Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

SIKAP TERHADAP MUSIBAH

sikap terhadap musibah

SIKAP TERHADAP MUSIBAH – Sesunggunya termasuk pokok keimanan di dalam agama islam adalah seseorang beriman kepada qadar yang baik dan buruk. Dan beriman bahwa sesuatu yang telah ditakdirkan, pasti akan mengenainya, dan bahwa sesuatu yang tidak ditakdirkan, tidak akan menimpanya. Dan bahwa semua perkara adalah di tangan Allah.

Musibah Pasti Ada Hikmah

Allah adalah AL-Hakim, Maha Bijaksana. Segala perbuatan-Nya pasti Mengandung Hikmah, baik kita ketahui dengan jelas atau samar bagi kita. Dalam masalah terjadianya berbagai musibah pada manusia, Allah memberitakan kepada kita di antara hikmah-hikmah perbuatan-Nya itu. Inilah di antaranya:

  1. Sebagai siksa terhadap Sebagian manusia dan keuatamaan bagi Sebagian yang lain.

Dari ‘Aisyah, Istri Nabi -semoga Allah Meridhainya- dia Berkata Aku bertanya kepada Rasullah Shallallahu Alaihi Wasallam tentang wabah tho’un (suatu jenis penyakit menular yang mematika). Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam memberitahukan kepadaku,

أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ

Artinya: “bahwa itu merupakan sisksaan yang Allah kirimkan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Dan Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak ada seorangpun yang tertimpa penyakit tho’un, lalu dia di kotanya dengan sabar, mengharapkan pahala Allah, dia mengetahui bahwa tidaklah yang menimpanya kecuali apa yang telah Allah tulis (takdirkan) baginya, kecuali hal itu baginya semisal pahala syahid”.

(HR. AL-Bukhari, no: 3747)

  1. Sebagai balasan kesalahan / kemaksiatan manusia.

Dari Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiyallahu Anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Bersabda:

اَلْمَصَائِبُ وَالْأَمْرَاضُ وَالْأَحْزَانُ فِي الدُّنْيَا جَزَاءٌ

Artinya: “musibah-musibah dan penyakit-penyakit, kesusahan-kesusahan merupakan balasan”.

(HR. Abu Nu’aim di Hilyatul Auliya dalam Shahih al-Jami’ush Shaghir, no: 6717)

  1. Penebus dosa seorang muslim.

Dari Abu Sa’id AL-Khudri dan dari Abu Hurairah, dari nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Artinya: “Tidaklah menimpa seorang Muslim yang berupa kelelahan, penyakit (yang tetap), kekhawatiran (Terhadap sesuatu yang kemungkinan yang akan menyakitnya), kesedihan (karena kehilangan sesuatu), gangguan, dan duka-cita karena suatu kejadian, sampai duri yang menusuknya, kecuali Allah akan mengugurkan dosa -dosanya dengan sebab itu.”

(HR. AL-Bukhari, no: 5642; Muslim, no: 2572)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata: Aku pernah menyenguk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, ketika itu beliau menderita demam, lalu aku memegang beliau sambil berkata: “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau sedang menderita sakit yang sangat berat, ”Beliau menjawab: “Benar, rasa sakit yang menimpaku ini sama seperti rasa sakit yang menimpa dua orang dari kalian.” Kataku Selanjutnya; “Sebab itu engkau mendapatkan pahala dua kali lipat. ”Beliau Menjawab: Benar, “Kemudian Beliau Bersabda Lagi:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

Artinya: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya.”

(HR. AL-Bukhari, 5660)

  1. Agar manusia Kembali menuju kebenaran, beribadah kepada Allah.

Allah Shallallahu Alaihi Wasallam Berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ. قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِين.

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar(41), Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)(42),” (QS. Ar-Rum/30: 41-42)

 

Empat Sikap Manusia Terhadap Musibah

  1. Membenci dan Marah

Membenci dan marah terhadap musibah hukumnya haram, bahkan dosa besar, baik kemarahan itu di dalam hati, di lidah, atau dilampiaskan dengan anggota badan.

Adapun kemarahan di dalam hati, yaitu memandang bahwa Allah berlaku tidak layak adil di dalam musibah ini dan bahwa dia tidak layak mendapatan musibah ini. Sikap ini sangat berbahaya, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala :

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS.AL-Hajj/22: 11)

Kemarahan di lidah, yaitu dengan berteriak dengan teriakan jahiliyah, seperti: “Celaka aku!!”, “Aku ikut siapa ??”, dan semacamnya yang menunjukan kemarahandan tidak ridha terhadap qadar Allah.

