpikir sejenak lantas beliau berkata, “Mari kita berjalan”.(Jami’ul ‘Ulum wal Hakim,29)
Kedua: Apakah engkau senantiasa bergembira saat ada orang lain (dari man pun dia) yang ikut menyebarkan dakwah Ahlus Sunnah Waljama’ah? (selalu- sering- terkadang- jarang- hampir tidak pernah).
Suatu penyakit yang sering menimpa seorang da’I tatkala seorang da’I lain yang lebih berilmu atau lebih pandai berceramah bahkan lebih di sukai oleh jama’ah. Terkadang seseorang berdakwah bertahun-tahun dan berhasil mengumpulkan banyak pengikkut, dan selama itu ia merasa bahwa dirinya telah ikhlas dalam dakwahnya. Namun, keikhlasannya teruji ketika datang seorang da’I yang lebih piwai dari dirinya. Di sinilah akan nampak apakah ia seseorang yang ikhlas ataukah tidak. Jika dia ikhlas maka tentu ia akan sangat bergembira karena ada da’I lain yang membantunya dalam menyebarkan dakwah Ahlus snunnah wal jama’ah, terlebih bertambah kegembiraannya saat ia tahu bahwa da’I tersebut sangat pandai dalam dakwahnya. Jika dakwah selama ia bangun bukan di atas keikhlasan maka akan timbul rasa hasad dan dengki yang amt sangat terhadap da’I tersebut.
Ketiga: Apakah engkau senantiasa selalu mengecek Niatmu ditengah amalanmu? (selalu-sering-terkadang-jarang-hampir tidak pernah)
Kita harus menyadari bahwa meraih keikhlasan adalah perkara yang sulit dan lebih sulit lagi adalah menajaga keikhlasan tersebut. Ada dua bentuk menjaga langgengnya keikhlasan:
- Menjaga keikhlasan dengan amalan-amalan berikut.
- Menjaga keikhlasan tatkala sedang beramal. Yaitu, sebagai mana ikhlas saat memulai amalan (di awal amalan). Demikian juga kita berusaha menjaga keikhlasan tersebut saat melakukan amalan.
Sufyan Ats- Tsauri pernah berkata:
ما عا لجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب علي
Artinya: “Tidak pernah aku meluruskan sesuatiu lebih berat dari niatku, karena niatku selalu berbolak-balik padaku.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 29)
Sungguh benar perkataan Sufyan, niat selalu berbolak-balik dan berubah-ubah. Sulaiman bini Dawud Al-Hasyimi berkata:
ربما أحدث بحديث ولي فيه نية فإذا أتيت على بعضه تغيرت نيتي فإذا االحديث الواحد يحتاج الى نيات
Artinya: “terkadang aku menyampaikan sebuah hadist dan aku memiliki niat yang benar dalam menyampaikan hadist tersebut. Maka ketika kau menyampaikan sepengat dari hadist tersebut berubahlah niatku. Ternyata untuk menyampaikan satu hadist membutuhkan banyak niat. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 41)
Bersambung. . . .
Referensi:
Berjihad Melawan Riya’ dan Ujub,Dr.Andirja Firanda,MA,Naashirussunnah,cet:3 Dzulqa’dah 1441 H/Juni 2020
Diringkas oleh : Mayang Fitria Rizki (Pengabdian Pondok Darul Qur’an wal Hadist Oku Timur)
BACA JUGA:
Ajukan Pertanyaan atau Komentar