Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

STANDAR ACUAN AL-MUDHARABAH

هيئة المحاسبة والمراجعة للمؤسسات المالية الإسلامية

ACCOUNTING AND AUDITING ORGANIZATION FOR ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS

Diterjemahkan oleh: Said Yai Ardiansyah, M.A.

  1. Cakupan Standar Acuan

Standar acuan ini bisa diterapkan dalam mudharabah (bagi hasil) antara lembaga keuangan dengan berbagai pihak atau pribadi-pribadi, sebagaimana juga diterapkan pada rekening untuk investasi, jika dijalankan dengan prinsip mudharabah.

Standar acuan ini tidak mencakup shukuk al-mudharabah, karena akan ada standar acuan khusus mengenai hal tersebut yang dimasukkan dalam standar acuan shukuk investasi sebagaiman ini juga tidak mencakup jenis musyarakah lainnya karena ada standar acuan khusus untuknya.

  1. Defenisi Mudharabah

Mudharabah adalah syarikah (gabungan orang-orang) dalam mencari keuntungan pada harta dari pihak pemodal (rabbul-maal) dan pada pekerjaan dari pihak pengusaha (mudharib).

  1. Kesepakatan pembiayaan dengan mudharabah

    1. Boleh membuat kesepakatan sesuai dengan bingkai umum kesepakatan atau mudzakkirah tafahum (Memorandum of Understanding) dalam membuat akad pembiayaan dengan akad mudharabah dengan sejumlah harta tertentu selama waktu yang diketahui untuk melaksanakan kesepahaman tadi berdasarkan akad mudharabah secara khusus dan terus-menerus.

    2. MoU menentukan kerangka cara bertransaksi, dimulai dari niat awal bertransaksi yakni lafaz akad untuk mengusahakan harta (tamwil), apakah dengan mudharabah muthlaqah (secara bebas) atau muqayyadah (terbatas), apakah dengan cara terus-menerus atau terputus. Ditentukan juga persentase keuntungan dan jenis jaminan apa yang akan diserahkan pengusaha (mudharib) untuk menjaga bila terjadi hal-hal yang melampaui batas, penyepelean atau pelalaian atau menyelisihi syarat-syarat akad mudharabah dan setiap kewajiban yang telah dikhususkan pengerjaannya.

    3. Jika akad mudharabah ini telah sempurna berdasarkan MoU, maka MoU menjadi bagian dari setiap akad yang terjadi berikutnya, kecuali (jika ada) hal-hal yang dikecualikan oleh kedua pihak yang berakad.

  1. Akad Mudharabah

    1. Akad Mudharabah dianggap sah dengan menggunakan lafaz mudharabah atau qiradh atau mu’amalah.

    2. Disyaratkan bagi kedua pihak memiliki kemampuan untuk mewakilkan kepada orang lain (tawkil) dan memiliki kemampuan untuk menerima perwakilan (tawakkul). Mudharabah ini tidak sah kecuali kedua pihak memiliki kelengkapan kemampuan ini atau boleh dari orang yang menggantikan keduanya dengan memiliki sifat ini.

    3. Pada dasarnya akad mudharabah tidak mengikat (ghairu lazim), dan siapa saja dari kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akad ini kecuali dalam dua keadaan:

      1. Jika pengusaha (mudharib) telah mulai menjalankan usahanya, maka mudharabah berubah menjadi akad yang mengikat sampai pada waktu pencairan yang hakiki atau pencairan secara hukum/perkiraan yang disepakati.

      2. Jika kedua pihak sepakat untuk menetapkan batasan waktu, maka salah satu anggota tidak boleh mengakhiri mudharabah sebelum waktu yang telah disepakati kecuali dengan kesepakatan kedua pihak.

    1. Mudharabah termasuk dalam akad-akad amanah. Pengusaha (mudharib) adalah orang yang diamanahi harta mudharabah yang dia pegang, kecuali jika dia menyelisihi syarat-syarat akad amanah dengan berbuat hal-hal yang melampaui batas pada harta mudharabah atau menyepelekan/melalaikan pengurusan harta tersebut atau menyelisihi syarat-syarat mudharabah. Apabila salah satu hal tersebut dia lakukan, maka pengusaha (mudharib) menjadi penjamin terhadap modal.

  1. Jenis-jenis Mudharabah

Mudharabah terbagi menjadi Mudharabah Muthlaqah (bebas) atau Mudharabah Muqayyadah (terbatas).