Abu Burdah bin abu musa Rahimahullah berkata :

Abu musa pernah menderita sakit parah hingga ia pingsan, saat itu kepalanya berada di pangkuan salah seorang wanita dari kalangan keluarganya. Seorang wanita daari kalangan keluarganya menjerit, tetapi abu musa tidak mampu membantahnya. Ketika abu musa telah sadar, dia berkata:

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ

Artinya: “Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong

(mencukur atau menggundul) rambut kepala , serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

Sedangkan kemarahan yang dilampiaskan dengan anggota badan, seperti menampar pipi, merobek baju, berguling-guling, dan semacamnya. sesungguhnya nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berlepas diri dari perbuatan tersebut. di dalam sebuah hadis diriwayatkan

Dari Abudullah (bin Mas’ud), dia berkata: Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam  bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

Artinya: “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan Jahiliyah (yakni Ketika ditimpa musibah kematian)”. (HR.AL-Bukhari no 1294 dan Muslim no 103)

Syaikh Mushthafa Bugho  menjelaskan: “sabda Nabi “tidak termasuk golongan kami”, yaitu tidak termasuk pengikut agama kami yang mengikuti petunjuk kami, “Menampar” yaitu memukul wajah dengan telapak tangan bagian dalam , “Juyub” jama’  dari Jaib yaitu belahan baju sebelah atas untuk memasukkan kepala, yang dimaksud merobek baju secara umum, “teriakan jahiliyah”, yaitu di dalam tangisan ya kan dari tanya berteriak dengan teriakan yang biasa diucapkan oleh orang-orang jahiliyah, seperti: wahai sandaran kami! “, wahai kekuatan kami!”, dan ungkapan semacamnya”. (Catatan kaki, Shahih al-bukhari, no 1294)

  1. Sabar

Sabar menghadapi musibah adalah menahan diri dari marah atau membenci terhadap musibah. Ini berat dilakukan, tetapi hukumnya wajib. Nabi R telah memerintahkan putrinya untuk bersabar Ketika cucu nabi dalam keadaan sekarat

  1. Ridha

Sikap Ketiga adalah ridha, yaitu ridha terhadap musibah yang telah ditakdirkan. Ulama berbeda pendapat apakah ridha terhadap musibah hukumnya wajib atau mustajab. Yang benar hukumnya adalah mustajab, sebab ridha ini lebih daripada sabar, Adapun sabar adalah wajib. Apa perbedaan antara sabar dangan ridha terhadap musibah? Perbedaannya adalah bahwa orang yang bersabar terhadap musibah, dia menahan diri dari membanci dan marah terhadap musibah, walapun hatinya tidak senang. Adapun orang yang ridha terhadap musibah, maka adanya musibah dengan ketiadaan musibah sama saja baginya. Karena musibah itu dari qadar Allah, dan dia ridha dengan keridhaan sempurna terhadap perbuatan Allah. Dia mengatakan, “Aku adalah hamba Allah, dan Dia adalah Rabbku. Jika Dia melakukan sesuatu yang menyenangkan aku, maka aku adalah hamba-Nya, dan aku bersyukur kepada-Nya. Dan jika dia melakukan sesuatu yang menyusahkan aku, maka aku adalah hamba-Nya, dan aku bersabar dan ridha. Atau Dia akan melihat dari sisi hikmah musibah. Bahwa musibah akan menghapus dosa, meninggikan derajat, sehingga itu merupakan Kebaikan. Maka kejadian musibah atau tidak, sama saja baginya. Ini lah sikap ridha.

  1. Syukur

Sikap bersyukur Ketika menghadapi musibah, tidak terjadi di saat musibah. Karena ini berlawanan dengsn tabiat manusia. Akan tetapi Ketika direnungkan, seorang bisa bersyukur menghadapi musibah.

Ketika dia merenungkan bahwa musibah yang dia alami tidak lebih berat dari musibah yang telah terjadi.

Atau Ketika dia merenungkan bahwa musibah yang dia alami, hanya sementara kemudian hilang, maka pasti akan berhenti dengan kematian.

Contohnya seseorang mengalami kecelakaan motor, kemudian kakinya patah, maka ini musibah. Namum jiak merenung bahwa jika yang patah itu punggung, maka musibah itu lebih besar. Sehingga dia bersyukur atas musibah itu.

Diriwayatkan dari AL Baihaqi dalam syuabul iman dari syuraih AL Qadhi dia berkata:

“Ketika aku tertimpah musibah, aku memuji Allah empat kali atas musibah itu: aku memuji Allah karena tidak ditmpahkan musibah yang lebih besar dari itu, aku memuji Allah karena aku diberikan kesabaran atasnya, aku memuji Allah memberikan taufiq untuk beristirja’ dan memohon Kebaikan dengannya, dan aku memuji Allah karena tidak menimpakan musibah terhadap agama ku”.

Dengan keterang ini kita memahami empat sikap manusia terhadap musibah:

Pertama: Membenci dan marah, ini haran dan dosa besar.

Kedua: Sabar, dan ini wajib.

Ketiga: Ridha, ini mustajab, dianjurjkan.

Keempat: Syukur, dan ini adalah kedudukan yang paling tinggi.

Wallahul Musta’an

 

REFERENSI:

Di Tulis Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Di Ambil Dari : Majalah As- Sunnah Edisi 03 / Tahun XXIV / 1441 H Tahun 2020

Di Ringkas Oleh : Muqbil Gantha Putra Wijaya

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.