Etika Berumah Tangga. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Dialah rabb satu-satunya yang berhak untuk di ibadahi dan kami bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah sebagai Nabi dan Rasul-Nya.
Pernikahan adalah salah satu syariat Allah Subhanahu wata’ala yang paling mulia. Pernikahan menjadi jalan yang fitrah dilalui manusia untuk menyalurkan keperluan biologisnya dan melanjutkan keturunan. Pernikahan pun menjadi sarana yang dihalalkan untuk berbagi cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Firman Allah Ta’ala: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Karena itu, pernikahan adalah solusi bagi ketentraman dan kebahagiaan individu dan masyarakat. Manusia tidak punya pilihan lain untuk mewujudkan kebahagiaan secara paripurna di luar dari pernikahan. Walau begitu, sendi-sendi pernikahan tidak bisa tegak hanya sekedar dengan cinta. Harus ada pagar, agar keharmonisan rumah tangga tetap terjalin dengan rapi dan baik. Dikarenakan berumah tangga adalah salah satu dari banyaknya impian anak adam. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit dari banyak orang yang menyesali pernikahannya, dikarenakan banyak hal, seperti kekerasan dalam berumah tangga, ekonomi, dan etika yang kurang baik dari suami maupun istri. Maka dari itu, hadirlah pembahasan tentang ETIKA BERUMAH TANGGA ini untuk meluruskan dan memberikan sedikit pencerahan kepada sepasang suami-istri dan juga yang akan segera mendapatkan pasangan.
Lantas etika apakah yang harus dimiliki sepasang pengantin dalam berumah tangga agar rumah tangga menjadi kehidupan yang dinaungi cinta, kasih sayang dan ketentraman, sebagaimana firman-Nya:
وَمِن ءَايَٰتِهِۦٓ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٰجًا لِّتَسكُنُوٓاْ إِلَيهَا وَجَعَلَ بَينَكُم مَّوَدَّةً وَرَحمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Bahtera rumah tangga membutuhkan dua dayung sekaligus, yaitu suami dan istri, agar sampai ke daratan dengan penuh aman, cinta dan kasih. Konsekuensinya, laki-laki dan wanita harus senantiasa berpartisipasi dalam kerjasama. Salah satu pihak tidak boleh menuntut untuk selalu menerima tanpa mau memberi. Sebaliknya, ia harus segera memberi dan tidak menunggu apa yang akan diterima. Bahkan, ia berusaha semampu mungkin untuk membahagiakan pihak lainnya dan meringankannya dalam menempuh kepenatan jalan yang panjang. Suami harus lebih banyak bersabar sesuai anatomi tubuh dan kepemimpinannya. Ia bertindak sebagai nahkoda bahtera agar bisa membawanya berlayar hingga berlabuh dipantai cinta dan keluarga yang berbahagia. Namun, istri tidak boleh membiarkan suaminya berjuang dan bersusah payah, padahal ia melihatnya, tanpa memberi imbalan kepadanya dengan senyuman, sentuhan penuh kasih, dan kata-kata manis yang menjadikannya tidak merasa pedih atau penat menghadapi sulitnya jalan.
Ia duduk di depan suaminya di atas ujung bahtera, seperti putri atau ratu yang dibawa oleh pangerannya atau rajanya ke pulau yang jauh dari mata serigala di jalan dan di media masa, baik audio, visual, maupun cetak, agar keduanya menjalani kehidupan bersama dengan indah. Karena itu, suami harus melihat istrinya dalam rupa yang paling menawan dalam hal pakaian, tubuh, kata-kata yang manis, lembut dan mesra.
