Pengaruh Niat Dalam Kehidupan

PENGARUH NIAT DALAM KEHIDUPAN

 

Pengaruh Niat Dalam Kehidupan

Bismillahirrahmanirrahim, Sesungguhnya pengaruh niat di dalam kehidupan hamba tubuh, bahkan yang menentukan lurusnya pemahaman dan pemikiran. Oleh karena itu, selayaknya seorang hamba bersungguh-sungguh meluruskan niatnya dengan memohon kepada Allah agar menguatkan hatinya di atas agama ini. Beberapa pengaruh niat terhadap kehidupan hamba, yaitu sebagai berikut.

  1. PENGARUH NIAT TERHADAP KESELAMATAN HATI

Niat atau keinginan memiliki pengaruh kuat untuk kebeningan hati manusia karena hati memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan ilmu dan kekuatan keinginan. Ibnu Qayyim berkata: “Ketika hati mempunyai dua kekuatan, yaitu kekuatan ilmu dan tamyiz (membedakan)dan kekuatan keinginan dan cinta. Kesempurnaan hati dan kebaikannya adalah dengan menggunakan dua kekuatan tersebut untuk perkara yang bermanfaat baginya. Kekuatan ilmu adalah untuk mencari dan mengetahui kebenaran serta membedakannya dengan kebatilan. Adapun kekuatan keinginan dan cinta adalah berkeinginan mencari kebenaran, mencintai, dan mengutamakannya di atas kebatilan. Seseorang yang tidak mengetahui kebenaran akan tersesat dan seseorang yang mengetahui kebenaran, namun lebih mengutamakan dan menginginkan kebatilan maka ia dimurkai. Sebaliknya, seseorang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya adalah orang yang diberikan kenikmatan.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

أَصْدَقُ الأَسْمَاءِ هَمَّامٍ وَحَارِث

Artinya: “Sebenar-benarnya nama adalah Hammam dan Harits”. (HR. Ibnu Wahb)

Harits adalah seseorang yang berusaha dan beramal, sedangkan Hammam adalah seseorang yang memiliki keinginan, dan jiwa bergerak dengan keinginan dan gerakan keinginannya termasuk keharusan jiwa, sedangkan keinginan berkonsekuensi kepada yang diinginkan dan menggambarkan serta membedakannya. Jika jiwa itu tidak menggambarkan kebenaran, tidak mencari dan menginginkannya, pasti ia akan menggambarkan kebatilan, mencari, dan menginginkannya, Niat (keinginan) yang baik akan memunculkan perbuatan-perbuatan yang baik sehingga kesehatan hatinya akan selalu terjaga. Sebaliknya, keinginan yang buruk akan menimbulkan perbuatan buruk yang dapat mengotori kebeningan hatinya.

  1. PENGARUH NIAT TERHADAP KEIKHLASAN

Keikhlasan adalah konsekuensi dari men-ta’yin niat”, dan syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas dan sesuai dengan contoh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam . Sebagian ulama berkata: “Ikhlas adalah perkara yang melebihi niat, di mana keikhlasan tidak mungkin tercapai dengan tanpa niat. Namun, niat dapat tercapai dengan tanpa ikhlas, dan perhatian para fuqaha’ tertuju kepada niat dan hukum-hukum yang berlaku padanya. Adapun ikhlas maka urusannya diserahkan kepada Allah subhanallahu wa ta’ala (karena ia adalah urusan hati). Oleh karena itu, mereka membenarkan tidak wajibnya idhafah kepada Allah subhanallahu wa ta’ala di dalam seluruh ibadah karena ibadah itu pada asalnya adalah ditujukan kepada Allah subhanallahu wa ta’ala sehingga tidak perlu meniatkan “lillahi ta ‘ala, Seseorang yang berharap agar semua amalnya ikhlas hendaklah ia meluruskan niatnya dari berbagai perkara yang mengotorinya, dan meyakini bahwa yang dapat memberikan manfaat dan mudharat, pahala dan siksa hanyalah Allah semata. Karena kebeningan hati dapat memancarkan cahaya harapan kepada keridhaan Allah yang menyuburkan tanah niat sehingga dapat menumbuhkan berbagai macam pohon keikhlasan, lalu pohon itu mengeluarkan buah amal yang sangat ranum dan manis bagi orang yang memakannya.

