Kaya dan Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah?

kaya dan sukes dunia akhirat

Kaya dan Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah? – Kekayaan dan besarnya penghasilan sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamour, cinta dunia yang berlebihan dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Karena itu, ada kesan orang-orang yang berduit sangat disibukkan dengan kekayaan mereka yang menyebabkan mereka lalai dari mengingat Allah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kemudian.

Kekayaan ini tentu saja merupakan ancaman fitnah besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah harta tersebut. Bahkan Rasulullah secara khusus memperingatkan umat dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabdanya :

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor srigala kelaparan yang dilepaskan kepada sekawanan kambing, lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap sekawanan kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya.”[1]

Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan mendorong orang untuk mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya. Sebab, umumnya sifat inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan keinginan berbuat kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama. Allah berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash/28: 83)

Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang muslim untuk selalu waspada dan intropeksi diri. Serta tidak terlalu percaya diri dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Utamanya orang-orang yang diberikan kekayaan dan rejeki yang berlimpah, cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah kepada hamba tersebut.

Tidakkah orang yang beriman khawatir dirinya akan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya, sebagai akibat dari fitnah harta, padahal hamba Allah yang paling sempurna imannya. Rasulullah mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya sebagimana tertuang dalam do’a beliau:

وَلَا تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ هَمِّنَا

“(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan) sebagai target utama kami.”[2]

  1. Fitnah Harta dan Dunia

Rasulullah bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[3]

Maksudnya menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (ujian yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (ujian bagimu), dan di sisi Allah lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghâbun/64: 15)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana merek berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka.”[4]

Dalam hadits ini terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta (orang-orang kaya) supaya mereka bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.[5]

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah kerakusan dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas atau cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya,[6] kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.

  • Memanfaatkan Harta Untuk Meraih Takwa Kepada Allah

Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah yang berisi celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah berarti celaan terhadap zat harta dan dunia itu sendiri. Akan tetapi, maksudnya adalah celaan terhadap kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allah, dan tidak menunaikan hak Allah padanya, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah/9: 34)

Bahkan banyak ayat Al-Qur’ân dan hadits Rasulullah yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah, di antaranya:

رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nûr/24: 37)

Sabda Rasulullah :

“Tidak ada hasad/iri (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah), (yang kedua) orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”[7]

Dari Anas bin Mâlik dia berkata,

“Ibuku (Ummu Sulaim) pernah berkata “(Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Mâlik)”. Anas berkata, “Maka Rasulullah pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku. Dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.”[8]

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan keturunan yang diberkahi Allah dan tidak melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya.[9]

  • Antara Kaya dan Miskin

Muncul pertanyaan, siapakah yang lebih utama si sisi Allah, orang kaya yang bersyukur dengan kekayaannya atau orang miskin yang bersabar dengan kemiskinannya?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan ada yang lebih mengutamakan orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga dinukil dari ucapan Imam Ahmad bin Hambal.[10]

Kedua pendapat ini masing-masing memiliki dasar argumentasi dari Al-Qur-ân dan hadits Nabi yang sama kuatnya, sehingga para ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan salah satu di antara dua pendapat tersebut, tapi mereka memilih pendapat yang menggabungkan keduanya, yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang paling besar ketakwaannya kepada Allah, berdasarkan keumuman makna firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13)

Maka orang kaya yang lebih besar rasa syukurnya lebih utama dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya dan sebaliknya.

Adapun para sahabat dan Tabi’in, tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut di atas yang lain. Sejumlah ulama lain berkata: “Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibandingkan yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka yang paling kuat iman dan takwanya itulah yang paling utama, kalau iman dan takwa keduanya sama, maka keutamaan keduanya pun sama.”

Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari Al-Qur-ân dan hadits Nabi menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allah dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Mengetahui terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’/4:135)

Di antara para Nabi dan sahabat yang terdahulu dan pertama (masuk islam) ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi Allah) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).

Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad, dan pada diri (dua sahabat) Abu Bakar dan Umar.

Akan tetapi, terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagu sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”[11]

  • Teladan Sempurna Dari Ulama Salaf

Generasi salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah. Berikut ini contoh sosok yang terkenal dengan sifat ini adalah sahabat yang mulia Utsmân bin ‘Affân bin Abil ‘Ash al-Umawi, salah seorang dari Khulafâur Râsyidiin dan sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah. Sahabat ini sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanannya.

Beliaulah yang membeli sumur Rûmah dari pemiliknya seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullah menjanjikan bagi beliau balasan air minum si surga kelak. Ketika Rasulullah ingin memperluas Masjid Nabawi, ‘Utsmân menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan masjid tersebut. Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan ‘Usrah dalam perang Tabuk, dengan menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Setelah itu, Rasulullah bersabda berkali-kali: “Tidak akan merugikan ‘Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini”.[12]

  • Jadilah Orang Kaya yang Zuhud

Menjadi orang yang zuhud bukanlah dengan harus menjadi miskin dan menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Akan tetapi, bersikap zuhud adalah dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk Allah, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, “Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) wakru sore lagi.”[13]

Sumber: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA. 2011. Kaya & Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah?. Majalah As-Sunnah.


[1] HR. at-Tirmidzi no. 2376, Ahmad 3/456, ad-Darimi no. 2730 dan Ibnu Hibban no. 3228, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.

[2] HR. at-Tirmidzi no. 3502, dinyatakan Hasan oleh Iamam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[3] HR. at-Tirmidzi no. 2336.

[4] HR. al-Bukhari no. 2988 dan Muslim no. 2961.

[5] Nasehat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam kitab Fathul Bari 11/245.

[6] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan hlm. 84 – Mawaridul Aman.

[7] HR. al-Bukhari no. 73 dan Muslim n0. 816.

[8] HR. al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 2481.

[9] Tafsir al-Qurthubi 11/80

[10] Al-Adabusy Syar’iyyah 3/468 dan ‘Uddatush Shabirin hlm. 146.

[11] Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam ‘Uddatush Shabirin hlm. 149-150.

[12] HR. at-Tirmidzi no. 3701 dan al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi, dan diyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.

[13] Dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam 2/384.

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.