Lebih Dekat dengan Akad Salam Bag. II
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’ du,
Alhamdulillah pada pembahasan sebelumnya kita telah banyak menjelaskan tentang hukum salam. Insya Allah pada kesempatan kali ini kami akan melanjutkan pembahasan mengenai akad salam.
Bagaimana jika uang diserahkan sebagian?
Ulama berbeda pendapat, bolehkah uang diserahkan secara bertahap. Misalnya, saat di masjlis akad, pembeli hanya menyerahkan 50%, sisanya dibayar setelah barang sampai.
- Transaksi semacam ini batil dan dilarang.
Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah dan Hambali, serta pendapat Zahiriyah.
- Transaksi ini dibolehkan, dan bukan termasuk jual beli utang dengan utang.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah dan Hambali. (al-Muhalllaa, Ibnu Hazm, 9/110; al-Muhadzab, as-Syirazi, 1/308; al-Mughni, Ibn Qudamah, 4/328; al-Bada’i, al-Kasani, 5/202).
Dan pendapat yang lebih mendekati dalam hal ini adalah pendapat pertama. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Kami menganqqap jual beli salam dibolehkan. Uang untuk beli sesuatu, uang dibayar tunai.” (HR.al-Baihaqi; dalam al-Kubro, 6/19).
Barang tidak Boleh Tertentu
Diantara ketentuan salam, barang yang dijual tidak boleh tertentu (muayyan). Yang dimaksud barang tertentu adalah barang yang hanya ada satu atau sudah ditunjuk pembeli.
Misal, Paijo datang ke Mukidi untuk beli motor. Lalu keduanya datang ke dealer A, dan Paijo memilih motor X dengan plat nomor AB 1234 CD. Motor yang sudah ditunjuk ini statusnya barang muayyan.
Di masa silam, salam mu’ayyan dilakukan untuk kebun milik orang tertentu.
Misal, Paijo membeli 1 kwintal mangga madu ke Mukidi. Dia menyerahkan uang pembayaran senilai 5jt dibayar di muka, di majlis akad. Namun Paijo minta, mangga madu itu harus dari kebunnya Pak Jarwo. Jika diambilkan dari kebun lain, Paijo tidak bersedia.
Salam model semacam ini hukumnya terlarang, karena unsur ghararnya cukup besar. Bentuk ghararnya adalah tidak ada kepastian apakah mangga 1 kwintal itu bisa diserahkan atau tidak. Karena bisa saja, mangga di kebun Pak Jarwo tidak berbuah, atau tidak menghasilkan 1 kwintal mangga madu.
Berbeda ketika Mukidi diberi kebebasan untuk mencari mangga madu dari kebun manapun, dan tidak dibatasi. Sehingga, jika Mukidi tidak bisa mendapatkan 1 kwintal mangga madu di kebun Pak Jarwo, dia bisa cari di kebun yang lain, sampai bisa mendapatkan 1 kwintal, untuk selanjutnya diserahkan ke Paijo.
As-Syaukani Rahimahullah mengatakan: “Dulu di Madinah, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, masyarakat melakukan akad salam untuk buah kurma secara mu’ayyan (dari kebun tertentu). Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk melakukan transaksi itu, karena di dalamnya terdapat unsur gharar. Mengingat, bisa jadi kebun kurma itu terkena hama sehingga tidak berbuah sama sekali. (Nailul Authar, 5/281).
Bahkan para ulama menegaskan bahwa bagian dari makna hadis Hakim bin Hizam adalah akad salam muayyan. Hadis Hakim bin Hizam menyebutkan tentang larangan menjual barang yang belum dimiliki. Bahwa Hakim pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Ya Rasulullah, ada orang datang kepadaku dan ingin membeli suatu barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya menjual barang itu, lalu saya belikan barang itu di pasar?
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
لا تبع ما ليس عندك
Artinya: “Jangan kamu menjual barang yang tidak kamu milik” (HR. Nasai 4530, Abu Daud 3505, dan yang lainnya)
Al-Khathabi Rahimahullah menjelaskan hadis Hakim: “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.” maksudnya adalah jual beli barang muayyan, bukan jual beli berdasarkan batasan kriteria dan spesifikasi. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan jual beli salam, tertunda sampai batas waktu tertentu? Padahal itu termasuk jual beli yang tidak dimiliki ketika akad. Beliau melarang jual beli yang tidak dimiliki penjual karena alasan gharar (tidak jelas). (Ma’alim as-Sunan, 3/140).
Kriteria Barang harus Jelas
Bagian ini termasuk syarat sah akad salam, objek akad tidak boleh tertentu, tapi kriterianya harus jelas. Jika ada salam, namun kriterianya tidak jelas, termasuk gharar. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan batasan:
من أسلف في شئ ففي كيل معلوم ووزن معلووم, إلى أجل معلوم
Artinya: “Siapa yang melakukan akad salam untuk objek tertentu, hendaknya dilakukan dengan takaran yang tertentu, timbangan tertentu, sampai batas waktu yang diketahui.” (Muttafaq ‘alaih).
Kriteria yang dimaksud, mencakup ukuran atau spesifikasi apapun yang dibutuhkan. Jika diukur dengan timbangan maka beratnya harus jelas. Jika diukur dengan panjang, juga harus jelas, demikian pula yang dihitung dengan bijian. Termasuk ketika bentuknya memiliki kriteria tertentu, seperti warna,jenis,volume,kualitas, semua harus jelas. (al-Mughni, 4/318). Ini sebagaimana yang dinyatakan jumhur. Berbeda dengan Dzahiriyah yang membatasi salam hanya untuk objek yang ditakar (al-Makilaat) atau ditimbang (al-Mauzunaat).
