Motivasi Dalam Melaksanakan Sunnah Nabi – Bismillah, alhamdulillah wash shalatu wassalamu ala Rasulullah. Merupakan sebuah kebahagiaan ketika seorang muslim senantiasa menjadikan hidupnya dalam bingkai Sunnah Nabi ﷺ. Karena balasan yang dijanjikan serta keutamaan yang mulia bagi seseorang yang tidak keluar dari arahan serta Sunnah-sunnah Nabi ﷺ dalam kehidupannya. Banyak sekali motivasi dari Al-Qur’an dan Hadits serta perkataan para ulama yang menunjukkan kemuliaan dan kegembiraan bagi seorang hamba yang mengemas dirinya dalam bingkai agama sesuai sunnah. Karena memang, salah satu penamaan paling indah yang disematkan kepada mereka yang selalu mengikuti Sunnah-sunnah Nabi ﷺ adalah dengan istilah “Ahlussunnah wa Al-Jama’ah”.
Disebut Ahlussunnah karena mereka selalu bergelimang dengan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ dalam kehidupan. Disebut dengan Al-Jama’ah karena dengan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ membuat kaum muslimin bersatu di atas panduan Nabi ﷺ yang akan membuat mereka berjama’ah dan bersatu dalam agama. Kalimat Ahlussunnah wa Al-Jama’ah merupakan kalimat yang sangat indah, menunjukkan ketundukan seorang hambadalam agamanya. Seseorang bisa saja mengaku dan mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wa Al-Jama’ah, namun itu semua harus dibuktikan dengan amalan dan perbuatan yang dia lakukan dalam kehidupan. Mereka yang berusaha semaksimal mungkin mencontoh semua Sunnah-sunnah Nabi ﷺ adalah Ahlussunnah yang sebenarnya. Sunnah-sunnah Nabi ﷺ yang mencakup semua aspek. Yaitu Sunnah Nabi ﷺ dalam aqidah, ibadah, muamalah, rumah tangga, dan bahkan dalam perkara terkecil sekalipun.
Agama islam yang dibawa oleh Nabi ﷺ adalah agama yang paling sempurna, sehingga tidak ada celah melainkan ada Sunnah Nabi ﷺ di dalamnya. Seperti perkara yang banyak manusia menyepelekannya, contohnya perkara buang hajat yang itu terdapat Sunnah Nabi ﷺ di dalamnya.
Dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh sahabat Salman Al-Farisy Radiyallahu ‘anhu ketika orang-orang musyrikun mengejek agama dan mencemooh ajaran Baginda Nabi ﷺ :
قيل له : قدعلمكم نبيّكم ﷺ كلّ شيء حتّى الخراءة قال : فقال : أجل لقدنهانا أن نستقبل القبلة لغائط, أو بول , أو أن نستنجي باليمين , أو أن نستنجي باليمين , أو أن نستنجي بأقل من ثلاثة أحجار , أو أن نستنجي برجيع , أو بعظم
“Salman pernah ditanya, ‘apakah Nabi ﷺ kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah buang air?’. Salman menjawab, ‘Benar. Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil. Beliau melarang kami untuk beristinja (cebok) dengan tangan kanan. Beliau melarang kami untuk beristinja dengan batu yang jumlahnya kurang dari tiga. Beliau melarang kami untuk beristinja dengan kotoran hewan atau tulang.”[1]
Sedemikiannya Nabi ﷺ mengajarkan umatnya tentang agama yang hanif. Sehingga perkara yang menjadi bahan olok-olokan bagi agama lain ternyata menjadi Sunnah yang mulia yang diajarkan oleh Nabi ﷺ kepada umatnya. Sehingga kita bertanya-tanya: kalau seandainya perkara buang air diajarkan oleh Nabi ﷺ, apakah mungkin perkara yang lebih besar dari pada itu tidak diajarkan Nabi kepada umatnya? Tentu itu merupakan sesuatu yang mustahil, tidak ada perkara agama melainkan ada Sunnah Nabi ﷺ disana. Tinggal bagaimana kita mencari dan mempelajari Sunnah-sunnah Nabi ﷺ tersebut. Sunnah Nabi ﷺ dalam aqidah, bermuamalah, adab, akhlak dan semuanya sudah ada Sunnah yang diajarkan kepada umatnya. Ketika seorang muslim berusaha untuk mempelajari dan mengamalkan Sunnah-sunnah tersebut dalam kehidupannya, maka disaat itulah dia mendapatkan julukan indah sesuai dengan amalan dan perbuatannya sebagai seorang “Ahlusunnah wa Al-Jama’ah”.