  1. PENGARUH NIAT TERHADAP KEBESARAN JIWA

Sesungguhnya jiwa yang besar adalah perangai yang indah, akhlak yang terpuji dan adab yang tinggi, yang dirindukan oleh hati yang mulia, dan jiwa yang besar berlomba-lomba untuk meraihnya. Karena tingginya kedudukan manusia sesuai dengan kekuatan kemauan dan kemuliaan niat, maka jiwa yang besar tidak akan rela dengan sesuatu yang rendah dan hina. Adapun seseorang yang berjiwa kerdil hanya dapat berenang disekitar air yang dangkal. Dan tentunya yang diinginkan oleh seseorang yang memiliki kemauan tinggi adalah meraih perkara yang besar dan mulia berupa ilmu dan amal yang berasal dari wahyu Allah rabbul’ alamin.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

احْرِص عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

Artinya: “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan jangan malas.” (HR. Muslim dalam shahihnya)

Ketika kemuliaan akhirat adalah kemuliaan yang paling agung maka menginginkannya adalah keinginan yang paling agung. Hal itulah yang menjadi keinginan terbesar kaum mukminin yang mempunyai jiwa yang besar. Adapun dunia, bagaimanapun kemuliaannya, bagi mereka hanya kesenangan yang menipu dan harganya murah dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dikatakan kepada Al-‘Attabi: “Si fulan sangat tinggi cita-citanya.” Beliau berkata: “Kalau begitu tidak ada tujuan (yang tertinggi) selain surga.”

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata: “Janganlah engkau mengeluarkan kesungguhan dirimu, kecuali kepada apa yang lebih tinggi, yaitu di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, menyeru kepada kebenaran, menjauhi keharaman, dan mengangkat kehinaan yang tidak diwajibkan oleh penciptamu dan menolong orang yang dizalimi. Adapun seseorang yang mengerahkan kesungguhannya untuk mencari dunia seperti seseorang yang menjual permata yang dibayar dengan kerikil.”

Imam Asy-Syaukani Rahimahullah setelah menjelaskan pentingnya semangat yang tinggi dan menerangkan keutamaannya, beliau berkata: “Apabila demikian keadaaan semangat mereka dalam urusan dunia yang cepat binasa, mengapa semangat itu tidak ditujukan untuk meraih yang lebih mulia dari itu, lebih agung kedudukannya, lebih banyak manfaatnya, dan lebih sempurna faedahnya? Yaitu urusan agama yang paling tinggi kedudukannya adalah ilmu. Ia lebih utama dari segala yang utama, paling sempurna untuk mencapai maksud diinginkan, dan ia adalah kebaikan akhirat.” yang Kemauan keras dan cita-cita seperti ini akan menimbulkan berbagai macam kebaikan dan amalan shalih dan itu semua didorong oleh niat yang kuat dan tekad yang bulat. Oleh karena itu, Islam menganjurkannya, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافَهَا وَيَكْرَهُ سِفْسَافَهَا

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai perkara-perkara yang tinggi dan mulia, dan membenci perkara-perkara yang rendah dan hina. (HR. Ath-Thabrani)

Rasulullah menyebutkan orang yang dibenci oleh Allah, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٌّ جَوَّاطٍ سَخَّابِ بِالْأَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ حِمَارِ بِالنَّهَارِ عَالِمِ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلِ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ

Artinya: Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang berakhlak buruk dan pemarah, sombong, suka berteriak-teriak (seperti) di pasar, bangkai di malam hari, dan keledai di siang hari, berilmu tentang dunia dan bodoh tentang akhirat. (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam tersebut menunjukkan akibat dari kerdilnya jiwa yang berasal dari rendahnya kemauan dan cita-cita yang muncul dari lemahnya niat dan tekad untuk mendapatkan ridha Allah dan cinta-Nya. Oleh karena itu, ia lebih menyukai sesuatu yang rendah berupa akhlak yang buruk dan malas untuk beribadah sehingga ia menjadi bangkai di malam hari yang tidak mempunyai keinginan untuk beribadah, menjadi keledai di siang hari yang hanya bisa memuaskan hawa nafsu dan syahwatnya, dan memilih menguasai ilmu-ilmu dunia daripada ilmu- ilmu agama. Bahkan ironisnya, ia lebih berbangga apabila dapat bersekolah di negara-negara kafir untuk menimba ilmu dunia dan merasa hina apabila menimba ilmu agama di pesantren-pesantren. Islam mendidik manusia untuk mempunyai keinginan yang mulia. Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk mencari rezeki yang halal, yang dapat memelihara kehormatannya dan melarang meminta-minta karena dapat merusak harkat dan derajat seorang hamba. Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, bahkan membolehkan tayamum ketika tidak ada air dan tidak mewajibkan menunggu pemberian air dari orang lain.