Kita harus tahu bahwa etika yang harus dimiliki sepasang pengantin sangat banyak, antara lain:
- Pergaulan yang baik
Jadi, etika pertama yang harus dimiliki suami-istri ialah pergaulan yang baik. Karena itu, pengantin laki-laki dan wanita masing-masing harus mempergauli pasangannya dengan sebaik mungkin. Allah telah memerintahkan, dalam kitab-Nya dan lewat Rasul-Nya, kepada suami agar mempergauli istrinya dengan baik. Allah azza wa jalla berfirman:
وَعَا شِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ
Artinya:
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut.” (QS. An-Nisa: 19)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خيركم خيركم لأهله و أنا خيركم لأهلي
Artinya:
“Sebaik-baik kalian ialah yang terbaik kepada istrinya, dan aku adalah Sebaik-baik kalian kepada istriku.” (Shahih, diriwayatkan at-Tirmidzi dan ath-Thahawi)
Beliau Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya, dan Sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya kepada istrinya.” (Shahih, diriwayatkan at-Tirmidzi dan selainnya)
Beliau Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ingatlah, berbuat baiklah kepada istri-istri kalian karena mereka adalah tawanan disisi kalian. Kalian tidak menguasai sedikitpun dari mereka selain itu, kecuali bila mereka melakukan kenistaan yang nyata. Jika mereka melakukan itu, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari jalan atas mereka. Ingatlah bahwa kalian memiliki hak atas istri-istri kalian, dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri-istri kalian ialah mereka tidak memasukkan di ranjang kalian siapa yang tidak kalian sukai, serta mereka tidak mengizinkan masuk dirumah kalian siapa yang tidak kalian sukai. Ingatlah, hak mereka atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan selainnya)
Dalam hadits disebutkan:
كلّ شيئ ليس فيه ذكرالله فهو (لغو) و سهو لعب، ألا أربع (خصال): ملاعبة الرجل امرأته، وتأديب الرجل فرسه، ومشيه بين الغرضين، و تعليم الرجل السباحة
Artinya:
“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat dzikrullah, maka itu adalah senda gurau, kelalaian, permainan, kecuali empat perkara: laki-laki mencumbui istrinya, laki-laki melatih kudanya, berjalannya di antara dua tujuan, dan laki-laki mengajarkan renang.” (HR. An-Nasai’ dalam Isyrah an-Nisa’)
Di antara bentuk pergaulan yang baik, akan dikemukakan di sini In Syaa Allah. Di dalamnya terdapat sebagian perkara yang tidak disukai kaum wanita yang terdapat pada kaum laki-laki. Renungkanlah hadits ini dan timbanglah diri Anda, bersama kelompok manakah Anda berada. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Sebelas wanita duduk lalu mereka berjanji untuk tidak menyembunyikan tentang kabar-kabar yang bertalian dengan suami mereka sedikit pun. Wanita yang pertama mengatakan, ‘Suamiku adalah daging unta jantan kurus di atas puncak gunung yang tidak mudah di daki, dan tidak pula berdaging sehingga mudah berpindah.”
Ia menggambarkan suaminya seperti daging unta jantan. Ini termasuk jenis daging yang tidak disukai orang. Di samping dagingnya tidak disukai, ia berada di atas puncak bukit. Bukit ini tidak mudah di daki untuk menggapai daging yang tidak disukai itu. Suaminya tidak berdaging lagi gemuk sehingga mampu memikul beban pendakian, sedangkan bukit itu menggelincirkan.
Yang kedua mengatakan, ‘Tentang suamiku aku tidak ingin menyebarkan beritanya. Sesungguhnya aku khawatir untuk mengatakannya. Jika aku mengingatnya, maka aku mengingat urat diperut dan lisannya serta aibnya.”
Ia mengatakan, tentang suamiku aku tidak ingin menyebarkan beritanya. Aku khawatir, jika aku bercerita tentangnya, tidakkah ada diantara kalian yang akan membeberkan ain dan keburukan suamiku. Namun jika aku bercerita kepada kalian tentangnya, maka cukuplah aku menyebutkan uratnya, yaitu urat yang ada di perut dan lisan. Bajr adalah ‘uyub (aib). Jadi, ia membicarakan tentang aib-aibnya, baik zhahir atau batin.
Al-Khathtabi rahimahullah mengatakan, “Ia memaksudkan aib-aibnya yang tampak dan segala rahasianya yang tersembunyi.” Ia berkata, mungkin ia tertutup zhahirnya, buruk batinnya.”
Yang ketiga mengatakan, “Suamiku orang yang buruk ahklaknya; jika aku berbicara, maka aku akan ditalak dan jika aku diam, maka aku akan terkatung-katung.”
