Amalan Hati

amalan hati

Amalan Hati – BismillahirrahmanirrahimSegala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi yang tidak ada lagi Nabi setelahnya, amma ba’du.

Allah subhanahu wa ta’ala menggabungkan antara ibadah dan tawakkal di tempat yang berbeda-beda, karena kedua hal inilah yang mengumpulkan seluruh perkara agama Islam ini. Ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan kitab-kitab terdahulu dalam al-Qur’an; mengumpulkan ilmu al-Qur’an di dalam al-Mufashshal; dan mengumpulkan ilmu al-Mufashshal dalam surat al-Fatihah, dan mengumpulkan ilmu al-Mufashshal dalam firman-Nya,

ايّاك نعبد وايّاك نستعين

Artinya: Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Kedua kalimat tersebut mencakup bagian untuk Rabb dan hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

قسمت الصّلاة بيني و بين عبدي نصفين، نصفها لي و نصفها لعبدي, ولعبدي ما سأل قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: يقول العبد: الحممد لله ربّ العالمين، يقول الله: حمدني عبدي، يقول: الرّحمن الرحيم، يقول الله : أثنى عليّ عبدي، يقول: ما لك يوم الدّين، يقول الله: مجّدني عبدي، يقول العبد: إياك نعبد وإياك نستعين، يقول الله: فهذه الآية بيني وبين عبدي نصفين ولعبدي ما سأل، يقول العبد: اهدنا الصّراط المستقيم  صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضآلين، يقول الله: فهؤلآء لعبدي ولعبدي ما سأل.

Artinya: ‘Aku membagi shalat (surat al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku dua bagian, satu bagian untuk-Ku dan yang satu bagian untuk hamba-Ku, dan baginya apa yang dia minta.’” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang hamba membaca, ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘Alamin (segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam),’ maka Allah berfirman, ’Sesungguhnya hamba-Ku telah memuji-Ku.’ Ketika ia membaca, ‘Arrahmaanirrahiim (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang),’ Alllah berfirman, ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Pada saat ia membaca, ‘Maaliki Yaumiddiin (Pemilik Hari Pembalasan),’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’ Ketika ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin (hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kpada-Mu lah kami memohon pertolongan),’ maka Allah berfirman, ‘Ayat ini, Aku bagi menjadi dua antara Aku dan hamba-Ku, dan baginya apa yang ia minta.’ Dan ketika membaca, ‘Ihdinash shiraathal mustaqiim shiraatalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin (tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat),’ maka Allah berfirman, ‘Semua ini untuk hamba-Ku, dan baginya apa yang ia minta.’” (HR. Muslim)

 Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya dengan tujuan ibadah. Ibadah adalah satu  nama yang menghimpun kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah hingga puncaknya dan bentuk kesempurnaan kehinaan dirinya kepada-Nya hingga puncaknya. Tidak menjadi ibadah kecintaan yang kosong dari kehinaan kepada Allah dan tidak menjadi ibadah kehinaan yang kosong dari kecintaan kepada Allah ibadah itulah yang mengabungkan kedua hal yang sempurna tadi. Karena itu, ibadah ini harus di tujukan kepada Allah semata, meskipun manfaatnya kembali kepadanya hamba-Nya, karena Allah adalah Dzat Yang Mahakaya yang tidak membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya, dan ibadah tersebut hanyalah untuk-Nya jika dilihat dan ridho-Nya. Karena itulah di sebutkan bahwa Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya di banding seorang yang kehilangan ontanya yang padanya terdapat bekal makanan dan minumanya di tengah padang pasir yang mencekam, ketika ia tidur dalam keadaan putus asa lalu dia terbangun dan mendapati kembali untanya yang hilang, namun sesungguhnya Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya di banding orang tersebut terhadap hewan tunggangannya itu. Dan ia memiliki kaitan dengan perkara-perkara yang sangat agung, dan kami telah menjelaskannya panjang lebar di tempat lain. Tawakkal dan isti’anah adalah bagian untuk hamba-Nya karena ia adalah saran yang di gunakan oeh seorang hamba untuk mencapai ibadah yang merupakan maksud dan tujuannya. Isti’anah itu seperti doa dan memohon kepada Allah. Ath-Thabarani meriwayatkan dalam kitab ad-Du’a’, dari Nabi Shalallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, sesungguhnya ada empat perkara: satu untuk-Ku dan satu untuk mu; satu antara Aku dan engkau dan satu lagi antara engkau dan Makhluk-Ku yang lain adapun yang untuk-Ku adalah engkau beribadah kepada-Ku dan tidak berbuat syirik, sedangkan yang untukmu adalah amalan mu yang Aku balas dan itu lebih engkau butuhkan. Adapun yang satu antara Aku dengan engkau adalah do’a mu yang Aku kabulkan, sedangkan yang satu antara engkau dengan makhluk-Ku adalah bergaullah dengan manusia dengan sesuatu yang mana engkau suka diperlakukannya dengannya (akhlak yang baik).’”