Al-Qadhi Iyadh Rahimahullah berkata :
“Wujud dari menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai suri tauladan adalah dengan mencontoh beliau, mengikuti sunnah-sunnah beliau serta tidak menyelisihi beliau, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan”.[2]
Setelah memberikan motivasi yang demikian, maka Al-Qadhi Iyadh Rahimahullah memberikan sebuah contoh yang terjadi di zaman sahabat Nabi ﷺ yang menggambarkan keteladanan yang luar biasa dalam mengamalkan apa yang Nabi ﷺ sukai:
Telah diperlihatkan bahwasanya Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘anhu memutar-mutar hewan tunggangannya di suatu tempat. Hal itu ditanyakn kepadanya, maka ia menjawab, ”Aku tidak tahu, hanya saja aku telah melihat Rasulullah ﷺ melakukan seperti apa yang telah aku lakukan ini”?.[3] Apa yang sahabat ini lakukan adalah karena kecintaan yang mendalam dikala ia berusaha melakukan apa yang Nabi kerjakan. Banyak sekali alasan mengapa kita wajib mengikuti dan bangga untuk mengamalkan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ dalam kehidupan, kami akan sebutkan beberapa di antaranya di dalam Al-Qur’an, Hadits dan perkataan para Ulama.
Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat Allah yang mengkabarkan kepada hamba-Nyan akan keutamaan dalam petunjuk Nabi ﷺ dalam kehidupan. Karena sejatinya seorang muslim akan selalu melakukan perkara yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan Nabi ﷺ. Salah satunya adalah ayat yang disebutkan oleh para ulama sebagai ayat ujian bagi hamba Allah dalam membuktikan kecintaan mereka yang sesungguhnya. Karena cinta dengan lisan dan kata-kata belum cukup untuk mendapatkan keridhoan Allah dan kecintaan dari Nabi ﷺ tanpa dibarengi dengan amalan dan perbuatan.
Ayat Pertama
Allah berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
Ibnu Katsir Rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata:
“Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah ﷺ, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syartiat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad ﷺ dalam ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[5]
Al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi juga berkata:
“Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaannya dan hanya mengaku-ngaku (tanpa bukti nyata).
Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah ﷺ adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah ﷺ yang utama adalah (dengan) meneladani beliau ﷺ, menghidupkan sunnahnya, mengikuti ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjahui larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[6]
Dalam ayat lain Allah juga menyebutkan bagaimana pentingnya seorang muslim menjadikan Nabi ﷺ sebagai pedoman dan panutan dalm setiap tingkah laku dan amalan, terkhusus perkara yang berkaitan dengan dengan masalah agama.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah”[7]
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan yang besar untuk menghidupkan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ, karena Allah sendiri yang menamakan semua perbuatan Nabi sebagai “suri tauladan yang baik”. Artinya bahwa orang yang meneladani Sunnah-sunnah Nabi berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah.
Ibnu Katsir berkata:
“Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah ﷺ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau ﷺ.[8]
Ayat tersebut diakhiri dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir, yang artinya bahwa antara Sunnah Nabi ﷺ dan keimanan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Setiap yang beriman kepada Allah dan percaya bahwa ada kehidupan yang berikutnya, maka mereka akan selalu menteladani Nabiﷺ ;karena dengannya mereka akan mendapatkan kesempurnaan iman sekaligus pahala besar dari Ar-Rahman. Menjadikan Nabi ﷺ sebagai teladan dalam kehidupan merupakan sebuah kemuliaan dan keberuntungan. Karena Nabi ﷺ memiliki semua akhlak mulia. Ketika Allah menyebutkan para Nabi dan Rasul selain Nabi Muhammad ﷺ, Allah menyebutkan sifat mulia mereka secara tidak menyeluruh. Namun ketika menyebutkan tentang sifat Nabi ﷺ ;Allah memberikan kesimpulan akan keindahan dan kesempurnaan manusia yang paling Allah cintai tersebut.
