Tidaklah manusia dikaruniai suatu sifat -dari berbagai karakter manusia- yang lebih sempurna dari sabar. Di atas sifat ini pula akan tegak seluruh urusan agama ini. Aku mendengar guruku –yaitu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat:
لعَصرِ لإِنسَٰنَ لَفِي لَّا لَّذِينَ ااْ لُواْ لصَّٰلِحَٰتِ اصَوۡاْ لحَقِّ ااْ لصَّبرِ
Artinya: “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang tidak percaya dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar memperhatikan kebenaran dan nasehat menasehati agar tetap patuhi kesabaran ” [1]
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
… ا لصَّٰبِرُونَ اب
Artinya : “ Sesungguhnya Hanya orang-orangutan Yang Bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka Tanpa Batas ” [2]
Asy-Syaikh Rahimahullah mengatakan, “Amal shaleh termasuk iman, tetapi Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkannya secara khusus karena pentingnya amal sholeh. Demikian pula saling mengingatkan untuk berada di atas kebenaran adalah termasuk amal sholeh, tetapi Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkannya secara tersendiri karena begitu pentingnya hal itu. Selanjutnya, saling mengingatkan di atas kesabaran adalah termasuk upaya menasehati untuk kebenaran namun Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan khusus karena pentingnya. Hal itu menunjukkan, sesungguhnya pokok permasalahan ada pada sabar, barangsiapa tidak memiliki kesabaran maka dia tidak akan mampu dipercaya dengan benar, tidak pula mampu beramal shaleh, tidak juga mampu berdakwah di jalan Allah.”[3]
Maka sabar adalah lentera kehidupanmu, serta menemanimu ketika sedih dan susah. engkau telah berpindah dari rumahmu menuju rumah lain yang bebannya ada di pundakmu;
Suami adalah tanggung jawab yang membutuhkan kesabaran.
Rumah adalah tanggung jawab yang membutuhkan kesabaran.
Anak-anak adalah tanggung jawab yang membutuhkan kesabaran.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala menolong dan memberikan kesabaran, sehingga menjaga kepatuhan dan kepatuhan terhadap Allah Subhana Wata’ala dan Rasul-Nya. Jangan lupa keletihan dan melewatimu tanpa mengharapkan pahalanya dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Kemudian perlu diingat bahwa engkau membutuhkan kesabaran pada setiap tanggung jawab itu sendiri. Maka berhati-hatilah, sekali lagi berhati-hatilah! Hendaknya di atas mengatur tugas-tugas yang ada, tanggung jawab akan terus bertambah dipundakmu, hingga melebihi kemampuan yang ada, akhirnya engkau pun meneriaki diri sendiri dengan kebinasaan! [4]
maka harus menertibkan tugas-tugas tersebut dengan memperhatikan dua hal penting:
Pertama : melihatnya
Kedua : Membaginya
Adapun Yang Pertama Yaitu mengatur:
Sesungguhnya sebaik-baiknya penngaturan waktu termasuk perkara yang paling penting dan cara terbaik untuk mengefektifkan waktu-waktu yang ada. Diantara kelemahannya pengaturan waktu pada sebagian wanita seperti: Dia mengumpulkan pekerjaan-pekerjaan yang ada pada satu waktu: memasak makanan sambil memasak baju, melayani suami dan menjaga anak-anak!!
Makapun melihatnya lari ke sana kemari dalam kesulitan –sebagaimana dikatakan orang-orang-, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, makanan pun gosong, cucian ditinggalkan, anak-anak berteriak-teriak dan suami pun memanggil-manggil. Keadaan seperti ini jika dibebankan kepada orang yang paling pandai sekalipun –seperti kata pepatah- akan berpijarlah lahar dari kepalanya dan jika menimpakan orang yang sedikit kesabarannya akan terjadi gempa dan malapetaka.
Bagaimana pekerjaan-pekerjaan ini bisa bertumpuk??, jadilah pengatur waktumu sebaik-baiknya! Pertama, dahulukanlah hak suami, kemudian anak-anak, setelah itu kerjakanlah yang lainnya ketika waktu senggang. Sediakan waktu khusus untuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, tunaikanlah hak masing-masing kepada pemiliknya.
Hendaklah pengaturan itu berdasarkan skala prioritas, yakni disandarkan sesuai posisinya sebagai pemilik hak dalam rumah-tangga, maka suami terlebih dahulu, kemudian anak-anak, lalu rumah, diri sendiri kemudian sisanya untuk yang lain.
Adapun pembagian :
Ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sekaligus, jika ingin menyelesaikannya pasti akan menyebabkan terbengkalainya hak-hak yang terkait dengan suami, anak-anak, rumah atau yang lainnya.
Untuk yang seperti ini, kadang suatu saat Anda harus membagi pekerjaan tersebut menjadi beberapa mungkin dalam sehari, seminggu atau satu bulan. Janganlah karena tanpa tujuan menyibukkan dengan suatu pekerjaan pada satu waktu, yang dikemukakan oleh para suami para istri melalaikan terhadap mereka, ternyata mereka tidak memiliki keahliannya istri dalam mengatur waktu dan mengatur pekerjaan.
Jika hal itu telah memahami, maka sesungguhnya berbagai alasan para wanita seperti banyaknya anak, keterikatan dengan tugas-tugas tertentu, besarnya rumah dan alasan-alasan yang lain –sehingga dengan mereka melalaikan pelayanan kepada suaminya – hal itu dapat diterima!
