Problematika Rumah Tangga (Bagian 3)

problematika rumah tangga 3

Problematika Rumah Tangga – Berikut ini adalah artikel pembahasan lanjutan dari problematika rumah tangga bagian 2.

Istri Berdoa Agar Suaminya Mati

Seorang istri yang sering mendapatkan perlakuan kurang baik dari sang suami tidak jarang membalasnya dengan mes doakan keburukan bahkan kematian untuk suaminya Bila Allahﷻ mengabulkan doa sang istri, semua pihak akan rugi les masuk sang istri itu sendiri. Oleh sebab itu sang istri harus ber hati-hati bila berbicara dan sebaiknya sang istri memohon kebaikan dan hidayah untuk suaminya agar berubah menjadi baik. Sementara sang suami hendaknya mengerti, bahwa menelantarkan keluarga merupakan perbuatan aniaya, dan do’a orang teraniaya adalah mustajab.

Allah ﷻ telah mengagungkan hak suami atas istri, Nabiﷺ menyatakan dalam sabdanya,

فَإِنِّي لَوْ أَمَرْتُ شَيْئًا أَنْ يَسْجُدَ لِشَيْءٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّي حَقٌّ زَوْجِهَا، حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعَهُ.

Artinya: “Sesungguhnya andaikan aku boleh menyuruh manusia bersujud kepada yang lainnya, niscaya aku suruh wanita bersujud kepada suaminya. Dan demi dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidaklah wanita dianggap telah menunaikan hak Tuhan-nya sebelum menunaikan hak suaminya, hingga andaikan dia minta kepadanya untuk melayani kebutuhan batinnya, sementara ia sedang di atas kendaraannya, maka ia tidak boleh menolaknya.[1]

Demikianlah hak suami atas istri namun demikian seorang suami tidak boleh menelantarkan istrinya yang berakibat sang istri berdoa kematian untuk suaminya. Sang istripun harus berhati-hati bisa jadi sang istri akan mendapatkan kehidupan tenteram dan bahagia di sisinya, seandainya tidak mendoakannya kematian. Dan doa seperti itu tidak menyelesaikan masalah, tapi bila terkabul bisa jadi akan semakin menambah panjang rangkaian penderitaan, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَ لَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَ لَا تَدْعُوْا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ.

Artinya; “Janganlah kalian mendoakan keburukan atas diri kalian. Jangan pula mendoakan keburukan atas anak-anak kalian. Dan jangan pula mendoakan keburukan atas harta kalian. Jangan sampai kalian menepati satu waktu di mana Allah tidak menolak satu doa pun. Hingga karenanya doa kalian tersebut dikabulkan oleh-Nya, “[2]

Wahai para istri, hiasilah diri anda dengan kesabaran, jangan marah, sebab kalau anda marah anda akan merugi dua kali yaitu rugi untuk diri sendiri dengan kehilangan pahala dan merugikan orang lain, merugikan orang lain akan menda patkan dosa. Percayalah bahwa segala kesulitan pasti akan ada jalan keluarnya, dan penderitaan seberat apapun dalam hidup tidak berlangsung seterusnya.

Sungguh Amat Tega

Ada seorang wanita bercerita, bahwa suaminya sangat penyayang dan perhatian kepada orang-orang miskin, tetapi mengidap berbagai macam penyakit dan membutuhkan pelayanan. Sang suami menginginkan istrinya tidur bersamanya, tetapi dia menolak dan enggan melayaninya, dengan beralasan harus mengurus anak-anak dan mencari nafkah untuk keluarganya.

Selama suaminya sakit tidak ada yang mencarikan nafkah untuk keluarganya, sehingga sang suami sendirian di rumah. Sementara untuk pengobatannya membutuhkan biaya tidak sedikit, terkadang sang istri pun bingung, mana yang harus didahulukan antara memenuhi kebutuhan nafkah rumah tangga atau melayani suami, sedang anak-anak masih belum mampu membantu. Jangankan bekerja untuk membantu ibunya mencari nafkah, membantu melayani bapaknya yang sakit saja belum bisa karena usia yang masih kecil.

