Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Kedudukan Akal dalam Islam

kedudukan akal dalam islam

Kedudukan Akal dalam Islam –

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله، أما بعد.

Segala puji bagi Allah ﷻ, yang telah menganugerahkan kepada  umat manusia hati nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allah ﷻ berfirman:

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَرَ وَالْأَفْئِدَةُ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian bersyukur (QS. An-Nahl/16:78)

Ibnu Katsir Rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allâh ﷻ memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati yakni akal yang tempatnya di hati untuk membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allâh ﷻ memberikan umat manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada Rabb-nya.”

Shalawat dan salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sang teladan, yang telah mendorong umatnya, untuk terus meningkatkan kemampuan akalnya dalam memahami agama ini, sebagaimana dalam sabdanya:

مَنْ يُرِد اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkannya dalam agamanya. (HR. Bukhari, no. 69; Muslim, no.1719)

Begitu pula dalam sabdanya :

خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، إِذَا فقهوا

Orang yang paling baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik setelah masuk Islam, jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu syariat). (HR. Bukhari, no. 3353; Muslim, no. 2378)

Lihatlah bagaimana Rasul memberikan dorongan kepada umatnya untuk menjadi Muslim yang benar-benar memahami syariat Islam, dan itu tidak mungkin dicapai, kecuali dengan memanfaatkan akalnya sebaik mungkin.

Perlu diketahui bahwa sebagian Ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan akan mendatanginya dari segala arah. (Miftahu Dâris Sa’adah, 1/117)

Tentunya adanya pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal insting dengan akal bentukan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang diperoleh seseorang. Bisa dikatakan bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal dasar adanya akal dasar. Sebaliknya, sangat jarang adanya akal dasar yang tidak berkembang seiring berjalannya waktu, wallahu a’lam.

Keutamaan Akal

Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allah ﷻ kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.

Karena besarnya karunia akal ini, Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan mengembangkannya, seperti:

  • Mengharamkan apa pun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan, minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi mereka yang Sengaja makan atau minum apa pun yang Memabukkan.
  • Memasukkan akal dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syariat Islam, yakni: agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
  • Menjadikannya sebagai syarat utama taklif (kewajiban dalam syariat). Oleh karena itu, ada batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya kurang sempurna akalnya. Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang akalnya, bebas atau gugur kewajibannya menjalankan syariat
  • Menganjurkan, bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu memberikan derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.
  • Melarang umatnya membaca bacaan atau mendengarkan perkataan-perkataan, yang dapat menyesatkannya dari pemahaman yang benar.

Semua hal di atas digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya, dan mengembangkannya. Bahkan dalam al-Qur’an, sangat banyak kita dapati ayat-ayat  yang mendorong agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna, terutama untuk mencari hakikat kebenaran. Berikut ini, merupakan sebagian kecil dari contoh ayat-ayat tersebut:

وَهُوَ الَّذِي يحِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا تَعْقِلُون

Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan siang. Tidakkah kalian menalarnya?! (QS. Al-Mukminûn/23:80)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

Katakanlah: Samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian dapat memikirkannya?/ (QS. Al-An’am/6:50)

أنظر كيفَ نُصَرِفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang- ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka memahaminya! (QS. Al-An’am/6:65)

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Tidakkah mereka merenungi al-Qur’ân?! Sekiranya ia bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (QS. An-Nisa’/4:82)

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَت (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20) فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنتَ مُذَكِّرُ (21)

Tidakkah kalian memperhatikan pada unta, bagaimana ia diciptakan? Dan pada langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan pada gunung-gunung, bagaimana itu ditegakkan? Dan pada bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan (QS. Al-Ghasyiyah/88:17-21)

Ilmu Lebih Tinggi Daripada Akal (Akal Membutuhkan Wahyu)

Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.

Diantara bukti adanya titik lemah pada akal manusia, adalah adanya banyak hakikat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti: hakikat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu seterusnya.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang untuk memahami dan menerima dengan apa adanya.

Oleh karenanya, Islam memberi ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk nash-nash yang diwahyukan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan,

“Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’an, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api” ( Majmů ul Fatawa, 3/338).

Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya dengan wahyu Allâh ﷻ. Ini merupakan bentuk lain dari penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang membingungkan.

Diantara beberapa hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:

  • Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allah ﷻ, surga dan neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.
  • Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti adab makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak kecil, dan lain-lain.
  • Ajaran syariat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan lain-lain.

Dalam perkara-perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.

Adapun yang berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus menemukan dan mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman Allah ﷻ:

أَوَلَمْ يَنظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ

Tidakkah mereka memperhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan Allah ?! (QS. Al-A’raf/7:185)

وَفِي الْأَرْض ءايات لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُوْنَ (21)

Di bumi itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin… dan juga pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian memperhatikannya?! (QS. Adz-Dzariyât/51:20-21)

Akal Bukan Sebagai Hakim,Namun Alat Untuk Memahami

Setelah kita memahami uraian di atas, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus menempatkannya pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya. Jika ada keterangan wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang harus didahulukan, dan akal harus menyesuaikan dengannya, memahaminya dan menerimanya dengan apa adanya. Memang kadang keterangan wahyu menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.

Akhirnya, penulis akan tutup tulisan ini, dengan perkataan yang layak ditorehkan dengan tinta emas, dari salah seorang Ulama besar Islam, Beliau adalah Ibnu Abil Izz Rahimahullah:

وَقَدْ تَوَاترَتِ الْأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ الله في نُبُوتِ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَنَعِيمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً، وَسُؤَالِ الْمُكَلَّفِينَ، فَيَجِبُ اعتقاد ثُبُوْتِ ذَلِكَ، وَالإِيْمَانُ بِهِ، وَلَا نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ. إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفُ عَلَى كَيْفِيَّتِهِ لِكَوْنِهِ لَا عَهْدَ لَهُ بِهِ غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ وَالشَّرْعُ لَا يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُولُ

Telah datang keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya, dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang akal tidak mengetahui gambaran detailnya. Demikian itu, karena akal tidaklah menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Syariat tidak datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang membingungkannya. (Syarhu Aqidah Thahawiyyah, hlm. 399)

 

Diringkas oleh: Laila Tazkiyatun M (Santriwati Khidmah Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur)

Referensi: Majalah As-Sunnah/EDISI 08/THN XVI/MUHARRAM 1434H/DESEMBER 2012M/Ustadz Musyaffa’ Rahimahullah

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.