Keutamaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

KEUTAMAAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

KEUTAMAAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

بسم الله الرّحمن الرّحيم

الصّلاة والسلام على النبيّ صلّ الله عليه وسلّم أمّا بعد

1. Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas para Nabi dan Rasul, dari yang pertama hingga yang terakhir ‘alaihish shalatu wassalam

Allah Ta’ala mengutus para Rasul ‘alaihish shalatu wassalam kepada Allah Yang Maha Esa dan melarang mereka dari mentaati thaghut. Allah Ta’ala berfirman:

{ وَلَقَد بَعَثنَا فِی كُلِّ أُمَّة رَّسُولًا أَنِ ٱعبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ  فَمِنهُم مَّن هَدَى ٱللَّهُ وَمِنهُم مَّن حَقَّت عَلَيهِ ٱلضَّلَـٰلَةُۚ فَسِيرُوا۟ فِی ٱلأَرضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيفَ كَانَ عَـاقِبَةُ ٱلمُكَذِّبِينَ }

Artinya: “Dan sungguh, kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut…’” (QS. An-Nahl [16]: 36)

Dikarenakan pengutusan para Rasul adalah untuk memerintahkan agar bertauhid dan melarang dari mentaati thaghut, maka sebagian ulama menetapkan bahwa diutusnya para Rasul adalah untuk amar ma’ruf nahi munkar karena perintah mereka untuk bertauhid adalah amar ma’ruf dan larangann dari mereka dari mentaati thaghut adalah nahi munkar.

Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 689 H) berkata, “Ketahuilah, bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan satu tugas penting yang karenanya Allah mengutus para Nabi seluruhnya. Andaikata tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia pun akan binasa.’”[1]

Di tengah-tengah pembicaraan mengenai amar ma’ruf nahi munkar, Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata, “Ia adalah faedah dari risalah dan khilafah kenabian.”[2] Syaikhul Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu yang dengannya Allah menurunkan kitab-kitab-Nya, mengutus para Rasul-Nya, dan termasuk bagian (yang penting) dari agama.”[3] Juga banyak disebutkan dalam al-Quran bahwa para Rasul adalah pemberi kabar gembira dan ancaman. Allah Ta’ala berfirman :

{ رُّسُلا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعدَ ٱلرُّسُلِۚ  وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيما }

Artinya: “Rasul-Rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah Rasul-Rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)

2. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan sifat dari Nabi Muhammad, sayyidul mursalin, imam para Nabi صلاوات الله وسلامه عليهم yang terdapat dalam Taurat dan Injil

Allah Ta’ala berfirman, Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tdak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah mereka dari mengerjakan yang munkar dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf [7]: 157)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Ini adalah sifat Rasulullah yang terdapat dalam Kitab-Kitab (samawi) terdahulu.”[4]

3. Termasuk kewajiban yang paling penting dalam Islam

Dari Tamim ad-Daari radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

الدّين النّصيحة، الدّين النّصيحة، الدّين النّصيحة قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: لله، ولكتابه، ولرسلوله، ولأئمّة المسلمين أو للمؤمنين، وعامّتهم

Artinya: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Shahabat) bertanya: ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum muslimin dan Mukminin, dan pada kaum Muslimin pada umumnya.”[5]

Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu berkata,

“Aku membai’at Rasulullah untuk menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, dan menasihati setiap muslim.”[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar termasuk amal yang paling wajib, paling utama, dan yang paling baik.”[7]

4. Sebagai sebab keutuhan, keselamatan, dan kebaikan bagi masyarakat

Satu masyarakat akan menjadi baik apabila ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Sedangkan satu masyarakat akan binasa dan rusak apabila tidak ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allah (melaksanakan hukum-hukum Allah) dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allah seperti satu kaum yang mereka mengundi (pembagian tempatnya) di atas perahu. Sebagian mendapat bagian di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air, maka mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, sehingga mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya.”[8]

dalam hadits di atas, Nabi memberikan perumpaan tentang satu masyarakat, di mana orang-orang yang berada di bawah ( yang dimaksud adalah orang-orang awam) melakukan kemaksiatan, dan apabila orang-orang yang lainnya tidak mencegahnya, maka akan binasalah semuanya. Manusia diciptakan di atas perintah dan larangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

{ أَفَحَسِبتُم أَنَّمَا خَلَقنَـٰكُم عَبَثا وَأَنَّكُم إِلَينَا لَا تُرجَعُونَ }

Artinya: “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun [23]: 115)

Kata “main-main (tanpa ada maksud) dalam ayat di atas telah dijelaskan oleh para ulama. Di antara maknanya ialah tidak diperintah dan tidak dilarang. Jadi, harus ada perintah dan larangan.[9] Telah banyak negeri-negeri yang dihancurkan oleh Allah sebelum zaman Nabi  disebabkan banyaknya orang yang berbuat kemungkaran serta tidak memenuhi dan menyambut dakwah para Nabi dan Rasul ‘Alaihissalam.

