
Kriminalitas (Kejahatan) Dan Hukum-Hukumnya – MATERI PERTAMA: KEJAHATAN PADA JIWA
- Pengertian Kejahatan Pada Jiwa
Kejahatan pada jiwa adalah pelanggaran atas amanusia dengan membunuhnya atau menghilangkan sebagian anggota tubuhnya atau melukai tubuhnya.
Hukum Kejahatan Pada Jiwa
Membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syari’at adalah haram, demikian pula dengan menghilangkan atau melukai bagian tubuhnya dalam bentuk apapun. Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekafiran kecuali membunuh seorang mukmin, bersadarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَن يَقتُل مُؤمِنا مُّتَعَمِّدا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيما ٩٣
Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”[1]
Macam-Macam Kejahatan Pada Jiwa
Kejahatan pada jiwa terdiri dari 3 macam yaitu:
- Pembunuhan dengan sengaja
Yaitu pelaku kejahatan sengaja ingin membunuh atau melukai seorang mukmin, lalu mendatanginya dan memukulnya dengan besi, tongkat, batu atau menjatuhkannya dari tempat tinggi, menenggelamkannya ke dalam air, membakarnya dengan api mencekiknya atau memberinya racun sampai meninggal membuat cacat anggota tubuhnya atau melukainya.
Kejahatan yang disengaja ini wajib ditegakkan qishash atas pelakunya.
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
وَكَتَبنَا عَلَيهِمۡ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفسَ بِٱلنَّفسِ وَٱلعَينَ بِٱلعَينِ وَٱلأَنفَ بِٱلأَنفِ وَٱلأُذُنَ بِٱلأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلجُرُوحَ قِصَاص فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَة لَّهُۥۚ وَمَن لَّم يَحكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٥
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”[2]
- Seperti sengaja
Yaitu bahwa pelaku kejahatan tidak bermaksud membunuh, atau hanya ingin menggoreskan luka yang ringan pada sebagian anggota tubuhnya dengan sesuatu yang biasanya tidak membunuhnya, atau memukulnya dengan tangannya memukul kepalanya menceburkannya ke dalam air yang dangkal, menghardik dihadapannya atau mengancamnya, tetapi karena tindakan itu, orang bersangkutan meninggal dunia.
Hukum atas kejahatan semacam ini bahwa pelakunya wajib membayar diyat(denda) kepada keluarganya dan wajib pula kaffarat atasnya, berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤمِنٍ أَن يَقتُلَ مُؤمِنًا إِلَّا خَطَٔاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤمِنًا خَطَٔا فَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤمِنَة وَدِيَة مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَومٍ عَدُوّ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤمِن فَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤمِنَة وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۢ بَينَكُمۡ وَبَينَهُم مِّيثَٰق فَدِيَة مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهلِهِۦ وَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤمِنَة فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهرَينِ مُتَتَابِعَينِ تَوۡبَة مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيما ٩٢
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”[3]
- Karena salah atau tidak sengaja
Yaitu karena seorang Muslim melakukan suatu tindakan yang diperbolehkan, seperti memanah atau berburu, memotong daging hewan, tetapi alat yang dipergunakannya meleset sehingga mengenai seseorang yang menyebabkan kematian atau melukainya.
Hukum atas perbuatan yang tidak disengaja ini adalah sama seperti ketentuan yang kedua, tetapi dendanya lebih ringan, dan pelakunya tidak berdosa, berbeda dengan pelaku kejahatan seperti disengaja, maka dendanya lebih berat dan pelakunya berdosa.
MATERI KEDUA: HUKUM TINDAK PIDANA
- Syarat-syarat Wajibnya qishash
Qishash atas pembunuhan atau kejahatan yang menyebabkan cacat atau luka tidak wajib dilaksanakan kecuali apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
- Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi jiwanya, jika ia seorang pezina yang muhshan, orang murtad (keluar dari islam) atau kafir, maka tidak ada qishash, sebe darah mereka termasuk halal karena kejahatan mereka.
- Pembunuhannya adalah seorang mukallaf, yaitu dewasa dan berakal, jika ia eorang anak kecil atau gila maka tidak ada qishash karena tidak ada taklif.
- Derajat pembunuh sama dengan orang yang dibunuhnya, dari segi agama, kebebasan dan penghambaannya, sebab seorang muslim tidak dibunuh karena ia membunuh seorang yang kafir, tidak pula orang merdeka karena membunuh budak.
Hal ini juga dikarenakan budak layaknya sesuatu yang dihitung dengan harga sehingga dapat ditentukan harganya. Pernyataan Ali Radhiallahu Anhu “Termasuk sebagian dari sunnah adalah orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.”[4]Dan Hadits dari ibnu Abbas Radhiallahu Anhu “Orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak.”[5]
- Pembunuhnya bukan orang tua dari orang yang terbunuh, bapak atau ibunya, kakek atau neneknya. Karena berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam :
“Orang tua tidak dibunuh karena membunuh anaknya”[6]
- Syarat-syarat pelaksanaan Qhishash
Penuntut Qhishash tidak akan mendapatkan haknya kecuali setelah memenuhi syarat-syarat berikut:
- Penuntut hak atas Qishash harus mukallaf atau baligh. Jika ia adalah anak-anak atau orang gila, maka pelaku kejahatannya ditahan sampai anak-anak itu menjadi dewasa atau orang gila menjadi sadar. Setelah itu, keduanya berhak mengajukan Qishash atau mengambil diyat(ganti rugi) atau memaafkannya. Ketentuan ini telah diriwayatkan oleh para sahabat.
- Semua anggota keluarga penuntut qishash harus sepakat, jika sebagian mereka memaafkan pelakunya, maka tidak ada qishash bagi mereka, dan sebagai pengganti bagi anggota keluarga yang tidak memaafkannya, mereka berhak mendapatkan diyat.