Keinginan untuk meminta khuluk atau gugat cerai kadang terbesit dalam pikirannya, namun apakah mungkin demikian itu dilakukan sementara suaminya sedang sakit parah? Bagaimana dengan perasaan suami bila perpisahan itu benar-benar terjadi? Bukankah sikap itu semakin memperparah penyakit suaminya, melukai hatinya, mencederai kasih sayangnya yang sekian tahun dibina dan dicurahkan kepadanya?

Kok begitu tega seorang istri meninggalkan suami yang sedang sakit dan jatuh miskin, sementara dia satu-satunya orang yang paling diharapkan menjadi pendamping hidup, terutama di saat sedang susah.

Di mana sebuah kesetiaan, suka dan duka yang selama ini diikrarkan akan ditanggung bersama? Manakah prinsip hidup “berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing?” Apakah separah itu kerasnya hati dan perasaan sang istri? Ketika sedang jaya dan kuat suami disayang namun ketika sudah tidak berdaya dan sakit-sakitan ditendang, sedangkan Rasulullah ﷺ bersabda,

حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ لَوْ كَانَتْ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحِسَتْهَا أَوْ انْتَثَرَ مِنْخَرَاهُ صَدِيدًا أَوْ دَماً ثُمَّ ابْتَلَعَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ.

Artinya: “Hak suami atas istrinya, bila suami ada borok lalu ia menjilatinya atau hidungnya mengalirkan nanah atau darah kemudian ia menjilatinya, maka ia belum menunaikan haknya. “[3]

Tindakan wanita yang tidak mau melayani suaminya yang sedang sakit merupakan perbuatan tercela dan jauh dari sikap manusiawi. Seharusnya seorang istri memenuhi permintaan dan ajakannya, apalagi suaminya memiliki sifat-sifat terpuji dan patut disyukuri, sehingga akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah ditanya,

أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: زَوْجَهَا.

Artinya: “Siapakah orang yang paling berhak diperlakukan dengan baik oleh seorang wanita. Beliau menjawab, ‘Suaminya, [4]

 Suaminya lebih utama dari pada anak-anaknya, karena hak suami atas diri istrinya lebih besar dari pada hak anak- anaknya. Maka seorang istri harus bertaubat kepada Allahﷻ dan kembali kepada kesadaran dan menemani suaminya, semoga Allahﷻ meridhainya.

Adapun kegiatan sang istri mencari nafkah merupakan perbuatan terpuji dalam rangka untuk membantu suaminya yang sedang sakit, semoga Allahﷻ memberi jalan keluar dari seluruh kesulitan dan diberikan kepadanya rezeki berkah dan halal tanpa disangka-sangka.

Istri Rajin Ibadah Mengidap HIV

Ada salah seorang dokter bercerita, “Pernah saya mendapati seorang pasien wanita yang berprofesi sebagai pengajar, terbukti secara positif mengidap AIDS karena terjangkit virus HIV. Hal ini sungguh sangat mengagetkan semua anggota keluarga, terutama sang suami tercinta, karena selama ini tidak melihat dari sang istri tanda-tanda aneh dan kejanggalan dalam perilakunya, bahkan sang istri tampak secara dzahir seorang wanita shalihah dan tidak pernah melakukan aktifitas ganjil, apalagi mengkonsumsi barang haram seperti narkoba.”

Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata tertular dari mantan suami pertamanya, yang seorang peminum, perokok dan pecandu narkoba dan pengidap AIDS walaupun pernikahan mereka hanya berlangsung selama satu bulan.

Sungguh sangat berat cobaan dan nasib yang harus dihadapi wanita ini, dikala dia mendapatkan seorang suami yang saleh tetapi Sang Khalik memutuskan lain, wanita tersebut mengidap AIDS, yang bukan karena ulah dan perilakunya yang menyimpang tetapi tertular oleh mantan suaminya yang mengidap penyakit AIDS.

