Ritual-ritual Persembahan di Sekitar Kita
Dunia mistik masih cukup kental dengan sebagian masyarakat tanah air. Keyakinan terhadap penguasa yang mampu mendatangkan keberuntungan dan menyingkirkan marabahaya selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetap mengakar pada mereka ini. Karenanya, kehidupan mereka tidak lepas dengan ritual-ritual persembahan yang variatif. Ada yang bersifat tahunan atau pelaksanaannya ketika datang momen tertentu (pernikahan, panenan) maupun tatkala mereka dicekem oleh ancaman bencana yang dalam anggapan mereka muncul karena kemungkaran si penguasa yang mereka yakini, guna melancarkan roda Kehidupan hajatan atau urusan mereka, mereka menghidupkan ritual-ritual persembahan tumbal maupun sesaji. Persembahan tumbal biasanya dalam bentuk binatang ternak, baik disembelih terlebih dahulu maupun di persembahkan dalam keadaan hidup-hidup. Sementara persembahan sesaji dilakukan dengan selain hewan bernyawa.
Macam-macam penyembahan ditinjau dari tujuan
- Penyembelihan dalam rangka beribadah
Jenis pertama ini dilakukan guna mengagungkan zat yang disembah atau diibadahi serta merendahkan dan mendekatkan diri kepadanya. Ini adalah sebuah jenis ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tata cara pelaksanaan yang telah ditentukan mempersembahkannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk syirik besar.
- Penyembelihan dalam rangka penghormatan
Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara pernikahan. Pada asalnya, ini hukumnya mubah karena seorang diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه
Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no 6018 dan Muslim no 47)
- Penyembelihan dilakukan untuk memanfaatkan sembelihannya untuk dikonsumsi maupun dijual, ini hukumnya mubah.
- Penyembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tujuan beribadah
Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub atau mendekatkan diri dan ibadah untuk selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada malaikat, memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga haram karena disembelih bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِه
Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi atau daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Ada salah satu cara untuk membedakan antara sembelihan yang tujuannya adalah taqarruf dengan sembelihan yang tujuannya adalah penghormatan. Saat kunjungan penguasa ke suatu daerah, biasanya dilakukan penyembelihan binatang. Jika penyembelihannya tersebut tujuannya pengagungan dan penguasa adalah setelah hewannya disembelih di hadapan sang penguasa, sembelihan tersebut dibiarkan begitu saja. Namun jika tujuannya adalah penghormatan dan perjamuan, maka sembelihan tersebut akan dimasak dan dimakan.
Semua persembahan sembelihan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik itu berhala, tokoh yang dikultuskan, jin atau makhluk apapun merupakan perbuatan syirik. Dalilnya adalah nash umum yang melarang penyembelihan untuk selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala di antara nash umum tersebut firman Allah :
وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِه
Artinya:
“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Nash di atas mencakup seluruh penyembelihan dengan menyebut nama selain Allah, siapapun dia. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hakikat penyembelihan untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala dan hukum pelakunya; “yang dimaksud dengan penyembelihan untuk selain Allah adalah penyembelihan dengan menyebut nama selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti orang yang menyembelih untuk mengagungkan berhala, salib, Nabi Musa atau Nabi Isa ‘alaihimassalam, Ka’bah dan lainnya. Ini semua hukumnya haram hasil sembelihannya tidak halal, baik si penyembelih beragama Islam, Nasrani maupun Yahudi. Ini telah dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dan disepakati ulama Syafiiyyah. Apabila tujuannya untuk mengagungkan dan beribadah kepada objek yang dituju maka perbuatan itu dikategorikan kufur. Jika penyembelih beragama Islam, maka ia dianggap murtad.”
Bila perkataan Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala tersebut dicermati, maka akan kita dapati bahwa beliau menjadikan penyembelihan untuk selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala siapapun objek yang dituju tidak lepas dari dua kondisi pertama, ditujukan untuk taqarrub atau ibadah kepadanya dan ini hukumnya syirik besar yang sangat nyata pelakunya menjadi murtad karenanya. Kedua, penyembelihan itu dengan menyebut salah satu nama makhluk, bukan untuk taqarrub padanya, perbuatan ini juga haram berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyah juga pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah. Hasil sembelihan tersebut juga tidak halal, dengan tanpa pertimbangan mempertimbangkan agama si penyembelih maupun nama yang disebut saat menyembelih.
Substansi pernyataan Imam Nawawi rahimahullah tentang murtadnya orang yang menyembelih untuk dipersembahkan sembelihannya kepada selain Allah ternyata juga diungkapkan oleh ar-razi rahimahullah dan para ulama lainnya. Beliau menjelaskan, “Para ulama berkata: seandainya seorang muslim menyembelih binatang sembelihan dengan tujuan untuk taqarrub kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka ia dianggap murtad dan sembelihannya dihukumi sembelihan yang murtad.”