Cobalah engkau perhatikan sabda Nabi berikut ini:

إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ الله، فَخَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ، وَأَمَّا التَّناوُبُ فإنَّما هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِذَا قَالَ هَا، ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap, maka apabila seseorang bersin lalu memuji Allah, maka setiap muslim yang mendengarnya wajib mentasymitnya (mengucapkan Yarhamukallah). Adapun menguap adalah berasal dari setan, maka hendaklah ia menahan semampunya (karena) apabila ia mengeluarkan bunyi “haa” setan akan tertawa kepadanya. (HR. Al- Bukhari dalam shahihnya)

Bersin yang tidak berasal dari flu adalah gerakan otot yang membangunkan semangat dan amal, sedangkan semangat dan amal berasal dari kemauan jiwa yang kuat maka Allah pun mencintainya. Beda halnya dengan menguap, ia adalah fenomena kemalasan, kelemahan, kecenderungan untuk berleha-leha dan menjadikan jiwa berat untuk melakukan pekerjaan. Ini semua adalah bagian dari rendahnya kemauan dan semangat yang berasal dari setan.

oleh karena itu, para ulama telah menasihati kita agar mempunyai kemauan yang keras dan cita-cita yang tinggi. umar bin Khaththab berkata: Janganlah kamu mempunyai kemauan yang lenmah, karena aku melihat tidak ada yang malas dari sesuatu yang mulia, kecuali orang yang lemah kemauan,”

Ali bin Abi Thalibs bersyair:

Apabila engkau haus kepada bantuan manusia

Cukuplah bagimu qana’ah yang mengenyangkanmu

Jadilah lelaki yang kakinya berada di bumi

Namun kemauan kerasnya berada di langit.

Ibrahim Thauqan bersya’ir:

Tahanlah air matamu karena tak bermanfaat

Tangisanmu tidak juga teriakanmu

Bangkitlah dan jangan mengadukan zaman

Orang yang suka mengadu adalah orang yang mnalas

Titilah jalan dengan kemauan kerasmu

Jangan kau katakan, “Bagaimana jalannya?”

Tak akan tersesat orang yang berusaha

Karena hikmahnya adalah dalil

Tidak, sekali-kali tidak akan merugi

Orang yang mempunyai maksud yang mulia?

  1. PENGARUH NIAT TERHADAP LURUSNYA PEMAHAMAN

Sesungguhnya niat sangat berpengaruh terhadap lurus dan tidaknya pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an dan hadits. Niat yang baik untuk mencari kebenaran akan menyampaikan kepada lurusnya pemahaman. Sebaliknya, niat yang buruk dalam rangka membela hawa nafsunya hanya akan membimbingnya kepada pemahaman yang menyimpang. Bahkan penyimpangan yang paling berat adalah yang berasal dari niat yang tidak benar dan pelakunya sulit untuk kembali kepada kebenaran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an, beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah inginkan, tetapi men-ta’wil ayat untuk membantah lawannya yang ber-hujjah dengan ayat tersebut. Mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (mengubah-ubah Al-Qur’an) sehingga di antara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf. Mereka berkata: “Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga. Berbeda apabila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.

Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua hal tersebut berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah, bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut. Jika tidak demikian, bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al-Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan? Perhatikanlah! Niat yang rusak menjerumuskan kepada penafsiran yang batil dan menjadikannya membuat kaidah yang rusak dengan cara membolehkan mengadakan pendapat yang ketiga apabila para shahabat berselisih menjadi dua pendapat. Sebagian besar penyimpangan dalam pemahaman dan penafsiran ayat atau hadits adalah berasal dari niat yang rusak, yang menjadikannya berani berkata dengan tanpa ilmu.

Referensi:

Niat penentu amal, pengaruh Niat dalam kehidupan, Abu Yahya badru salam,Lc. Naashirussunnah, November 2012/Muharram 1434H

Diringkas oleh: Rosa Aulia (pengabdian DQH)

Baca juga artikel:

Kunci Dicintai Allah

Maksiat Yang Merusak Iman

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.