Adapun yang dialami wanita tersebut kembalikan semuanya kepada Allah ﷻ. Dan dia harus yakin bahwa di balik kejadian dan ujian ini terdapat hikmah besar untuk kebaikan hidupnya, baik di dunia ataupun di akhirat. Karena termasuk kesempurnaan iman seseorang beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Allah ﷻ . Rasulullahﷺ bersabda,

وَلَوْ كَانَ لَكَ جَبَلُ أُحُدٍ أَوْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَأَنَّكَ إِنْ مِتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ النَّارَ.

Artinya: “Seandainya engkau memiliki emas segunung uhud atau seperti gunung Uhud yang engkau belanjakan di jalan Allah, maka ia tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika engkau mati atas (aqidah) selain ini maka engkau masuk Neraka, “[5]

Terutama bagi sang suami, harus lebih tabah dan tegar untuk membangkitkan gairah hidup sang istri. Ia harus terus membantu agar semangat hidup sang istri tidak redup, sebab semua itu bukan akibat kesalahan istrinya, bahkan murni ketetapan takdir Allahﷻ. Namun kalau ingin mencari-cari kekurangan, mungkin bisa ditemukan pada pihak istri, karena kurang teliti dalam memilih pasangan hidup, sementara Rasul berpesan kepada wanita yang ingin menikah, agama dan akhlak harus dijadikan kriteria utama.

Jika agama dan akhlak menjadi ukuran utama, InsyaAllah resiko keburukan bisa ditekan sekecil mungkin, apalagi pemicu virus HIV mayoritas timbul dari seks bebas dan konsumsi narkoba, yang semuanya haram dalam pandangan agama Islam, Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا ظَهَرَ فِي قَوْمِ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلَّا أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ جَلَا وَعَلَا.

Artinya: “Tidaklah perzinaan dan praktek riba merajalela di suatu kaum melainkan mereka telah menghalalkan untuk diri mereka adzab Allah Jalla wa ‘Ala. “[6]

Jangan putus atas untuk mencari obat, karena setiap penyakit pasti Allahﷻ menurunkan obatnya, berusahalah terus dan bertawakal dan memohon kepada Allah ﷻ kesembuhan. Dan ketahuilah, apabila kedua suami dan istri bersabar atas musibah dan penyakit tersebut, akan mendapatkan balasan berlipat ganda di akhirat kelak, berdasarkan sabda Nabi ﷺ

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمْ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمْ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Artinya: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, dan kegundahan, sampai duri yang mengenainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dengan sebab itu”[7]

Wahai sang suami yang budiman, mintalah kepada Allahﷻ dengan penuh kesungguhan, dan berdoalah kepada-Nya agar Allahﷻ memberikan kekuatan kepada istrimu untuk menghadapi musibah ini, dan memberi perlindungan serta kesembuhan kepadanya. Merengeklah anda kepada Allahﷻ dalam berdoa dan pilihlah saat-saat diperkenankan doa, seperti ketika sujud, sehabis shalat Ashar pada Hari Jum’at, dan akhir malam, terutama saat tersisa sepertiga terakhir, serta pada umrah dan haji sambil minum air zamzam.

Mintalah kepada-Nya agar diberikan kesembuhan dan kekuatan batin. Allahﷻ adalah Dzat Maha Dekat dan Maha Mengabulkan doa, akan mengabulkan doa siapapun yang sedang mengalami kesusahan, apabila dia bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya dan dia akan menyingkirkan segala keburukan. Semoga Allahﷻ memberimu taufik dan perlindungan serta petunjuk kepada istiqamah, memperbaiki keadaanmu dan memperbaiki orang lain dengan tanganmu. Dan semoga Allah menyembuhkan istrimu dan semua orang-orang sakit dari kaum Muslimin.

Disharmonika Hubungan Intim

Masalah hubungan intim suami istri menjadi penentu utama romantika pasutri. Dan menjadi rubrik menarik setiap media cetak maupun elektronik. Islam memperhatikan masalah ini.