Pelajaran dari kisah dua putra Nabi Adam ‘Alaihissalam
Pada hakekatnya persembahan sesaji untuk selain Allah pun termasuk perbuatan syirik besar, sebab secara asal persembahan pun harus diperuntukkan hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata. Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kisah dua putra Nabi Adam ‘alaihissalam yang mempersembahkan kurban dalam firmannya:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah sebenarnya kedua Putra Adam Habil dan Qabil ketika keduanya menyajikan persembahan. Persembahan salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan yang lain (Qabil) tidak diterima. Ia qobil berkata: “Aku pasti membunuhmu.” Habil menjawab: “Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maidah [5]:27)
Ayat di atas menunjukkan kewajiban memurnikan persembahan hanya kepada Allah Azza wa Jalla sekurang-kurangnya dari tiga sisi:
Pertama: dua putra Nabi Adam ‘alaihissalam ini telah menyajikan persembahan untuk Allah Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu baginya. Syaikh As-sa’di rahimahullah menafsirkan firman Allah ketika keduanya mempersembahkan korban: “Maksudnya ketika masing-masing dari keduanya mengeluarkan sesuatu dari harta miliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.”
Kedua: diantara sebab tertolaknya persembahan qobil di sisi Allah Azza wa Jalla karena ia tidak ikhlas dalam mempersembahkannya. Al Khatib asy-Syarbini rahimahullah menerangkan makna ayat dan tidak diterima dari yang lain. “Maksudnya adalah Qobil, karena ia tidak terima dengan ketentuan Allah Azza wa Jalla dan tidak ikhlas dalam persembahannya.”
Ketiga: penekanan yang terdapat dalam Penghujung ayat di atas bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima persembahan kecuali dari orang-orang yang muttaqin. Sebagaimana telah maklum bahwa diantara sifat paling menonjol orang-orang muttaqin ialah ikhlas dalam beramal karena Allah semata, yang merupakan perwujudan konsekuensi dari persaksian Lailahaillallah. Qotadah rahimahullah berkata. “Orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang komitmen dengan Lailahaillallah.”
Memberikan persembahan untuk Allah Azza wa Jalla semata bukan untuk selainnya merupakan jalan para nabi terdahulu sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qutaibah rahimahullahu saat menafsirkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 183 ini semakin mempertegas bahwa menyajikan persembahan kepada selain Allah Azza wa Jalla hukumnya syirik. Parahnya, orang-orang yang mempersembahkan sesaji secara sengaja bertujuan mendekatkan diri kepada Jin untuk menghindarkan diri dari kejahatan, bukan malah sebaliknya memohon kepada Allah Azza wa Jalla dalam usaha mengusir Jin yang ditakuti. Tindakan mereka ini menunjukkan adanya keyakinan bahwa Jin memiliki kekuatan tersendiri dalam melakukan apa saja yang diinginkan, seakan itu berada di luar kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Inti kesyirikan dalam fenomena ini adalah menisbatkan kekuatan gaib kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Siapapun yang menelaah dengan cermat Al-Quran dan sunnah nabi serta menyimak keterangan para Salafus Shalih ia akan mengetahui bahwa sesaji yang dipersembahkan itu sama persis dengan apa yang dipersembahkan kaum musyrikin zaman dulu kepada sesembahan mereka, yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firmannya:
وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ مِمَّا ذَرَاَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْاَنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوْا هٰذَا لِلّٰهِ بِزَعْمِهِمْ وَهٰذَا لِشُرَكَاۤئِنَاۚ
Artinya: “Mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan atau bagian untuk Allah sembari berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” (QS al-An’aam [6] : 136)
Tindakan mereka ini terhitung beriman kepada Jibt dan thaghut, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Sebagian orang ada yang melakukan taqarrub kepada Jin dengan memakan adas, mereka memasaknya lantas meletakkannya di kamar mandi atau membuangnya. Kemudian meminta hal-hal yang biasa diminta kepada setan-setan sebagaimana yang mereka lakukan di kamar mandi dan tempat serupa dengannya. Ini termasuk beriman kepada jibt dan thaghut.”
Syubhat dan sanggahannya
Sebagian orang mungkin akan menolak vonis kufur terhadap praktik persembahan tumbal dengan binatang yang disembelih kepada jin dan lainnya dengan dalih bahwa orang-orang yang menyembelih sembelihan itu ketika melakukan penyembelihan menyebut nama Allah Azza wa Jalla atau mengucapkan basmalah. Bagaimana bisa disebut menyembelih untuk selain Allah Azza wa Jalla ? Jawabannya: jika memang demikian yang terjadi berarti ada perbedaan antara Keyakinan Hati dan ungkapan lisan. Dalam kondisi seperti ini yang dijadikan sebagai ukuran adalah apa yang diyakini hati, bukan apa yang dilontarkan oleh lisan. Ini merupakan kaidah umum dalam seluruh amal ketaatan. Alasan pengharaman perbuatan tersebut kembali kepada niat. Penyebutan nama Allah Azza wa Jalla dengan lisan dalam keadaan hati berniat untuk selainnya tidak mengubah status hukum keharamannya. Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah menyatakan secara tegas bahwa menyembelih sembelihan dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala namun dalam keadaan hati bertujuan untuk mempersembahkannya kepada selainnya tetap merupakan perbuatan syirik.
Penutup :
Itulah sebagian contoh dari ritual persembahan untuk selain Allah yang masih bertebaran di sekeliling kita. Kewajiban kita adalah meluruskan perilaku penyimpangan tersebut dengan cara yang santun dan bijak tanpa mengorbankan prinsip akidah, apalagi larut dalam ritual tersebut walaupun dengan alasan dakwah.
Referensi:
Majalah As-Sunnah Edisi ke 7 thn XIV Dzulhijjah 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, MA
Diringkas oleh: Fadhil Didi Kurniawan (Pengajar Ponpes DQH OKU Timur)
Baca juga artikel:
Leave a Reply