Bismillahirrahmanirrahim, segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, petunjuk dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Prinsip Keempat:
بَيَانُ الْعِلْمِ وَالْعُلَمَاءِ، وَالْفِقْهِ وَالْفُقَهَاءِ، وَبَيَانُ مَنْ تَشَبَّهَ بِهِمْ وَلَيْسَ مِنْهُمْ، وَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ هَذَا الْأَصْلَ فِي أَوَّلِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ قَوْلِهِ: يَبَنِي إِسْرَاءِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِي الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّيَ فَارْهَبُونِ وَعَامِنُوا بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِايَتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّيَ فَاتَّقُونِ وَلَا تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَقُواْ رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ يَنبَنِي إِسْرَاءِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِي الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ ). وَيَزِيدُهُ وُضُوحًا مَا صَرَّحَتْ بِهِ السُّنَّةُ فِي هَذَا الْكَلَامِ الكَثِيرِ الْبَيِّنِ الْوَاضِحِ لِلْعَامِي الْبَلِيدِ، ثُمَّ صَارَ هَذَا أَغْرَبَ الْأَشْيَاءِ، وَصَارَ الْعِلْمُ وَالْفِقْهُ هُوَ الْبِدَعُ وَالضَّلَالَاتُ وَخَيَارُ مَا عِنْدَهُمْ لَبْسُ الْحَقِّ بِالْبَاطِلِ، وَصَارَ الْعِلْمُ الَّذِي فَرَضَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَى الْخَلْقِ وَمَدَحَهُ لَا يَتَفَوَّهُ بِهِ إِلَّا زِنْدِيقُ أَوْ مَجْنُونٌ، وَصَارَ مَنْ أَنْكَرَهُ وَعَادَاهُ وَصَنَّفَ فِي التَّحْذِيرِ مِنْهُ وَالنَّهْيِ عَنْهُ هُوَ الْفَقِيهُ الْعَالِم
Terjemahannya:
Penjelasan perihal ilmu dan ulama, fikih dan fukaha, serta penjelasan mengenai siapa yang menyerupai mereka, padahal bukan bagian dari mereka. Allah telah menjelaskan prinsip ini di awal surah Al-Baqarah melalui firman-Nya: “Wahai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu. Hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. Janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. Mengapa kamu suruh orang lain menger- jakan kebaktian, sedang kamu melupakan kewajibanmu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu, yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan mereka akan kembali kepada- Nya. Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkanmu atas segala umat di zamanmu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 40-47)
Semakin bertambah jelas lagi apa yang dijelaskan dalam As-Sunnah mengenai perkataan yang banyak, terang, nan jelas bagi orang awam dan bodoh sekalipun.
Kemudian hal ini berubah menjadi sesuatu yang paling asing. Ilmu dan pemahaman yang benar berubah menjadi sesuatu yang dianggap sebagai bid’ah dan kesesatan. Yang menjadi pilihan mereka adalah mencampurkan kebatilan dengan kebenaran.
Akhirnya, ilmu yang difardhukan oleh Allah atas makhluk dan yang Allah berikan pujian padanya tidak ada yang mengucapkannya kecuali dianggap sebagai seorang zindik atau orang gila. Jadilah orang yang mengingkari, memusuhi serta mengklasifikasikannya sebagai sesuatu yang harus diwaspadai dan melarang darinya, adalah orang yang paham lagi berilmu.
Penjelasan:
Perkataan pengarang, “Penjelasan perihal ilmu dan ulama serta fikih dan fuqoha’….”
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu mengenai apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya berupa keterangan nyata dan petunjuk. Ilmu yang di dalamnya terdapat pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i. Ilmu tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, berupa Kitab dan Hikmah (Sunnah). Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
… قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبَابِ
Artinya: “Katakanlah ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sungguh hanyalah orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقَّهْهُ فِي الدِّينِ
Artinya: “Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya: “Sungguh, para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Akan tetapi, mereka itu mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, berarti telah mengambil jatah yang banyak.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi)
Sudah menjadi sesuatu yang kita ketahui bersama bahwa yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu syariah. Namun, tentu saja kita tidak mengingkari bahwa ada faedah dari berbagai ilmu lainnya. Hanya saja, faedah tersebut terikat dengan dua hal: jika ia membantu untuk menunaikan ketaatan kepada Allah serta memenangkan agama Allah, dan manakala ia memberikan manfaat kepada para hamba Allah. Yaitu memberi kebaikan dan kemaslahatan. Sebagian ulama, bahkan ada yang menyebutkan bahwa belajar ilmu industri adalah fardhu kifayah. Hanya saja, tentu pendapat ini masih diperdebatkan.