    1. Mudharabah Muthlaqah (Bebas dan Tidak Terbatas) adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pengusaha (mudharib) untuk menjalankan usaha mudharabah tanpa dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Maka mudharib menjalankan usahanya dengan wewenang penuh. Hal tersebut berdasarkan kepada kepercayaan pemilik modal kepada amanah dan pengalaman pengusaha. Termasuk dinamakan Mudharabah Muthlaqah jika pemilik modal berkata kepada mudharib, “Bekerjalah! Terserah, apa yang baik menurutmu.” Hal yang sifatnya mutlak ini, walaupun dia luas, tetapi tetap terbatas. Dia dibatasi dengan keharusan memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak demi mewujudkan maksud dari mudharabah itu sendiri yaitu mendapatkan keuntungan. Dan harus menjalankan usaha sesuai dengan kebiasaan yang ada, dan dalam medan bisnis investasi sesuai dengan objek mudharabah.

    2. Mudharabah Muqayyadah (Terbatas) adalah pemilik modal membatasi mudharib dengan: tempat atau lapangan yang dia bekerja di sana, dan membatasi apa saja yang menurut pemilik modal sesuai, tetapi tidak menghalangi mudharib untuk berusaha.

  1. Jaminan dalam Akad Mudharabah.

Pemilik modal boleh mengambil jaminan yang cukup dan sesuai dari pengusaha (mudharib), dengan syarat pemilik modal tidak menggunakan jaminan-jaminan tersebut kecuali benar-benar terjadi tindakan melampaui batas, menyepelekan pekerjaan atau menyelisihi syarat-syarat dalam akad mudharabah.

  1. Modal dan syarat-syaratnya.

    1. Pada dasarnya modal mudharabah harus berupa uang. Barang-barang boleh dijadikan sebagai modal dalam mudharabah. Dalam keadaan seperti ini yang menjadi patokan modal adalah nilai barang dengan uang tunai, lalu dianggap sebagai modal mudharabah. Penentuan nilai barang baru terpenuhi berdasarkan pendapat dari para ahli yang berpengalaman atau dengan kesepakatan kedua belah pihak.

    2. Disyaratkan dalam modal mudharabah, harus diketahui sifat dan ukurannya, untuk menghilangkan unsur ketidakjelasan (pada modal).

    3. Tidak boleh utang mudharib atau utang orang lain kepada pemilik modal dijadikan sebagai modal dalam mudharabah.

    4. Disyaratkan dalam pelangsungan akad mudharabah dan pemberian kuasa kepada pengusaha (mudharib), adanya penyerahan modal mudharabah seluruhnya atau sebagiannya atau memberikan kuasa kepada pengusaha untuk bertransaksi dengannya.

  1. Hukum Keuntungan dan Syarat-syaratnya.

    1. Disyaratkan dalam masalah laba; penentuan cara pembagiannya diatur dengan jelas untuk menghindari ketidakjelasan dan mencegah persengketaan. Dan hal tersebut berdasarkan persentase dari keuntungan (bersih) dan bukan berdasarkan jumlah uang tertentu atau persentase dari modal.

    2. Pada dasarnya tidak boleh menggabungkan antara keuntungan mudharabah dengan upah, namun jika kedua belah pihak bersepakat memilih salah satu diantara mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang bukan termasuk dari pekerjaan mudharabah dengan upah yang ditentukan, dan kesepakatan tersebut terpisah akadnya dengan akad mudharabah -dimana jika dipisah dengan pekerjaan tersebut akad mudharabah tetap berjalan-, maka dalam kondisi ini diperbolehkan menurut syariat.

    3. Wajib menyebutkan persentase keuntungan ketika akad dilangsungkan, begitu juga jika kedua pihak sepakat merubah persentase keuntungan tersebut pada waktu kapan pun, disertai dengan penjelasan masa yang akan dilalui dalam kesepakatan tersebut.

    4. Jika kedua pihak tidak menyebutkan persentase pembagian keuntungan dan di sana ada kebiasan (‘urf) yang bisa dijadikan rujukan dalam pembagian tersebut, maka wajib merujuk kepadanya, seperti kebiasaan membagi keuntungan 50%-50%. Jika kebiasaan seperti itu pun tidak ada maka akad mudharabah menjadi batal. Dan mudharib mengambil upah yang wajar (ujratul-mitsl) sesuai dengan apa yang telah dia kerjakan.

    5. Jika salah seorang dari kedua pihak mensyaratkan kepada dirinya untuk mendapatkan sejumlah uang tertentu maka akad mudharabah menjadi batal. Dan tidak termasuk dalam larangan ini, jika kedua belah pihak bersepakat: jika ada keuntungan melebihi target dari jumlah tertentu maka salah seorang dari mereka berhak mengambil kelebihan tersebut, dan apabila keuntungan hanya sejumlah target yang ditentukan atau di bawah itu maka pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan semula.