5. Menghidupkan hati

Di antara keutamaan amar ma’ruf nahi munkar ialah menghidupkan hati, karena hati yang mengetahui perbuatan yang ma’ruf lalu ia mengerjakannya dan mengetahui kemungkaran lalu ia mengingkarinya, maka hatinya akan hidup. Berbeda dengan orang yang hatinya tidak mengetahui perbuatan yang ma’ruf dan mungkar, maka ia akan binasa. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata:

هلك من لم يعرف قلبه المعروف وينكر قلبه المنكر

Artinya: “Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran.”[10]

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah (wafat th.795 H) berkata, “Atsar ini mengisyaratkan bahwa mengetahui yang ma’ruf dan munkar dengan hati hukumnya adalah fardhu (wajib) atas setiap orang. Barangsiapa yang tidak mengetahuinya maka ia akan binasa.”[11]

6. Sebagai sebab datangnya pertolongan, kemuliaan, dan diberikannya kedudukan (kekuasaan) di bumi

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, Artinya: “…Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di muka bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”  (QS. Al-Hajj [22]: 40-41)

Mengenai firman Allah Ta’ala,

{ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُم فِی ٱلأَرضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلمَعرُوفِ وَنَهَوا۟ عَنِ ٱلمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلأُمُورِ}

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di muka bumi…” (QS. Al-Hajj [22]: 41)

Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Ayat ini sebagai dalil bahwa Allah tidak akan menjanjikan kemenangan melainkan dengan syarat mereka melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Sedangkan orang-orang yang Allah teguhkan kedudukannya di muka bumi ini, Allah akan jadikan kalimat padanya dan memberikan kekuasaan pada mereka. Akan tetapi mereka yang tidak melaksanakan shalat, tidak mengeluarkan zakat, dan tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah dari yang mungkar, maka Allah tidak akan menjanjikan kemenangan kepada mereka dan mereka tidak termasuk ke dalam golongan Allah dan wali-wali Allah yang Allah janjikan kemenangan, tetapi mereka termasuk ke dalam golongan syaithan dan wali-wali syaithan.”[12]

Firman-Nya yang lain, Artinya: “Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengann sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur [24]: 55)

Jadi, syarat agar ummat ini mendapatkan kemuliaan (‘izzah) ialah Mentauhidkan Allah Ta’ala, menjauhkan segala macam perbuatan syirik, serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Bersambung…

REFERENSI:

Diringkas oleh: Yasmin Yuni Azrah (Pegawai Ponpes Darul Quran wal Hadits)

Sumber : Buku Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ditulis oleh Ustadzuna Yazid bin Abdul Qadir Jawas (rahimahullah) dan diterbitkan Pustaka Khazanah Fawa’id


[1]Mukhtasar Minhajil Qashidin (hlm. 156).

[2]Ahkamul Quran (I/266).

[3]Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 30) tahqiq Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Ruslan.

[4]Tafsir Ibnu Katsir (III/487).

[5]Shahih: HR. Muslim (no.55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu Hibban (no. 4555- at-Ta’liqatul Hisan ‘ala Hibban), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/165), dan lafazh ini milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Shahabat Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari radhiyallahu’anhu.

[6]Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 57, 524), Muslim (no. 56), Abu Dawud (no.4945), dan an-Nasai (VII/147-148).

[7]Majmu’ Fatawa (XXVIII/134).

[8]Shahih: HR. Al-Bukhari  (no. 2493, 2686), at-Tirmidzi (no. 2173), Ahmad (IV/268, 269, 270), al-Baihaqi (X/91) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4151), dari Shahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma.

[9]Lihat Syarah Tsalastsatul Ushul (hlm.31) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cet.III/ Dar ats-Tsurayaa lin Nasyr wat Tauzi’.

[10]Atsar Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (IX/no.8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalamal-Mushannaf (no.38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawa-id (IV/257), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahih.”/

[11]Jami’ul ‘Ulun wal Hikam (I/245).

[12]Adhwa-ul Baryan (V/703-704).

Baca juga artikel:

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal

Sikap Seorang Muslim Ketika Harus Membunuh atau dibunuh

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.