Bagaimanapun ilmu yang disebutkan adanya pujian atasnya dan pujian kepada penuntutnya adalah pemahaman mengenai Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Adapun selain keduanya, jika ia menjadi sarana pada kebaikan, ia baik adanya. Namun, jika ia menjadi sarana pada keburukan maka ia buruk adanya. Jika tidak menjadi sarana ke salah satu di antara keduanya, ia terhitung membuang-buang waktu dan main-main belaka.
Ilmu memiliki banyak keutamaan. Di antaranya:
- Bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu di akhirat nanti selain di dunia. Di akhirat nanti Allah akan mengangkat orang-orang yang berilmu sekian derajat sesuai dengan apa yang telah mereka tunaikan di dunia, berupa berdakwah menyeru ke jalan Allah serta mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Sedangkan di dunia ini, Allah mengangkat mereka di hadapan para hamba-Nya juga sesuai dengan apa yang mereka tunaikan.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
… يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتِ….
Artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
2. Ilmu merupakan warisan Nabi, sebagaimana yang telah disabdakan oleh beliau, “Sungguh, para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Akan tetapi, mereka itu mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, berarti telah mengambil jatah yang banyak.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi)
3. Sesuatu yang masih tetap tersisa (kekal) setelah kematian seseorang adalah ilmu. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْعَبْدُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
Artinya: “Jika seorang hamba meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali yang berasal dari tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih.” (HR. Muslim)
4. Bahwa Rasulullah tidak pernah mendorong seseorang untuk iri terhadap suatu nikmat kecuali iri kepada dua jenis nikmat. Pertama, menuntut ilmu dan mengamalkannya. Kedua, orang kaya yang menjadikan kekayaannya untuk berkhidmat kepada Islam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ، رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Artinya: “Tidak ada sikap iri kecuali terhadap dua golongan. Iri terhadap seseorang yang dianugerahi harta oleh Allah lalu ia memanfaatkannya dalam kebenaran dan seseorang yang dianugerahi hikmah (ilmu) oleh Allah, lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Ilmu ia mengenal bagaimana ia beribadah kepada Rabbnya dan bagaimana ia bermuamalah dengan sesama, sehingga perjalanan hidupnya dalam hal tersebut berada di atas ilmu dan pengetahuan.
6. Orang yang berilmu adalah cahaya yang darinya umat manusia mendapat petunjuk mengenai urusan agama dan dunia mereka. Tentu saja kebanyakan di antara kita tidak asing dengan kisah lelaki dari kalangan Bani Israil yang membunuh 99 jiwa. Lantas ia bertanya kepada seorang ahli ibadah, apakah ia masih bisa bertaubat. Namun, sepertinya ahli ibadah itu memandang bahwa urusannya terlalu besar sehingga ia pun menjawab, “Tidak.” Lelaki tersebut akhirnya membunuhnya sehingga lengkap sudah membunuh 100 jiwa.
Kemudian ia pun pergi mendatangi seorang berilmu dan menanyakan kepadanya. Orang berilmu itu menyatakan bahwa ia mempunyai kesempatan untuk bertaubat. Tidak ada penghalang antara dirinya dengan taubat. Kemudian orang berilmu itu menunjukkan kepadanya suatu negeri yang penduduknya adalah orang-orang shalih dan meme- rintahkan agar ia keluar menuju negeri tersebut. Oleh karena itu, ia pun pergi menuju negeri tersebut, namun ternyata di tengah perjalanannya kematian menjemputnya. Kisah ini sangat populer[1]. Perhatikanlah perbedaan antara orang berilmu dengan orang bodoh.