Maksud dari satu bagian untuk Rabb dan untuk hamba-Nya adalah yang di lihat dari rasa cinta dan ridho, dan seorang hamba selalu mencintai hal yang sesuai dengannya. Allah juga cinta jika ridho-Nya dijadikan tujuan dan cinta terhadap ibadah yang di gunakan sebagai wasialah. Namun sesungguhnya semua perintah kembali (manfaatnya) kepada makhluk itu sendiri, yang mana semua itu di cintai Allah. Oleh karena itu, barang siapa yang beranggapan bahwa semua orang bisa melakukan tawakkal maka dia telah beranggapan bahwa tawakkal hanya di lakukan pada urusan dunia saja, dan yang demi kian itu salah karena tawakkal dalam urusan agama adalah lebih mulia dan lebih agung. Juga perkara agama yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban maupun yang mustahabb (di anjurkan) adala bagian dari agama, dan yan berzuhud darinya (meninggalkannya) maka dia zuhud dari cinta dan perintah Allah.

Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, yaitu berlebih-lebihan dalam melakukan hal yang mubah yang tidak di gunakan untuk ketaatan kepada Allah. Seperti halnya wara’ yang disyariatkan, yaitu meninggalkan sesuatu yang bisa membahayakan di akhirat, yakni meninggalkan hal yang haram dan syubhat yang mana meninggalkannya tidak mengharuskannya meninggalkan sesuatu yang lebih rajih (kuat) darinya, seperti perkara yang waib. Adapun zuhud dari perkara-perkara yang bermanfaat di akhirat atau perkara yang menopang apa yang bermanfaat di akhirat maka zuhud ini tidak di anjurkan, bahkan pelakunya termasuk dalam firman Allah Ta’ala: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah di halalkan Allah kepada kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai ornag-orang yang melampaui betas.” (QS Al-Maidah : 87)

Sebagaimana berlebihan dalam perkara mubah itu tidak termasuk zuhud, maka sibuk dengannya hingga melalaikan kewajiban atau mengerjakan yang haram termasuk maksiat, atau paling tidak mengurangi derajatnya dari derajat almuqorrobin (orang-orang yang di dekatkan kepada Allah) kepada derajat almuqtashidin (golongan pertengahan). Selain itu, sesungguhnya tawakkal merupakan hal yang di cintai Allah dan diridhai-Nya dan selalu di perintahkan. Apa saja yang di cintai Allah, diridhai-Nya dan selalu di perintahkan makahal itu tidak hanya di kerjakan oleh golongan al-muqtashidin dan dan tidak pula dikerjakan oleh golongan al-muqarrabin, maka inilah tiga jawaban atas perkataan mereka yang mengatakan bahwa tawakkal itu hanya untuk urusan dunia saja.

Adapun perkataan mereka, “Sesungguhnya perkara-perkara hati itu sudah ditakdirkan,” ini sama saja mengatakan bahwa do’a itu tidak diperlukan, karena jika sesuatu yang diinginkan sudah ditakdirkan, maka untuk apa berdoa dan meminta? Ini adalah perkataan yang yang paling rusak dan keji menurut akal dan syariat. Adapun yang mengatakan bahwa tawakkal dan do’a tidak mendatangkan manfaat dan menolak mudharat atau hanya ibadah yang di kerjakan, atau hanya sekedar menyerahkan diri saja, maka ini adalah perkataan yang salah,meskipun beberapa ulama mengatakan hal ini, demikian pula orang yang mengatakan bahwa do’a hanyalah ibadah saja. Perkataan ini dan semisalnya pada dasarnya bersumber pada satu pemikiran, yaitu mereka beranggapan bahwa sesuatu yang sudah ditakdirkan berarti tidak ada kaitannya sama sekali dengan usaha seorang hamba, padahal Allah telah menakdirkan segala sesuatu dengan usaha-usaha yang bisa di lakukan seseorang hamba atau dengan lainnya. Sedangkan perkataan mereka ini sama saja dengan mengatakan bahwa amalan dan usaha seseorang tidak ada manfaaatnya sama sekali.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering ditanya tentang hal ini, lalu beliau menjawabnya,sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim ash-shahihain, dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata :

قيل لرسول الله صلى الله عليه و  سلّم: يا رسول الله, أعلم أهل الجنّة من أهل النّار؟ قال: نعم، قالوا: فقيم العمل؟ قال: كلّ ميسّر لما خلق له.