Allah berfirman:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[9]
Kalau demikian pujian yang Allah berikan kepada Nabi ﷺ; maka sudah merupakan kewajiban umatnya untuk menjadikan Nabi sebagai suri tauladan dalam setiap keadaan, sehingga terwujud kesempurnaan akan kecintaan kepada Nabi ﷺ.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menjelaskan ayat yang menyatakan akan keteladanan Nabi ﷺ :
“Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ﷺ (ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk bisa mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah ﷺ “.[10]
Ayat Ketiga :
Dalam ayat lain dimana Allah memanggil kaum mukminin untuk menjawab seruan Allah dan RasulNya. Karena sudah pasti seruan Allah dan Rasul akan menggiring mereka menuju keridhoan Allah dan mendapatkan kecintaan Rasulullah ﷺ .
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا لِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul (Nabi Muhammad) apabila dia menyerumu pada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu!”.[11]
Ayat ini merupakan panggilan Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman agar mereka mengikuti seruan Allah; yaitu dengan Al-Qur’an. Dan agar mereka juga mengikuti seruan Rasulullah ﷺ dengan mengikuti As-Sunnah. Karena Allah dan RasulNya berseru untuk mengajak kepada iman dan Islam serta menuju ketaatan yang akan mengantarkan seseorang ke dalam surga nan kekal abadi untuk selama-lamanya.
Ayat Keempat :
Juga dalam firman Allah yang lain:
يَوْمَ نَدْعُوا۟ كُلَّ أُنَاسٍۭ بِإِمَٰمِهِمْ
“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya”.[12]
Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlussunnah, yang bernama Zakaria bin ‘Adi bin ash-Shalt bin Bistam, ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah ﷺ), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah ﷺ.[13] Serta banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan akan kewajiban kaum muslimin untuk menjadikan Nabi sebagai panutan yang harus mereka teladani dalam kehidupan dunia sebelum mereka kembali kepada Allah. Dan sebagian ayat-ayat yang mewajibkan akan ketundukan kepada As-Sunnah sebagiannya telah kita sebutkan pada bab sebelumnya. Tentunya banyak sekali hadits-hadits Nabi yang memberikan umatnya motivasi agar mereka selalu berusaha menjadikan kehidupannya di atas Sunnah-sunnah Nabi. Karena Nabi adalah seorang yang paling menyayangi kaum mukminin; di antara bentuk kasih sayang Nabi tersebut adalah dengan selalu memberikan motivasi agar umat semangat dalam menerapkan sunnah-sunnahnya.
Alhamdulillah wa shallallahu alaa nabiyyina muhammadin.
Diringkas oleh : Dewi Sartika (pengajar di ponpes darul Qur’an wal Hadits Ogan Komering Ulu timur sumsel)
Judul : Motivasi Dalam Melaksanakan Sunnah Nabi
Judul Buku : Bahagia Dengan Sunnah Nabi
Cetakan : Cetakan Pertama 2023
Penerbit : Dar Al-Furqon
Penulis : Dr. Ariful Bahri, MA
[1] HR. Muslima no. 262.
[2] Lihat: Asy-Syifa: 2/8
[3] Lihat: Asy-Syifa: 2/8
[4] QS. Ali Imaran: 31.
[5] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/477
[6] Lihat: Asy-Syifa bi Ta’riifi HuquuqilMushthafa: 2/24
[7] QS. Al-Ahzab: 21.
[8] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/626.
[9] QS. Al-Qolam: 4.
[10] Lihat: Taisir al-Karim ar-Rahman: 481.
[11] QS. Al-Anfal: 24.
[12] QS. Al-Isra’: 71.
[13] Lihat: Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim:1/74.
BACA JUGA :
Leave a Reply