Ia menggambarkan suaminya sebagai laki-laki yang tinggi tapi tinggi yang tercela. Maksudnya, ia tidak memiliki apapun kecuali tubuh tingginya yang tiada guna. Ibnu Hubaib berkata, “Ia bersegera kepada apa yang diinginkannya, buruk perangainya dalam segala urusannya. Konon, buruk ahklaknya. Ia mengatakan, jika ia menyebutkan aib-aib suaminya lalu terdengar olehnya, maka ia menceraikannya. Namun, jika ia diam saja di sisinya, maka ia terkatung-katung disisinya: bukan istri dan bukan pula janda. Ia mengisyaratkan tentang keburukan ahklaknya dan ketidaksabarannya menghadapi kata-katanya, ketika ia mengeluhkan keadaannya kepadanya. Ia tahu bahwa kapan saja ia menyebutkan sesuatu dari hal itu kepadanya, maka ia segera mentalaknya. Namun jika ia diam saja dan sabar menghadapi kondisi tersebut, maka ia bagaikan terkatung-katung di sisinya, bukan istri bukan pula janda.
Yang keempat berkata, “Suamiku seperti malam Tihamah, tidak panas, tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak membosankan.”
Ia menggambarkan suaminya sebagai seorang pribadi lembut, lembut pergaulannya kepada pasangannya. Mengandung kemungkinan bahwa itu bagian dari sifat malam. Kemudian ia menggambarkan sebagai orang yang dermawan dan bagus pergaulannya, lurus keadaannya, sehat batinnya. Seakan-akan ia mengatakan: Tidak ada gangguan dan tidak ada suatu yang tidak menyenangkan di sisinya. Aku merasa aman darinya, sehingga aku tidak mengkhawatirkan keburukannya. Tidak pula ada kejenuhan di sisinya sehingga merasa bosan bergaul dengannya. Aku menikmati hidup di sisinya seperti penduduk Tihamah merasakan nikmatnya malam mereka yang bercuaca sedang.
قالت الخامسة: زوجي إن دخل فهد وإن خرج أسد ولا يسأل عمّا عهد
Terjemahannya:
“Yang kelima berkata, “Suamiku, apabila masuk, seperti macan kumbang dan apabila keluar, ia seperti singa. Ia tidak bertanya tentang apa yang terlihat (di dalam rumah).”
Ia menggambarkan suaminya sebagai “orang yang lalai” ketika masuk rumah sebagai bentuk pujian baginya. Akhlak ghaflah (lalai) adalah akhlak luhur. Ia berpura-pura tidak tahu sebagaian perkara di rumahnya. Ia tidak mempersempit istrinya untuk mengerjakan demikian di rumah atau membersihkan demikian, dan menilainya terlambat melakukan demikian dari urusan rumah yang diperintahkannya. Ia pura-pura tidak tahu di rumahnya tentang hal-hal kecil seperti ini. Ia tidak seperti penjaga dan pengawas terhadap segala yang kecil dan besar di rumah, sehingga istri tidak membenci keberadaannya di rumah dan menahan perginya. Ia menyerupakan suaminya dalam hal kelunakannya dan “kelalaiannya” dengan macan kumbang. Karena macan kumbang disifati sebagai binatang pemalu, sedikit keburukan dan banyak tidur. Atau ia menggambarkan suaminya jika ia masuk rumah, maka ia menerkam laksana terkaman macan kumbang. Yakni, ia banyak bermesraan dengannya dan menyetubuhinya, sebagaimana keadaan macan kumbang bersama betinanya ketika masuk sarangnya. Sebaliknya, jika diluar, ia laksana singa di tengah manusia atau ia menggambarkannya sebagai orang yang bersemangat dalam berperang. Perkataan wanita itu, “Dan ia tidak bertanya tentang apa yang dilihatnya,” yakni ia memuji bahwa suaminya sangat dermawan, banyak memberi, tidak mencermati hartanya yang sudah pergi, maksudnya ia tidak mencari hartanya ketika pulang dan tidak bertanya, “Di mana perginya harta?” Sehingga ia ingin melihat bagaimana cara istrinya menyiapkan daftar pengeluaran dirham, dinar dan uang, di mana keluarnya, bagaimana keluarnya, dan mengapa keluar? Hingga istri mengatakan, “Aku merasa umurku telah lenyap bersama laki-laki ini, tanpa pernah kembali lagi.”
Bersambung…
Referensi :
Majdi bin Manshur bin Sayyid asy-Syuri//2023//Mahkota pengantin//Jakarta//Pustaka at-Tazkia
Diringkas oleh : Adibah Mira Trisna (Santriwati khidmah Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Artikel bulan : November 2023
Baca juga:
Leave a Reply