Nikmat Kehidupan – Berbeda dengan kaum atheis yang menganggap kehidupan sebagai suatu kebetulan belaka, kaum muslimin meyakini bahwa hidup ini adalah karunia dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukan saja hidup sementara ini harus disyukuri, melainkan juga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, diisi dengan iman dan amal shalih sebagai bekal bagi kehidupan seterusnya. Kesadaran akan pentingnya nikmat hidup menjadikan seseorang menghargai nikmat tersebut, mensyukurinya, menjaganya, dan senantiasa memiliki sikap-sikap yang positif tentangnya. Melalui tulisan ini, mari kita hayati pentingnya nikmat kehidupan ini bagi kita agar kita dapat menjaganya dengan sebaik-baiknya.
Allah Pencipta, Penguasa, dan Pengatur Kehidupan. Kehidupan dunia dengan berbagai coraknya pada hakikatnya tidak lepas dari peran Allah Ta’ala. Dialah yang menciptakan, menguasai, dan mengaturnya. Demikianlah konsep ketuhanan yang terkandung dalam tauhid rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa Allah lah satu-satunya yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya,
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Artinya: “Ingatlah! Segala penciptaan dan pengurusan menjadi hak-Nya”. (QS. Al-A’raf : 54)
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Artinya: “Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi”. (QS. Ali Imran : 189)
Apabila konsep ini dipahami dengan baik maka tidak akan ada yang namanya kekecewaan atas kehidupan ini, bagaimana pun keadaannya di dunia. Karena konsep ini lahir dari pokok ajaran yang dibawa seluruh rasul, yaitu tauhid yang melahirkan keimanan, ketundukkan, dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala.
Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya, kasih sayang Allah Ta’ala tidaklah sama seperti kebanyakan makhluknya, kasih sayang-Nya tidaklah terbatas bahkan meliputi seluruh makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
Artinya: “Dan kasih sayangku meliputi segala sesuatu”. (QS. Al-A’raf : 156)
Namun baru sebagian saja kasih sayang Allah Ta’ala yang dirasakan seluruh makhluk-Nya di dunia dan sisanya Allah Ta’ala simpan di akhirat bagi hamba-Nya yang beriman, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا وَأَخَّرَ اللَّهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai seratus rahmat, salah satu di antaranya diturunkan (di dunia) kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan sembilan puluh sembilan rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat”. (HR. Muslim, no. 6908)
Meskipun hanya satu kasih sayang tapi manifestasinya sangatlah banyak di dunia ini, supaya mereka lebih mengerti dan memahami arti kehidupan mereka sendiri serta bisa mensyukurinya dan mempraktikkannya pada sesamanya. Di antara kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya,
- Allah jadikan mereka khalifah; pemimpin dan pemakmur dunia ini. Sebagaimana firman-Nya,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ
Artinya: “Dan Dia-lah yang menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah di bumi”. (QS. Al-An’am : 165)
- Allah Ta’ala tundukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk bisa diambil manfaatnya oleh mereka sebagai penyempurna nikmat. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
Artinya: “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin”. (QS. Luqman : 20)
- Allah Ta’ala membolehkan banyak hal kecuali yang diharamkan dan memberi mereka rezeki yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik?”. (QS. Al-A’raf : 32)
- Allah Ta’ala jadikan untuk mereka malam dan siang; malam untuk istirahat dan siang untuk aktivitas. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, agar kamu beristirahat pada malam hari dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya”. (QS. Al-Qashas : 73)
Salah Satu Tujuan Syariat, dalam syariat agama Islam ada lima tujuan pokok yang wajib dijaga keberlangsungannya oleh umat Islam, bahkan harus mendapat perhatian lebih karena memiliki mashlahat yang besar dan sesuai dengan nalar serta fitrah manusia. Di antara tujuan pokok tersebut adalah penjagaan jiwa. Umat Islam wajib menjaga dirinya dan orang lain sehingga tidak saling melukai, bertikai, atau bahkan sampai terjadi pembunuhan. Intinya, jiwa di dalam Islam sangatlah dihormati dan dihargai, haram dihilangkan secara zalim tanpa ada sebab syar’i. Hal itu supaya mereka bisa saling mengasihi, menyanyangi, dan menghargai dalam bingkai syariat Islam serta sesuai dengan yang dicontohkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Di antara dalil yang menunjukkannya adalah firman Allah Ta’ala,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya: “Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia”. (QS. Al-Ma’idah : 32)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim (untuk ditumpahkan) kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin)”. (HR. Bukhari, no. 6878 dan Muslim, no. 1676)
Dalam rangka penjagaannya Allah Ta’ala melarang segala perbuatan yang akan merusak jiwa, seperti pembunuhan orang lain maupun diri sendiri, disyariatkan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan, tindak makar, dan lain sebagainya.