Ada kasus yang menimpa seorang wanita yang telah menikah belasan tahun dan dikaruniai empat orang anak. Dia dan suaminya mengalami ketidak cocokan dalam masalah hubungan intim. Suaminya selalu merindukan istrinya, ingin bercumbu dan ingin menggaulinya sementara sang istri tidak mempunyai keinginan.

Sang istri sebenarnya ingin sekali mencapai kenikmatan dalam hubungan suami istri tetapi selalu gagal dan berujung pada kebosanan. Awalnya sang suami sangat mencintainya, tetapi berawal dari kasus ranjang yang kurang hangat dan masalah lainya, muncullah berbagai masalah dan problem dalam rumah tangga. Sang suami berubah, sering marah dan kasar.

Banyak sekali kasus serupa yang menimpa PASUTRI, bila hal itu dibiarkan akan mengancam keutuhan rumah tangganya. Kebutuhan seks tidak bisa dijauhkan dari urusan rumah tangga, karena hubungan intim antara suami dengan istri akan bisa menghilangkan pikiran-pikiran negatif. Dan bila tidak terpenuhi akan mengancam keharmonisan serta keutuhan rumah tangga.

Bila istri mengalami masalah dalam hubungan seksual, hendaklah suami membantu mencari solusi untuk istrinya agar kembali bergairah, Nabiﷺ bersabda,

إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا ثُمَّ إِذَا قَضَى حَاجَتَهُ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيْ حَاجَتَهَا فَلَا يُعْجِلْهَا حَتَّى تَقْضِيْ حَاجَتَهَا.

Artinya: “Jika di antara kalian bersenggama dengan istrinya hendaklah bersikap jujur. Kemudian bila telah orgasme sementara istri belum orgasme, maka hendaknya menahan orgasme sampai istri telah menyelesaikannya. “[8]

Manfaat hubungan hubungan seks antara suami istri bila dilakukan secara rutin:

1. Untuk memelihara dan melestarikan keturunan sesuai dengan jumlah yang dikehendaki Allahﷻ untuk hidup di alam semesta ini, karena kehadiran manusia ke dunia murni kehendak Allahﷻ.

2. Mengeluarkan sperma, karena bila tertahan dan mengendap secara terus-menerus akan membahayakan kesehatan tubuh secara keseluruhan.

3. Menyalurkan kebutuhan biologis, meraih kelezatan, dan merasakan kenikmatan. Inilah kenikmatan satu-satunya yang nanti masih bertahan di surga, karena di sana tidak terdapat keturunan dan tidak mimpi keluar air sperma akibat pengendapan.

Dengan mengetauhi manfaat hubungan seksual antara suami dan istri diharapkan masing-masing berusaha keras un tuk mengatasinya. Sang suami jangan hanya marah-marah dan berlaku kasar, sementara sang istri jangan menyerah. Berkonsultasi kepada dokter mungkin bisa membantu mencari jalan keluar dan jangan lupa selalu berdoa kepada Allahﷻ.

Saatnya Istri Kangen Suami

Ada seorang wanita mempunyai problem sangat berat Ia memiliki hasrat hubungan seks yang sangat tinggi. Keingin an untuk selalu hidup romantis menggebu-gebu, dan hari-harinya sering hanyut dalam pembicaraan seputar soal seks. Hingga andaikata suaminya selalu mengajaknya berhubungan intim setiap hari, maka tidak akan pernah menolaknya, dan itulah yang diharapkan. Dan bila suaminya tidak ada di rumah, wanita tersebut melakukan masturbasi.

Naluri seks diciptakan Allahﷻ dalam diri setiap manusia. Bahkan setiap makhluk hidup dibekali hasrat dan naluri tersebut untuk suatu tujuan utama, yaitu melahirkan keturunan dan memakmurkan bumi Allahﷻ, supaya manusia dapat menunaikan tugasnya menjadi khalifah di muka bumi. Karena dengan menyalurkan naluri seksual secara benar dan pada tempatnya, akan memberikan manfaat besar dan hasil yang memuaskan, karena saking pentingnya pemenuhan kebutuhan biologis maka sanksi penolakan hubungan intimpun berat.

