PAJAK KONTEMPORER DALAM ISLAM

PAJAK

 

PAJAK KONTEMPORER DALAM ISLAM-Indonesia adalah salah satu negara yang menduduki jumlah populasi penganut agama islam terbesar di dunia, di Indonesia sendiri bukan negara islam yang hukumnya berdasarkan pada hukum-hukum islam. Di Indonesia masih banyak juga mayoritas agama lain atau non muslim yang tersebar di seluruh Indonesia, yang menjadikan Indonesia terkenal dengan perbedaannya tersebut, hal ini tidak terlepas dengan aturan dan hukumnya juga baik dari segi agama dan dari segi pemerintahan.  Pada kesempatan kali ini maka akan di bahas mengenai pajak yang mana kata pajak sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terutama umat muslim yang di wajibkan untuk membayar pajak, namun bagaimanakah dalam pandangan islam dengan pajak yang di bebankan untuk umat muslim juga ?

Pajak adalah iuran wajib setiap warga negara ( muslim / non muslim ) kepada negara berdasarkan undang-undang untuk membiayai negara. Pajak dapat berbentuk ( pajak penghasilan, pajak penjualan, pajak bumi dan bangungan, pajak barang masuk/import, dan lainnya. Pajak jenis ini telah dihapuskan Islam, akan tetapi kenyataannya yang dihadapi hampir seluruh negara Islam menerapkan pajak jenis ini untuk membiayai kebutuhan negara yang semakin bermacam-macam. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar di Indonesia, namun muncul tentang perbedaan pendapat mengenai halal-haramnya pajak tersebut, dikarenakan Indonesia yang mayoritas umat muslim jadi mengingikan hukum islam di Indonesia ditegakkan yaitu bahwa hukum pajak adalah haram. Namun ini hanya sebagaian orang yang menganggap pajak haram dengan dalih selagi pajak tersebut tidak di pungut dengan cara yang dzalim atau tidak sesuai syariat.

Dalam Bahasa arab, pajak di kenal dengan istilah Al-Usyr yang artinya pungutan yang ditarik dari rakyat oleh penarik pajak, atau istilah pajak juga dikenal dengan nama Al-Kharaj yang artinya pungutan namun lebih dikhususkan untuk tanah. Sedangkan menurut KBBI, pajak adalah pungutan wajib yang biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan sebagainya.

Para ulam fikh telah membahas tentang hukum menarik pajak selain yang telah ditetapkan sebelumnya, diantara mereka ada yang membolekan bersyarat dan ada pula yang mengharamkannya. Dan tidak ada yang membolehkan mutlak tanpa syarat karena diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Khalid bin Walid radhiyallahu anhu yang melemparkan batu dengan kencang kepada wanita yang dirajam karena berzina,

مَهْلاًيَا خَالِدُ , فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوبَةً لَوْ تَابَهَا صَا حِبُ مَكسٍ لَغُفِرَلَهُ

Artinya:

“Sabar wahai khalid! demi Allah, sungguh wanita itu telah bertaubat, kalau penarik mucus (pajak) bertaubat seperti dia, niscaya diampuni dosanya”. (Shahih, HR. Muslim (3208))

Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi,

لاَيَدْحُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Artinya:

“Tidak masuk surga para penarik pajak” (HR. Abu Dawud dan Ahmad. Hadis ini di dhaifkan oleh Al Albani dan dinyatakan hasan li ghairihi oleh Arnauth).

  • Pendapat yang mengharamkan

Di antara ulama yang mengharamkan negara menarik pajak adalah Al Mawardi dan Abu Ya’la.

 

Dalil pendapat yang mengharamkan, firman Allah;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَتَاْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَا رَةً عَنْ تَرَا ضٍ مِنْكُمْ

Artinya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling  memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS. An-Nisaa : 29).

Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak. Dan mucus telah dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

  • Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan dari harta. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan genting, saat akan berperang tidak pernah menarik pajak, namun beliau lebih memilih untuk berhutang kepada sahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan untuk menghadang musuh.
  • Dalil selanjutya adalah saad zariah (hukum larangan atas suatu perbuatan). Andai ini di buka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam.
  • Pajak tidak pernah di terapkan oleh para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi penguasa /khalifah di masa keemasan islam maka menarik pajak adalah suatu kebijakan yang tidak di contohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Ayat dan hadis yang mengharamkan mengambil harta orang lain dengan tanpa hak tidak menafikan adanya kewajiban dalam harta terhadap kerabat dan fakir miskin. Dan pajak yang ditarik atas kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu.