Jika orang melakukan akad salam untuk motor, maka tidak boleh hanya sebatas menyebut motor. Karena varian motor sangat banyak. Sehingga harus menyebutkan spesifikasi motornya.
Karena itulah, objek dalam akad salam disebut al-Mausuf fi ad-Dzimmah, dimana objek dalam akad salam tidak ada ketika akad, dan tidak tertentu, hanya saja dibatasi dengan kriteria tertentu.
Harga Lebih Murah
Jika seseorang melakukan akad salam dengan harga yang lebih murah, apakah ini tidak termasuk riba?
Ini bukan termasuk riba. Karena secara prinsip, pemilik barang berhak untuk menentukan harga barangnya, selama harganya jelas. Penjual berhak memberikan diskon, bagi konsumen yang membeli dengan pembayaran tunai dimuka sebelum barang diserahkan.
Diantara keuntungan konsumen ketika mengadakan akad salam adalah konsumen mendapatkan barang dengan harga murah. Dan penjual mendapat modal untuk membeli barang dagangan lebih cepat.
Ibnu Qudamah keterangan ulama akan bolehnya salam
Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Para ulama yang saya kenal sepakat bahwa akad salam hukumnya boleh.’ Karena barang adalah salah satu objek transaksi, schingga bolch ditangguhkan sebagaimana pembayaran.
Lalu beliau menyebutkan hikmah dibolehkannya Salam,
Manusia sangat membutuhkan akad ini, karena pemilik tanaman atau buah-buahan atau barang dagangan butuh modal untuk dirinya, sementara mereka kekurangan modal itu. Sehingga boleh melakukan akad salam, agar mereka bisa terbantu, dan konsumen mendapat manfaat dengan adanya diskon. (Al-Mughni, 4/338).
Bagi penjual, dia mendapat modal lebih cepat, sementara pembeli mendapat barang dengan harga murah.
Keputusan Majma’ untuk Akad Salam
Majma’ al-Fiqh al-Islami – pada muktamar kesembilan yang diselenggarakan di Abu Dabi UEA, yang diselenggaran pada 1-6 Dzulqa’dah 1415 H, bertepatan dengan 1-6 April 1995 secara khusus membahas akad salam dan aplikasinya di duniaperbankan.
Diantara aturan salam yang disampaikan dalam qarar (keputusan) majma’,
- Barang yang bisa menjadi objek akad salam meliputi semua objek yang bisa diperjual-belikan, memungkinkan untuk dijelaskan berdasarkan kriteria, dan bisa menjadi barang terutang yang dijamin pihak penjual. Baik bentuknya bahan mentah (raw materials), hasil pertanian, atau barang manufaktur.
- Dalam akad salam wajib menentukan batas waktu penyerahan barang, baik mengacu kepada kelender, atau dikaitkan dengan kejadian yang pasti terjadi. Meskipun batas waktunya ada sedikit pergeseran yang tidak sampai menimbulkan sengketa, seperti musim panen.
- Pada asalnya, ra’sul maal (uang pembayaran) harus dilakukan di majlis akad. Meskipun boleh ditunda dua hari atau 3 hari, sekalipun disepakati sebelumnya. Hanya saja, masa penundaan tidak boleh sama dengan masapenyerahaan barang atau bahkan melebihi dari masa penyerahanbarang.[1]
- Dibolehkan secara syar’i pihak al-muslim (pembeli) meminta jaminan barang atau penjamin manusia dari musallam ilaih (penjual).
- Boleh bagi pembeli untuk meminta ganti objek salam dengan barang yang lain – selain nuqua (emas, perak, dan uang) – setelah batas waktu penyerahan barang. Baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis. Mengingat tidak ada dalil maupun pernyataan ijma’ yang melarangn hal itu. Dan ini dengan syarat, barang pengganti tersebut bisa dijadikan sebagai barang salam sesuai nilai uang yang dibayarkan.
- Jika penjual tidak bisa menyerahkan barang salam sampai batas waktu yang ditetapkan, maka pihak pembeli memiliki hak pilih antara: menunggu sampai penjual bisa mendapatkan barang itu atau membatalkan akad salam, dan menarik kembali uangnya. Namun jika penjual tidak mampu menyerahkan barang salam karena penjual mengalami kesulitan ekonomi, maka harus ditunggu sampai dimudahkan baginya untuk mendapatkan barang.
- Tidak boleh ada kesepakatan denda karena keterlambatan penyerahan barang salam. Karena salam semakna dengan utang. Sementara dalam akad utang, tidak boleh mempersyaratkan ada tambahan karena penundaan.
- Tidak boleh menjadikan utang sebagai ra’sul maal (modal) salam. Karena sama halnya jual beli utang dengan utang.
Bersambung….
Sumber:
Kitab Harta Haram Bisnis Online karya Ustadz Ammi Nur Baits, Pustaka Muamalah Jogja, Jogjakarta: Dzul Qa’dah 1441 H.
Diringkas oleh: Rika Kowasanda (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
[1] Ini berdasarkan madzhab Malikiyyah.
Baca juga artikel:
Leave a Reply