Allah ﷻ menjadikan kelezatan ketika hubungan intim, merupakan karunia yang besar melebihi kenikmatan dunia manapun. Dan semoga Allahﷻ menambah kenikmatan pada kita dalam hubungan intim berupa nikmat puncak orgasme, yang dengannya diperoleh kepuasan, ketenteraman dan kedamaian hidup, sebagaimana firman Allahﷻ,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya anda cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).

Seks sebenarnya bukan tujuan inti, bahkan hanya sarana untuk membantu terwujudnya harapan mulia dan tujuan yang besar. Bahkan aktifitas seks tidak memiliki arti apa-apa bila tujuan utama dan harapan mulia tidak tercapai. Yaitu penyatuan batin, ketenangan rohani, kebahagiaan hidup dan ketenteraman hati dan pikiran serta kesehatan jasmani. Bahkan bila semua tujuan tersebut tidak terwujud, maka nikmat seksual akan berbalik menjadi bencana, seperti kondisi yang dialami wanita di atas.

Jadi, seks dalam kehidupan pasutri, tidak bisa dipisahkan dari kasih sayang yang mengikat antara keduanya. Kalau kehidupan pasutri berubah hanya sekedar hubungan seks semata, di mana laki-laki terus-terusan menyetubuhi istrinya sepanjang hari, maka yang terjadi bukan menambah rasa cinta dan kasih sayang, tetapi kebosanan dan kelelahan.

Sangat tercela bila seorang lelaki yang beristri atau lebih buruk lagi seorang wanita yang telah bersuami melakukan masturbasi ketika melihat lawan jenis yang memikat hati.

Walaupun masturbasi telah diringankan hukumnya oleh sebagian ulama bagi siapa yang sedang dikalahkan syahwat dan khawatir melakukan zina, namun tidak ada seorang ulama pun yang menganggap rukhsah bagi siapa yang sengaja menghadirkan syahwat sebagai akibat dari imajinasi-imajinasi kotor yang dihembuskan oleh setan, apalagi telah bersuami atau beristri. Sehingga dengan alasan apapun, masturbasi dan onani, berhukum haram, berdasarkan firman Allahﷻ.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ۞ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ الْعَادُونَ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ۞ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَبِكَ هُمُ العَادُوْنَ

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mukminun: 5-7).

Hubungan seksual dengan selain istri atau budak, dianggap sikap yang melampaui batas begitu pula masturbasi menurut ayat di atas. Untuk menghilangkan kebiasan buruk tersebut isilah waktu anda dengan hal-hal yang bermanfaat baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat.

Hidupkan pikiran dengan membaca buku-buku dan majalah yang bermanfaat, dan perhatikanlah keadaan umatmu yang tengah mengalami kehancuran ini. Yaitu umat Islam yang sedang tenggelam dalam kemungkaran, berada dalam kehancuran dan terjatuh dalam kemaksiatan, karena menyimpang dari agamanya dan mengalami ujian dalam hidupnya.

Diringkas oleh: Nurul Latifah

Dari “ Dr. Zaenal Abidin, Lc., M.M., Problem Solving Rumah Tangga,( Problematika Rumah Tangga, bagian 3), PT Rumah Media Imam Bonjol”.


[1] HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 4171

[2] HR. Imam Muslim, no. 3009

[3] HR. Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no.4152

[4] HR. Imam al-Haitsami dalam Majma az-Zawaid, 4/566, no. 7645.

[5] HR. Imam Ahmad dalam sunannya, no. 21546

[6] HR. Imam Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 4393.

[7] HR. Imam Bukhari, no. 5641

[8] Diriwayatkan Imam Abdurrazaq dalam Mushanafnya, Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 4185 dan 4186

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.