    6. Pemilik modal tidak boleh menyerahkan dua modal kepada satu mudharib dimana mudharib menerima keuntungan dari modal pertama sedangkan pemilik modal mendapatkan keuntungan dari modal yang kedua, atau pemilik modal mendapatkan keuntungan dalam periode tertentu dan pada periode berikutnya mudharib yang mendapatkan keuntungan, atau salah satu pihak mendapatkan keuntungan pada transaksi pertama dan pihak yang lain mendapatkan keuntungan pada transaksi kedua.

    7. Dalam mudharabah tidak ada keuntungan kecuali setelah modal kembali secara utuh. Kapan saja kerugian terjadi dalam aktivitas mudharabah maka ditutupi dari keuntungan yang diperoleh dalam aktivitas yang lain. Kerugian yang lalu ditambal dengan keuntungan berikutnya, yang dilihat adalah hasil akhir dari aktivitas ketika pencairan. Jika kerugian dalam pencairan lebih banyak dari keuntungan maka jumlah kerugian ditutupi dari modal, dan pengusaha (mudharib) tidak menanggung apapun karena ia bertindak sebagai orang yang diamanahi, selama tidak ada tindakan melampaui batas atau menyepelekan pekerjaan. Jika biaya operasional seimbang dengan biaya pemasukan maka pemilik modal menerima modalnya dan mudharib tidak mendapatkan apapun. Kapan pun keuntungan terjadi maka kepada kedua belah pihak mendapatkannya berdasarkan kesepakatan di antara keduanya.

    8. Mudharib berhak mendapatkan bagiannya dari keuntungan dengan melihat secara zahirnya dalam aktivitas mudharabah, tetapi kepemilikan bagiannya itu bersifat tidak tetap, sebab dia tertahan sebagai perlindungan terhadap modal, maka tidaklah didapatkan kepastian pembagian kecuali setelah pembagian dengan dasar pencairan yang nyata atau secara hukum/perkiraan.

Boleh membagi keuntungan yang tampak secara zahir kepada kedua pihak di bawah perhitungan (yang akan dihitung kembali nantinya) ketika pencairan yang nyata atau pencairan secara hukum/perkiraan.

Keuntungan dibagai secara utuh berdasarkan harga barang-barang yang telah dijual. Inilah yang dikenal dengan pencairan secara nyata.

Boleh juga pembagian keuntungan berdasarkan atas dasar pencairan secara perkiraan, yaitu penilaian barang-barang dengan nilai harga yang adil. Piutang-piutang yang dirasa akan dikembalikan dinilai dengan nilai harga, piutang-piutang ini setelah dikurangi piutang-piutang yang diragukan akan dikembalikan.

Dan dalam pemotongan piutang pihak lain tidak dimasukkan bunga sebagai nilai dari keterlambatan pembayaran, dan juga pemotongan piutang tidak dipotong bila piutang dibayar lebih cepat dari masa jatuh temponya.

    1. Jika harta pribadi mudharib tercampur dengan harta mudharabah, maka dia menjadi mitra dalam syarikah pada hartanya dan menjadi mudharib pada harta orang lain. Keuntungan harus dibagi dua berdasarkan adanya dua harta (harta mudharabah dan harta mudharib yang tercampur), maka mudharib mengambil keuntungan dari hartanya ditambah dengan keuntungan dari harta mudharabah yang dibagi dua, satu untuknya dan satu lagi untuk pemilik modal sesuai kesepakatan mereka berdua.

  1. Wewenang Mudharib dan Tugas-tugasnya.

Mudharib wajib bersungguh-sungguh mencapai tujuan-tujuan mudharabah, dan pemilik modal menjadi tenang, karena hartanya berada di tangan orang yang amanah, digunakan untuk mencari keuntungan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat.

    1. Jika akad mudharabah bersifat muthlaqah (bebas/tidak terbatas) maka mudharib boleh mengerjakan apa saja yang dikerjakan oleh orang-orang yang mencari untung dalam lapangan pekerjaannya, hal tersebut mencakup sebagai berikut:

      1. Memanfaatkan setiap peluang untuk berinvestasi sesuai syariat yang memungkinkannya sesuai dengan besar modal yang dimiliki, dengan syarat hal tersebut memungkinkan sesuai dengan pengalamannya, kecakapannya dan keahliannya dalam berkompetisi.

