Mengulas Puasa Syawwal
Madrasah Romadhon memang telah berlalu. Berbagai tempaan dan cobaan telah berlaku selama rentang waktu satu bulan penuh. Ada yang menjalaninya dengan penuh antusias dan semangat, penuh keikhlasan mengharap pahala-Nya. Namun, ada pula yang masih jauh dari harapan. Bahkan ada lagi yang sudah kalah, terpuruk sebelum memasuki laga Romadhon. Untuk dua kelompok terakhir di atas, kiranya mereka mau mengintrospeksi diri, melihat dan merenung diri sendiri. Berapa banyak dosa yang harus ia pikul karena menelantarkan bulan Romadhon.
Dan untuk mereka yang telah lulus dari madrasah ini, bukan berarti jalan mereka sudah berhenti. Justru kelulusan mereka akan semakin memacu mereka untuk menapaki jalan ketaatan. Baik ketaatan dalam hal-hal yang memang wajib, maupun amalan-amalan sunnah yang akan menjadi pengiring amal wajibnya, dan sekaligus meninggikan derajatnya. Namun demikian, mereka yang merasa kurang dalam puasanyapun seharusnya lebih tersadarkan, sehingga mereka berusaha untuk menutup kekurangan mereka dengan mulai meniti tangga ketaatan, baik dalam hal yang wajib maupun sunnah.
Dan kali ini kita akan mengetengahkan tentang puasa enam hari di bulan Syawwal. Dengan harapan agar kita semakin terdorong dan terlecut untuk selalu menambah kabaikan dan ketaatan kita.
Hadits Nabawi
Mengenai hal ini, Rosululloh bersabda dalam riwayat dari jalur Abu Ayyub Al-Anshori :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian ia ikuti dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka seolah-oleh seperti puasa satu tahun penuh.” (HR. Muslim)
Begitu murahnya Alloh memberikan karunia-Nya pada hamba-Nya yang beriman. Amalan yang penuh dengan dorongan dan benar-benar menggiurkan. Siapa yang tak ingin untuk bisa mendapat pahala kebaikan ini satu tahun penuh, tanpa harus melakukannya selama rentang waktu satu tahun?! Hanya saja, janji Alloh ini kadang kurang dipahami oleh hamba-Nya. Lain ceritanya kalau balasannya langsung diwujudkan dalam wujud materi yang bisa seketika dirasakan. Pastilah semua orang akan berduyun-duyun melakukannya.
Kandungan Hadits
Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwal. Puasa yang menyertai puasa bulan Romadhon ini sepadan dengan puasa satu dahr (satu masa), yang maksudnya adalah sepadan dengan puasa satu tahun penuh; yaitu puasa 360 hari. Karena satu kebaikan akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipatnya. Sebagaimana yang Alloh firmankan: “Barangsiapa yang melakukan satu kebaikan, maka ia akan mendapatkan (balasan) 10 kali lipatnya.” (QS. Al-An’am: 160). Hal ini bisa diperjelas dengan hadits berikut dari sahabat Tsauban, bahwa dia mendengar Rosululloh bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon, maka (hitungannya) satu bulan sepadan dengan (pahala) 10 bulan. Dan puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Idul Fithri, maka dengan demikian genap menjadi puasa satu tahun penuh.” (HR. Ahmad)
Dalam lafazh yang lain: “Alloh menjadikan satu kebaikan (dibalas) sepadan dengan sepuluh kebaikan. Maka satu bulan (puasa Romadhon) setara dengan 10 bulan, dan (ditambah) puasa 6 hari Syawwal setelah Idul Fithri sehingga setara dengan (puasa) satu tahun.” (HR. Ibnu Majah dan Nasai)
Hukum dari puasa ini adalah sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan lainnya. Dan kesunnahan puasa ini tegas dinyatakan dalam hadits ini. Sedangkan pendapat yang mengatakan makruh, maka itu tertolak. Meskipun mereka beralasan bahwa hal itu dikhawatirkan akan dipandang wajib, namun tetap saja pendapat ini tidak dibenarkan. Karena jelas-jelas bertentangan dengan hadits-hadits yang shohih lagi tegas kandungan maknanya. Dan alasan seperti itu juga akan berimbas juga pada puasa-puasa sunnah yang lain, seperti puasa Arofah, Asyura, dll. Dan tak ada yang mengatakan bahwa puasa pada hari-hari tersebut adalah makruh. Di antara yang berpendapat puasa ini makruh hukumnya adalah Imam Malik. Karena beliau tidak pernah melihat salah seorang dari kalangan ulama dan ahli fiqh yang berpuasa pada saat tersebut.[1] Dan juga dengan alasan agar tidak bercampur dengan puasa Romadhon, sehingga disangka itu adalah bagian dari Romadhon.