- Memberikan jaminan pada saat mengeksekusi bahwa mereka tidak akan melampaui batas luka seperti yang diperbuat pelakunya atau tidak akan membunuh selain pembunuhnya, dan tidak juga membunuh wanita yang sedang hamil sampai ia melahirkan dan menyapih anaknya.
- Eksekusi tersebut harus dilakukan di hadapan para penguasa atau wakilnya sehingga dapat menjamin ketepatannya dan tidak melanggar batas.
- Eksekusi dilakukan dengan alat yang tajam sebagaimana sabda Rasulullah menyebutkan:
“Tidak ada Qishash kecuali dengan pedang”[7]
- Pilihan Antara QHISHASH, DIYAT atau Ampunan
Sebagian ulama berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan tipu daya, di mana korban merasa aman dari tipu daya si pembunuh, kemudian dia dibunuh, baik untuk mengambil hartanya ataupun menodai kehormatan istrinya atau karena si pembunuh takut ia menyebarkan rahasianya, atau yang semisalnya, maka dalam hal ini tidak ada ampunan walaupun wali orang yang dibunuh memaafkan, dan bagi penguasa agar tidak memberikan ampunan dan menghukumnya, dengan ta’zir, yaitu cambuk 100x dan diasingkan selama satu tahun.
Jika seorang muslim berhak mendapatkan ganti rugi untuk darahnya atau saudaranya, maka ia mempunyai 3 pilihan, yaitu: melaksanakan qishash atau mengambil diyat atau memaafkan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيكُمُ ٱلقِصَاصُ فِي ٱلقَتلَىۖ ٱلحُرُّ بِٱلحُرِّ وَٱلعَبدُ بِٱلعَبدِ وَٱلأُنثَىٰ بِٱلأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيء فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلمَعرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيهِ بِإِحسَٰن ذَٰلِكَ تَخفِيف مِّن رَّبِّكُم وَرَحمَة فَمَنِ ٱعتَدَىٰ بَعدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيم ١٧٨
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”[8]
Dan Firmannya,
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَة سَيِّئَة مِّثلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصلَحَ فَأَجرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”[9]
Catatan:
a). Orang yang memilih diyat maka tidak berhak lagi atas qishash, walaupun ia menuntunya setelah itu, maka hal itu tidak dapat dilakukan. Jika kemudian ia balas dendam dan membunuh pelakunya, maka ia harus dibunuh (diqishash). Tetapi jika ia memilih qishash, maka ia boleh menggantinya dengan diyat.
b). Jika pembunuhnya telah meninggal dunia, maka tidak ada lagi tuntutan bagi wali orang yang terbunuh kecuali diyat, karena qishash tidak dapat dilakukan dengan meninggalnya pembunuh, sebab tidak boleh mengeksekusi selain pembunuhnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَقتُلُواْ ٱلنَّفسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظلُوما فَقَدۡ جَعَلنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلطَٰنا فَلَا يُسرِف فِّي ٱلقَتلِۖ إِنَّهُۥ كَانَ مَنصُورا ٣٣
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”[10]
“Melampaui batas” pada ayat ini ditafsirkan dengan mengeksekusi selain pembunuhnya.
c). Kaffarat pembunuhan wajib bagi setiap pembunuh baik yang disengaja atau pun yang seperti disengaja, orang yang dibunuhnya janin ataupun yang sudah berumur, orang yang sudah merdeka maupun budak. Kafarat tersebut adalah memerdekakan budak yang mukmin, dan jika ia tidak mendapatkannya, ia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut,
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤمِنٍ أَن يَقتُلَ مُؤمِنًا إِلَّا خَطَٔاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَٔا فَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤمِنَة وَدِيَة مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُواْۚ فَإِن كَانَ مِن قَومٍ عَدُوّ لَّكُم وَهُوَ مُؤمِن فَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤۡمِنَة وَإِن كَانَ مِن قَومِۢ بَينَكُمۡ وَبَينَهُم مِّيثَٰق فَدِيَة مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهلِهِۦ وَتَحرِيرُ رَقَبَة مُّؤمِنَة فَمَن لَّم يَجِد فَصِيَامُ شَهرَينِ مُتَتَابِعَينِ تَوبَة مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيما
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92)
Alhamdulillah, dengan izin Allah saya telah menyelesaikan tulisan ini dan semoga bermanfaat untuk kita semuanya. Aamiin
Referensi:
Al-jaza ‘iri, Abu bakar jabir. 2017. Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal Dalam Islam. Jakarta: Darul Haq.
Diringkas oleh: Dessy Andiana
[1] Q.S Annisa : 93
[2] Q.S Almaidah: 45
[3] Q.S Annisa:92
[4] Diriwayatkan oleh AlBaihaqi, 8/34
[5] Diriwayatkan oleh AlBaihaqi, 8/35 dengan sanad hasan.
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad, no 348 dan At-Tirmidzi, no. 1400.
[7] Disini, sebagian ulama berpendapat bahwa pembunuh dieksekusi dengan cara yang sama seperti pada saat ia melakukan pembunuhannya, jika ia menggunakan pedang maka ia pun di eksekusi dengan menggunakan pedang, jika menggunakan batu maka dengan batu. Hal ini berdasarkan Hadits Muttafaq ‘Alaih bahwa Rasulullah memerintahkan agar pelaku pembunuhan terhadap budak perempuannya dengan memukul kepalanya dengan batu, agar dipukul kepalanya dengan batu.
[8] Q.S Albaqarah:178
[9] Q.S Asy-Syuraa : 40
[10] Q.S Al Israa :33
BACA JUGA:
Leave a Reply