Hadis-hadis yang mengharamkan mucus yang zalim. Adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kezaliman.

Adapun dalil bahwa Nabi hanya berhutang dan tidak menarik pajak, itu karena mungkin jika diharapkan akan ada pemasukan kas negara untuk menutupi hutang negara. Namun jika tidak ada harapan untuk menutup hutanng tentu menarik pajak dengan ketentuan syar’i merupakan satu-satunya jalan.

Adapun dalil saad Zariah bisa di atasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan.

Serta Adapun hal yang tidak dilakukan oleh para sahabat telah di tanggapi oleh Syaitibi “karena tidak ada kebutuhan di waktu itu, dimana keuangan baitulmal (perbendaharaan negara) cukup untuk membiayai belanja negara”.

Di zaman pemerintahan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pendapatan negara bukan dari pajak saja, pendapatan terbesar negara melainkan dari ghanimah(harta rampasan perang) yang di peroleh dari kaum kafir, kemudian fa’i(harta rampasan yang diperoleh dari musush tanpa terjadinya perang) dan terakhir adalah kharaj(sewa tanah yang diperoleh dari kaum non muslim).

Dalam sebuah hadis yang shahih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

لاَيَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إَلاَّبِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

                “Tidak halal harta seseorang muslim keuali dengan kerelaan dari pemiliknya” (Shahih, HR. Abu Ya’la dalam musnadnya (lihat: shahihul Jami’: 7662))

Adapun hadis lain yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

Artinya: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka” (HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah:7)

Adapun pendapat yang membolehkan pajak bersyarat

Para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, diantaranya: Al Juwaini, Syatibi, para ulama Andalus dan ulama mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat :

  • Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata,”pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya”.
  • Pemasukan negara dengan Jizyah ( harta yang di tarik dari ahli kitab yang tinggal di negeri islam sebagai imbalan atas jasa keamanan dan perlindungan). Di masa khalifah Umar bin Khattab besarnya jizyah sebanyak 1 dinar untuk 1 tahun. Kharaj (bagi hasil dari tanah yang dimiliki negara islam dan di garap oleh ahli kitab, dan lainnya tidak ukup untuk membiayai kebutuhan negara dengan kata lain kas Baitul maal kosong.
  • Bermusyawarah dengan ahlul hilli walaqdi (para tokoh agama). Ibnu Al Arabi berkata,” Tidak halal mengambil harta warga negara nya kecuali dalam kebutuhan mendesak dengan ara yang adil dan dengan musyawarah kepada para ulama”.
  • Di tarikk dengan ara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu.
  • Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan, tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.
  • Adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh di tarik lagi. Syatibi berkata.”pajak di tarik atas dasar darurat dan di ukur seperlunya saja. Jika darurat telah hilang maka pajakpun mesti dihapuskan”.

Dari uraian di atas terlihat bahwa pendapatan negara islam pada masa rasulullah  bersumber dari ghanimah, fa’I, kharaj, jizyah, ‘ushr dan zakat ( dari kaum muslimin ). Namun seiring dengan perkembangan zaman serta perluasan negara islam di dunia dan banyak orang kafir masuk islam juga maka umat muslim atau negara tidak bisa memunggut ghanimah, fa’I, kharaj, jizyah dan ‘ushr padahal dari pendapatan inilah negara bisa menggaji apparat dan tantara, membangun fasilitas umum. Akibat tidak adanya sumber pendapatan inilah negara akhirnya mengambil kebijakan untuk memunggut pajak.  Andai tidak ditarik pajak maka negara tidak bisa berjalan karena kekurangan pemasukan dana dan mudharat yang terjadi tanpa keberadaan suatu negara yang mengatur hidup orang banyak sangat besar. Maka mudharat tersebut diangkatkan dengan melakukan mudharat yang lebih kecil dengan cara menarik pajak.

Pada dasarnya pajak tidak diperbolehkan dalam islam karena terdapat ayat dan hadis yang melarang kebijakan  tersebut. Namun dalam kondisi tertentu dan dengan syarat tertentu pajak dibolehkan atas dasar pengecualian hukum dan Kembali lagi sikap kita sebagai umat muslim kita harus patuh terhadap ulil amri. Namun pajak yang di punggut oleh negara apakah sudah sesuai syariat ?

 

REFERENSI:

Diringkas dari buku: harta haram muamalat kontemporer, Dr. Erwandi Tarmizi, MA

Peringkas oleh : Marisa Daniati ( pengajar PONPES DQH OKU TIMUR )

Baca juga artikel:

Praktik Perdukunan Zaman Dahulu dan

Anak Yatim yang Terlantar

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.