Artinya: “Rasulullah shallaallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah penduduk Surga sudah diketahui dari penduduk neraka ?’ Beliau menjawab, ‘Ya benar.’ Lalu beliau ditanya, ‘Lalu untuk apa beramal ?’ Beliau menjawab, ‘Semua telah dimudahkan sesuai yang telah diciptakan untuknya.’”

Allah telah menjelaskan masing-masing dari: al-kalimah, al-amr, al-iradah, al-idzn, al-kitab, al-hukm, al-qadha, at-tahrim dan yang lainnya yang bersifat diniy (berkaitan dengan perkara agama) yang sesuai dengan kecintaan dan keridhoan Allah serta perintah-Nya yang syar’i, dan yang bersifat kauni (berkaitan dengan alam semesta) sesuai dengan masyi’ah kauniyyah.

Hadits ini menyebutkan al-kalimat al-kauniyyah yang tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kehendak dan penciptaan-Nya, adapun al-kalimat ad-diniyyah maka orang-orang fasik telah menyelisihinya dengan maksiat. Maksudnya, Nabi menjelaskan bahwa manusia itu akan menjadi bahagia atau sengsara berdasarkan amal perbuatan yang dimudahkan untuknya, sebagaimana Allah subhanahu ta’ala menciptakan semua makhluk seperti itu. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan anak manusia dan seluruh hewan di dalam rahim yang disebabkan karena hubungan dua pasangan dan berkumpulnya air mani keduanya di dalam rahim. Jika orang yang berkata, “Aku akan bertawakkal dan tidak berhubungan badan dengan istriku, karena jika ditakdirkan aku punya anak maka anak itu akan ada, aku tidak perlu melakukan hubungan badan,” maka perkataan demikian adalah perkataan orang yang sangat bodoh. Beda halnya dengan orang yang melakukan ‘azl (menumpahkan air mani di luar rahim) karena ini tidak menghalangi terjadinya anak, insyaAllah. Sebab, terkadang air mani itu masuk kedalam rahim tanpa kesengajaannya.

Termasuk makna ini adalah apa yang telah tetap dalam ash-Shahihain dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Perang Bani Mushthaliq. Kemudian kami mendapati tawanan-tawanan Arab yang membuat kami ingin berhubungan dengan istri, sedangkan kami jauh dari istri kami. Maka kami ingin melakukan ‘azl (terhadap tawanan tersebut agar kami tidak hamil).

Bukan hanya itu saja, Allah subhanahu wa ta’ala mampu menciptakan seorang manusia tanpa kedua orangtua, seperti Nabi Adam; mapu menciptakan seorang manusia tanpa ayah, seperti Hawwa yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam; dan mampu menciptakan seorang manusia dari ibu saja, seperti al-Masih putra Maryam ‘alaihissalam. Tetapi semua itu tercipta dengan sebab-sebab tertentu di luar kebiasaan. Meski hal ini diingkari oleh orang-orang zindiq yang menafikan syari’at, tetapi banyak juga para syaikh terkemuka yang terjebak di dalamnya. Di antara mereka ada yang berbicara banyak (secara detail dan mendalam) tanpa memperhatikan perintah dan larangan, dan menjadikannya bagian dari tawakkal dan menganggap bahwa hal ini selaras dengan hakikat qadar, serta beranggapan bahwa perkataan seseorang, “Sepantasnya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayit di depan orang yang memandikannya,” mengandung pengertian bolehnya meninggalkan hal yang wajib dan melakukan hal yang haram, dan hingga padamlah cahaya hatinya yang dia gunakan untuk membedakan antara perbuatan yang diperintahkan, dicintai dan diridhai Allah dan yang dilarang, dibenci dan dimurkai-Nya sehingga dia menganggap sama apa yang telah Allah bedakan.

Referensi :

Amalan Hati, Kewajiban Beramal Atas Seluruh Hamba-Nya, Griya Ilmu, Cetakan ketiga Rabi’ul Awwal 1442 H/November 2020 M

Diringkas oleh : Adzra Balqis (Pengabdian Ponpes DQH OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.