Imam Ibnu Abdil Barr mengungkapkan alasan mengapa Imam Malik berpendapat seperti itu. Yaitu bahwa hadits Abu Ayyub di atas mungkin belum sampai padanya, meskipun itu adalah hadits dari ahli Madinah. Dan juga dikhawatirkan orang akan menganggapnya bagian dari Romadhon.
Hanya saja apa yang dikhawatirkan Imam Malik tidaklah terjadi. Apalagi ada pemisah antara Romadhon dengan hari dibolehkannya puasa Syawwal ini. Yaitu dipisahkan dengan hari raya Id, di mana diharamkan seseorang berpuasa ketika itu. karena itu adalah hari jamuan dari Alloh. Maka hendaknya orang-orang menerima jamuan dari-Nya. Kalau ada yang tetap berpuasa, itu artinya ia tak mau menerima jamuan Alloh. Sehingga dengan adanya hari Id ini, maka apa yang dikhawatirkan –yaitu kalau-kalau orang menganggapnya sebagai bagian dari puasa Romadhon-tidaklah terjadi.
Apakah Harus Berturut-turut?
Yang lebih utama memang bila dilakukan berturut-turut. Namun boleh juga untuk dilakukan secara berselang-seling di tengah bulan Syawwal. Karena kata tsumma (kemudian) dalam redaksi hadits di atas mengandung pengertian ada jeda dan berlambat-lambat. Maka setiap puasa yang dilakukan di bulan Syawwal (setelah genap puasa Romadhonnya) dikategorikan telah diikutkan dengan puasa Romadhon, meskipun di sana ada jeda (tidak lansgsung dilakukan pada hari kedua berturut-turut).
Akan tetapi puasa Syawwal setelah hari Id mempunyai keistimewaan ditinjau dari beberapa sisi:
*Ada kesan bergegas-gegas melakukan kebaikan.
*Bersegera melakukan kebaikan ini menunjukkan antusias untuk berpuasa, tidak merasa jemu berpuasa.
*Agar tidak terhalang oleh sesuatu rintangan dibandingkan kalau mengakhirkannya.
Permasalahan Terkait
Puasa qodho’ tidak bisa diniatkan sekaligus untuk puasa Syawwal. Karena keduanya ibadah yang berdiri sendiri. Adapun bila puasa ini dilakukan bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka bisa diniatkan sekaligus. Karena puasa Syawwal ini memang boleh dilakukan tidak berturut-turut.
Kemudian apakah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal bisa dilakukan seseorang yang masih mempunyai hutang puasa Romadhon? Dalam hadits tersebut dikatakan: “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian ia mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu bagaikan puasa satu tahun.” Dalam hadits di atas ditegaskan: Barangsiapa yang berpuasa Romadhon. Sedangkan orang yang punya hutang puasa Romadhon sehingga ia harus mengqodho’nya, ia tidak dikatakan telah berpuasa Romadhon seluruhnya. Setelah ia mengqodho’nya, barulah ia dikatakan telah berpuasa Romadhon.
Yang kuat dari dua pendapat ulama, apabila bulan Syawwal usai, dan seseorang belum berpuasa Syawwal, maka puasa ini tidak diqodho’. Karena itu hanya sunnah yang sudah lewat waktunya. Dan Syariat mengkhususkan puasa ini pada bulan Syawwal, sehingga bila dilakukan di luar Syawwal tidak lagi tercapai keutamaannya. Namun bila itu karena ada udzur, seperti sakit, atau haid, maka sebagian ulama mengatakan: boleh mengqodho’nya setelah melakukan puasa yang menjadi tanggungannya. Ini yang dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di. Namun ada pula yang menyatakan tidak disyariatkan untuk mengqodhonya, baik tertinggal karena udzur ataupun tidak. Ini yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz Bin Baz.
Catatan
Seperti disinggung di atas, bila puasa ini dilakukan langsung pada hari ke -2 bulan Syawwal hingga hari ke-8, itu lebih baik. Adapun perayaan pada hari ke-8 yang kadang diadakan sebagian orang, hal ini tak berdasar sama sekali. Di sebagian negara Arab, hari tersebut disebut oleh orang awam sebagai hari raya orang-orang bajik (Idul abrôr). Ini juga salah. Karena konsekuensinya bahwa orang yang tidak melakukan puasa ini tidak dikategorikan sebagai orang bajik dan berbakti. Dan ini salah. Karena seseorang bila ia menunaikan kewajbannya, maka ini adalah bentuk kebajikan. Meskipun sebagian amal kebajikan lebih sempurna daripada bentuk amal kebajikan lainnya. Wallôhu a’lam. (Minhatul `Allâm Syarh Bulughul marôm, dll)
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 02 Tahun 02
[1] Tak diragukan bahwa bila orang-orang tidak mengamalkan sunnah, maka itu tidak bisa menjadi dalil untuk menolak disyariatkannya sunnah tersebut. (Nailul Authôr)
Leave a Reply