Jika hal itu telah jelas bagimu, seharusnya engkau mengetahui siapa para ulama itu. Mereka adalah
ar-rabbaniyyun yang mendidik manusia di atas syariat Rabb mereka sehingga kaum rabbaniyyun itu memiliki keistimewaan dan berbeda dari orang- orang yang hanya menyerupai mereka, padahal hakikatnya bukan bagian dari mereka. Hanya menyerupai mereka secara penampilan lahiriah, perkataan, dan perbuatan. Akan tetapi, sungguh bukan bagian dari mereka dalam memberikan nasihat kepada masyarakat serta menghendaki ke-benaran. Yang mereka pilih adalah mencampurkan kebatilan dengan kebenaran serta membentuknya berbagai ungkapan penuh hiasan. Ibaratnya, orang-orang yang kehausan menyangkanya sebagai air, namun ketika mendatanginya tidak ada apa-apa, fatamorgana. Bahkan sebenarnya adalah bid’ah dan kesesatan, namun sebagian orang menyangka bahwa itu ilmu dan pemahaman. Sedangkan selainnya tidak ada yang menyebutnya kecuali seorang zindik atau orang gila.
Inilah makna dari perkataan pengarang rahimahullah. Sepertinya beliau memberikan isyarat kepada para pimpinan ahlubid’ah, yang mereka itu mencela Ahlusunnah dengan sesuatu yang mereka itu berlepas diri darinya. Tujuannya adalah menghalangi manusia mengambil ilmu dari mereka. Ini warisan orang-orang sebelum mereka, mereka suka mendustakan para rasul. Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونُ أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
Artinya: “Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka melainkan mereka mengatakan: ‘Dia adalah seorang penyihir atau seorang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 52-53)
Referensi:
Syarah Ushulussittah (penjelasan tentang enam prinsip beragama), Pustaka Al-Qowam, cetakan keempat 1426 H/ 2005 M, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Diringkas dan ditulis ulang oleh: Lailatul Fadilah (Staff pengajar ponpes DQH Oku Timur)
[1] Kisah selengkapnya adalah sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda, “Pada zaman sebelum kalian terdapat seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa. Lantas ia menanyakan mengenai orang yang paling berilmu di muka bumi. la pun kemudian ditunjukkan kepada seorang rahib, lantas ia pun segera mendatanginya. la katakan kepada rahib itu bahwa dirinya telah membunuh 99 jiwa, apakah ia masih bisa bertaubat? Rahib itu menjawab, “Tidak.” Akhirnya, ja pun membunuh rahib tersebut sehingga lengkap ia telah membunva, 100 jiwa. Kemudian ia kembali menanyakan perihal orang paling berilmu di muka bumi. Ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. la katakan kepada orang berilmu tersebut bahwa dirinya telah membunuh 100 jiwa; apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat? Orang berilmu itu menjawab, “Ya, siapa yang dapat menghalangi antara dirimu dengan taubat?! Pergilah menuju negeri anu, karena di sana terdapat orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada Allah bersama mereka. Jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang buruk!”
Akhirnya, ia pun berangkat menuju negeri yang ditunjukkan tersebut. Namun, ketika baru menempuh separuh jalan, ternyata kematian menjemputnya. Oleh karena itu, berselisihlah antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, “Ia datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah.” Sementara malaikat adzab berkata, “Ia belum melakukan kebaikan sama sekali.” Lalu datanglah seorang malaikat lain yang menjelma dalam bentuk manusia. Mereka pun setuju menjadikannya sebagai penengah (hakim). Ia berkata, “Silakan kalian ukur jarak antara dua negeri; ke mana yang lebih dekat, maka ke situlah orang ini dikategorikan!” Akhirnya, mereka mengukur jarak tersebut dan ternyata mereka mendapati bahwa jarak dari orang tersebut lebih dekat ke negeri yang dituju (negeri tempat orang-orang shalih). Akhirnya orang tersebut diambil oleh malaikat rahmat.
Dalam riwayat lain yang shahih disebutkan: “Ternyata orang tersebut lebih dekat jaraknya menuju negeri yang baik hanya selisih sejengkal. Akhirnya ia dimasukkan ke penduduknya (orang-orang shalih).” Dalam riwayat lainnya juga shahih disebutkan, “Lalu Allah mewahyukan (memerintahkan) kepada negeri tempat orang-orang jahat itu agar menjauh dan kepada negeri tempat orang-orang shalih itu agar mendekat. Lalu diperintahkan, ‘Ukurlah beda jarak antara keduanya!’ Ternyata mereka mendapati bahwa jarak lelaki tersebut lebih dekat satu jengkal menuju negeri tempat orang-orang shalih itu, Allah pun memberikan ampunan kepadanya.” Dalam riwayat lain, “Maka ia menjauh dengan dadanya dari negeri jahat itu menuju (mendekat) ke negeri baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca juga artikel:
Leave a Reply