Banyak cara dan tips yang ditawarkan agar seorang memiliki kehidupan yang bermakna, sehingga dia bisa merasakan hakikat kebahagian dalam kehidupannya di dunia. Sebenarnya dalam Islam juga ada cara bagaimana agar kehidupan seorang menjadi lebih bermakna, berwarna, dan tidak monoton. Setidaknya, ada tiga cara yang dapat merealisasikan hal tersebut,
-
Mengetahui dan memahami tujuan hidup
Kehidupan akan menjadi bermakna tatkala seorang mengetahui dan memahami tujuan hidup. Karena setiap perjalanan dari kehidupan ini pasti ada akhir atau tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuannya salah maka bisa dipastikan perjalanannya pun akan tidak menentu, begitu juga sebaliknya bila tujuannya ada dan dimengerti dengan baik maka perjalanannya akan terarah dan dia akan bisa menikmati setiap perjalanan yang dilalui dalam kehidupannya. Bahkan begitu pentingnya hal ini bagi kehidupan muslim sehingga Allah Ta’ala tidak melewatkan penjelasannya dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat: 56)
-
Mensyukuri yang dimiliki
Segala sesuatu yang dimiliki seseorang sejatinya wajib untuk disyukuri, baik barang, uang, status sosial, sampai pun fisik. Karena tidak ada satupun yang luput dari nikmat Allah Ta’ala. Bahkan menanggapi takdir yang kurang baik saja seorang muslim dianjurkan untuk tetap memuji Allah Ta’ala. Oleh sebab itu seorang muslim merasa bermakna kehidupannya tatkala mampu menerima dan mensyukuri setiap yang datang padanya, itulah hakikat qana’ah yang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sabdakan dalam sebuah hadits,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Artinya: “Sungguh sangat beruntung orang yang masuk Islam, kemudian mendapat rezeki yang cukup, dan Allah menganugrahkan sifat qana’ah dengan segala yang Allah berikan padanya”. (HR. Muslim, no. 1054)
- Bermanfaat untuk orang lain
Tatkala seorang bisa memberi manfaat kepada orang lain meskipun kecil semisal senyuman atau menyingkirkan kerikil maka akan terasa berarti kehidupannya. Inilah hakikat syariat akhlak yang mulia, karena tanaman kebaikan pasti akan berbuah kebaikan pula. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda tentang manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya: “Manusia yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia”. (HR. Ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabir, no. 13468. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 906)
Dengan demikian, hidup yang bermakna adalah suatu corak kehidupan yang sarat akan tujuan, penerimaan, dan kemanfaatan bagi orang lain, yang apabila hal itu dimengerti dan dipahami akan menimbulkan perasaan-perasaan bahagia dalam kehidupan seseorang.
Pertanggungjawaban Setelah Kehidupan, kehidupan di dunia tidaklah kekal, ada masa dimana seseorang harus pergi meninggalkannya dan segala hal yang dilakukannya dalam kehidupan pasti memiliki sebuah pertanggungjawaban. Maka hendaknya setiap muslim lebih waspada dalam memanfaatkan nikmat kehidupan yang telah Allah Ta’ala berikan. Jangan sampai nikmat kehidupan tersebut malah menjadi bencana di kemudian hari hanya gara-gara kurang pandai memanfaatkannya dalam keta’atan. Setiap menit yang terlewati akan terasa berharga karena menjadi penentu akan baik atau buruk akhirnya nanti. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Artinya: “Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya (di dunia)”. (QS. Al-Muddassir : 38)
Nabi shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
Artinya: “Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya (dengan empat macam), tentang umurnya habis digunakan untuk apa, ilmunya bagaimana mengamalkannya, hartanya dari mana didapat dan kemana membelanjakannya, jasadnya rusak digunakan untuk apa”. (HR. Tirmidzi, no. 2417. Dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Cara Mensyukuri Nikmat Kehidupan, setelah memahami betapa berharganya nikmat kehidupan bagi seseorang maka sudah sepatutnya bahkan wajib untuk disyukuri karunia tersebut dengan cara yang sesuai tuntunan syariat. Setidaknya ada dua cara dalam mensyukuri nikmat kehidupan ini,
- Menggunakan nikmat kehidupan tersebut dalam keta’atan dan menjauhkannya dari berbagai maksiat.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tertapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-A’raf : 96)
- Memuji Allah atas nikmat kehidupan ini dan tidak mengkufurinya.
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69) لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
Artinya: “Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin, mengapa kamu tidak bersyukur?” (QS. Al-Waqi’ah : 68-70)
Demikian penjelasan yang bisa penulis paparkan berkaitan dengan syukur atas anugrah kehidupan. Semoga bisa menambah wawasan pembaca sekalian dan memberi pandangan terhadap kehidupan yang selama ini dijalani.
Referensi:
Ditulis oleh : Abdullah Yahya An-Najaty, Lc.
Majalah HSI Edisi 46 Rabiul Akhir 1444 H.
Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
BACA JUGA :
Leave a Reply