      2. Berinteraksi dengan pekerjaannya dengan langsung atau mewakilkan sebagian pekerjaan kepada orang lain -ketika dibutuhkan- seperti membeli barang-barang atau mengantarkannya kepadanya.

      3. Sebisa mungkin memilih waktu, tempat dan pasar yang cocok untuk berinvestasi dan aman dari bahaya.

      4. Menjaga harta mudharabah atau menitipkannya kepada orang yang bisa dipercaya ketika dia membutuhkannya.

      5. Menjual dan membeli dengan tidak tunai.

      6. Pengusaha (mudharib) -dengan izin atau hak kuasa dari pemilik modal- boleh:

  1. Mengikutsertakan syarikah baru ke dalam mudharabah ini dari awal akad atau di pertengahan mudharabah, baik syarikah tersebut dari harta mudharib atau dari pihak ketiga. Dan lembaga keuangan mengambil asas ini dalam penggabungan harta pada rekening investasi dan harta lembaga keuangan.

  2. Mengambil harta dari pihak ketiga dengan tujuan mudharabah, selama mudharabah kedua ini tidak menyibukkan perhatiannya dan melalaikan mudharabah harta yang pertama.

    1. Pemilik modal boleh membatasi aktivitas mudharib demi kemashlahatan sesuai pandangannya. Boleh menentukan waktu atau tempat, maka investasi disyaratkan pada waktu tertentu atau negeri tertentu atau pasar di negeri tertentu, atau medan investasi tertentu. Investasi juga boleh disyaratkan pada sektor-sektor tertentu; seperti: jasa atau perdagangan, penentuan satu komoditi atau beberapa komoditi, ang tidak boleh dilanggar mudharib, dengan syarat ketentuan tersebut sejalan dengan apa yang diinginkan dari akad mudharabah. Dan jenis barang yang ditetapkan tadi tersedia bukannya menghalangi tujuan mudharabah itu sendiri.

    2. Pemilik modal tidak berhak mensyaratkan bahwa dia juga boleh mengelola bersama mudharib melakukan aktivitas bersama dalam jual beli dan serah terima. Atau memintanya untuk selalu berkonsultasi dalam segala hal, dan tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa pertimbangan pemilik modal. Atau mendiktenya dengan syarat yang memaksa; seperti: mewajibkan mudharib bekerja sama dengan orang tertentu atau mencampurkan hartanya dengan harta mudharabah.

    3. Mudharib melakukan sendiri setiap pekerjaan yang biasa dilakukan sendiri oleh para pengusaha semisalnya sesuai denganadat dan dia tidak berhak mendapatkan upah atas pekerjaan tersebut; karena pekerjaan tersebut termasuk dalam kewajibannya. Jika dia mengupah orang lain untuk melaksanakannya maka upahnya harus dari hartanya sendiri, bukan dari harta mudharabah. Pengusaha (mudharib) boleh meminta upah dari harta mudharabah untuk mengerjakan hal-hal yang tidak menjadi kewajibannya.

    4. Mudharib tidak boleh menjual barang dengan harga yang lebih murah dari biasanya dan tidak boleh membeli barang dengan harga lebih mahal dari biasanya kecuali jelas kemaslahatannya menurut pandangannya pada kedua keadaan tersebut.

    5. Mudharib tidak boleh meminjamkan atau menghibahkan atau mensedekahkan harta mudharabah, dan tidak boleh juga memutihkan utang pihak lain kecuali atas izin khusus dari pemilik modal.

    6. Mudharib berhak mendapatkan biaya perjalanan untuk kemashlahatan mudharabah -tergantung kebiasaan-.

  1. Berakhirnya Mudharabah

    1. Mudharabah berakhir dalam kondisi-kondisi berikut ini:

  1. Pembatalan atas keinginan dari salah satu pihak, selama dia masih menjadi akad yang tidak mengikat (ghairu lazim) (lihat: pasal 4.3)

  2. Kesepakatan kedua belah pihak.

  3. Berakhirnya waktu mudharabah jika kedua belah pihak bersepakat untuk menetapkan tempo berakhirnya, kecuali dalam kondisi yang mengharuskan untuk dilanjutkan. (lihat: pasal 4.3).

  4. Hilang atau hancurnya harta mudharabah.

  5. Wafatnya mudharib, atau pencairan aset lembaga mudharabah.

    1. Bila mudharabah berakhir dilakukan pencairan harta berdasarkan ketentuan yang dijelaskan dalam pasal 8.8.

  1. Tanggal Diterbitkannya Standar Acuan

Standar Acuan ini diterbitkan pada tanggal 4 Rabi’ul-Awwal 1424 H/16 Mei 2003.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.