Jika permasalahannya memang demikian, maka kita harus memilih waktu yang tepat untuk mengerjakannya, atau jika tidak, maka mengatur waktu dan membagi pekerjaan dapat menjadi solusi permasalahan, sehingga tidak memiliki suami untuk memenuhi seluruh haknya dengan sempurna, atau minimal jumlahnya.
Penting untuk djangkau!!
Termasuk bagian dari kesabaran –walaupun pahit- adalah sabar dalam menghadapi suami yang zhalim. kadang-kadang istri mendapat pertanyaan ini dengan berbagai macam bentuk seperti: pemuk hartaulan, pemeriksaan, merampas, tidak adil dalam pembagian waktu antara istri dan pemeriksaan lainnya. maka tidak ada jalan bagi dia kecuali menunggu, selama perkaranya tidak sampai pada tingkat tidak memberikan nafkah, dan kerusakannya tidak terlepas dari pernikahannya.
Memang, suatu keadaan, suatu keharusan seorang istri menerima, tidak ada yang terlantar tanpa pertolongan, Allah Subhanahu Wa’ala pasti akan membalas dan memenuhi masing-masing bentuk kelapangan rezeki-Nya.
Namun saya tujukan nasehatku kepada siapa saja yang mengalami perlakuan zhalim dari suaminya dengan berbagai macam bentuk, nasihati perilaku yang hendaklah dia lakukan!
Tidak asing lagi bahwa seorang muslim pasti diuji dengan orang-orang terdekatnya seperti ayah, anak, suami, atau istri. Demikian yang dialami oleh para Nabi, Rasul, serta pemimpin alam ini. Pada kisah Nabi Adam ‘alaihis salam dan anak-anak yang terdapat pelajaran, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan ayahnya terdapat hikmah, kemudian Nabi Nuh ‘alaihis salam dan anaknya terdapat nasehat, demikian pula Asiyah dan suaminya yaitu Fir’aun terdapat bukti yang nyata, serta pada kehidupan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan kaumnya terdapat pelajaran untuk bersiap diri dan hiburan atas pertanyaan yang menerpa.
Janganlah heran engkau dengan rusaknya keadaan orang terdekatmu, sesungguhnya memiliki penduahulu terbaik dari orang-orang yang terpilih. Tidak ada yang harus dilakukan kecuali apa yang telah mereka lakukan, yaitu hendaklah menunggu dan mengharapkan pahala, sebagaimana ucapan Nabi Musa ‘alaihis sallam ketika menjawab kaumnya saat menyampaikan pengaduan serta laporan ujian yang akan mereka hadapi dari Fir’aun dan tentaranya mengatakan,
الَ لِقَوۡمِهِ اْ للَّهِ اْۖ لأَرضَ لِلَّهِ ا ا لعَٰقِبَةُ لِلمُتَّقِينَ
Artinya: ” Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan kesabaran; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik kepada orang-orang yang bertakwa ” [5]
Bersabarlah atas cobaan dan kesalahan suami, sesungguhnya kesudahan yang didapat oleh orang-orang yang mengandalkan adalah berkat, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan ketika aku menasehati untuk itu, maka yang aku maksudkan adalah kesabaran yang diiringi dengan sikap lemah dan putus asa, tetapi yang aku tahu adalah kesabaran yang benar-benar membutuhkan kemurahan hati, kemauan yang keras, kesungguhan untuk memperbaiki serta upaya untuk memperbaiki perbaikan yang ada . Sebagaimana para Nabi ‘alaihis sallam, mereka menunggu masa yang akan datang dari kaumnya di satu sisi, namun mereka terlebih dahulu menyampaikan wahyu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala di sisi lain. Nabidemikianlah Ibrahim ‘alaihis Sallah, beliau berulang-ulang seruannya kepada ayah dengan tutur kata yang sangat baik dan panggilan yang mulia,” Wahai ayahanda, wahai ayahanda, … “ beliau menyukai hal itu hingga lima kali, namun tidak juga tertarik untuk tertarik pula luluh hati.
Demikian pula Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam, terus berdakwah kepada kaumnya dan mengulang-ulang seruan Beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam kepada pamannya Abu Thalib dengan berkata, “Wahai pamanku katakanlah Laa ilaha illAllah Subhanahu Wata’ala”, juga mengatakan seorang pemuda Yahudi, “Ayo, nak, katakanlah Laa ilaha illAllah Subhanahu Wata’ala”, lebih dari sekali. Ini semua menunjukkan semangat Beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam dalam menyediakan hidayahnya.
Demikian pula dirimu, hendaklah engkau bersungguh-sungguh-sungguh-sungguh-sungguh menghargai suamimu semaksimal mungkin, melalui berbagai cara. Maka janganlah lemah semangatmu jangan pula dirimu berputus asa …
Referensi:
Al-‘Utaibi Badr bin Ali bin Thami. 2014. Menjadi Istri Sejati. Jakarta: Cahaya Tauhid Press
Diringkas oleh:
Sesi Winarni (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur)
[1] QS. Al-Ashr: 1-3
[2] QS. Az-Zumar:10
[3] Pernyataan Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah yang didengar langsung oleh penulis.
[4] Semisal ucapan, “Aduh, mati aku”, ed.
[5] QS. Al-A’raf: 127
BACA JUGA:
Leave a Reply