Hukum Seputar Memberi dan Mengubah Nama Anak

memberi nama anak part 3

Hukum Seputar Memberi dan Mengubah Nama Anak – Para pembaca yang budiman. Anak adalah salah satu aset terpenting yang Allah karuniakan kepada pasangan suami istri. Dengan kehadirannyalah terasa indah dan nikmatnya hidup yang Allah berikan kepada kita. Dengannya pulalah bertambah nikmat Allah yang harus kita syukuri setiap saatnya. Pun dengan kehadirannya juga, setiap pasangan dituntut untuk mengetahui cara-cara dalam merawat, menjaga dan mendidik seorang anak.

Artikel sebelumnya kita telah membahas mengenai hukum seputar memberi nama anak dan terhenti di sub bab memberi nama yang makruh. Pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan dari buku Tuhfathul Maudud bi ahkamil maulud, insyaallah.

  • Menamai dengan nama-nama Allah

Di antara nama-nama yang dilarang untuk disandangkan kepada manusia adalah nama-nama Allah. Maka, tidak boleh seseorang menamakan dirinya dengan al-Ahad (Yang Maha Esa), ash-Shamad (Maha Sempurna, bergantung kepada-Nya semua makhluk), al-Khaliq (Maha Pencipta), ar-Raziq atau ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), dan nama-nama lainnya yang khusus disandangkan hanya untuk Allah semata.

Karenanya, para penguasa tidak dibolehkan menyandang gelar al-Qahir (Yang Mempunyai Kekuasaan Tertinggi), dan demikian pula azh-Zhahir (Yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya). Begitu pula mereka tidak boleh memakai gelar al-Jabbar (Maha Perkasa), al-Mutakabbir (Yang Mempunyai segal kebesaran dan keagungan), al-Awwal (Yang telah ada sebelum segala sesuatu), al-Akhir (Yang tetap ada setelah segala sesuatu), al-Akhir (Yang tetap ada setelah segala sesuatu), al-Bathin (Yang tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya), dan Allamul Ghuyub (Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib).

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Hani bahwasanya:

لما وفد إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المدينة مع قومه٫ سمعه يكون بأبي الحكم٫ فدعاه رسول الله صلى الله عليه وسلمدم فقال؛ إن الله هو الحكم وإليه الحكم فلم تكنى أبا الحكم؟ فقال؛ إن قومي إذا اختلفوا في شيئ أتوني٫ فحكمت بينهم٫ فرضي كلا الفريقينالفريقي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ما أحسن هذا٫ فما لك من الولد؟ فقال؛ لي شريح ومسلمة وعبد الله٠ قال؛ فمن أكبرهم؟ قلت؛ شريح. قال؛ فأنت أيو شريح

Artinya: “Bahwasanya ketika dirinya bersama kaumnya diutus untuk menemui Rasulullah ﷺ ke Madinah, Rasulullah ﷺ mendengar mereka memanggilnya dengan nama Abul Hakam. Maka, Rasulullah ﷺ pun memanggil dirinya seraya bersabda: ‘Sesungguhnya Allah itu al-Hakam (Yang Menetapkan Keputusan atas semua ciptaan-Nya), hanya pada-Nya segala hukum. Lalu mengapa kamu dipanggil Abu Hakam?’ Ia menjawab, ‘Karena kaumku, bila bersengketa dalam sebuah perkara, mereka datang kepadaku (untuk diputuskan perkaranya), maka aku pun memberi keputusan di antara mereka, dan ternyata kedua belah pihak menerima keputusanku.’ Rasulullah ﷺ pun mengapresiasinya, ‘Alangkah baiknya hal itu, akan tetapi apakah kamu mempunyai anak?’ Ia menjawab, ‘Ya, mereka adalah Syuraih, Maslamah, dan Abdullah.’ Beliau bertanya kembali, ‘Manakah yang paling tua?’ ‘Syuraih.’ Jawabnya. Maka beliau pun bersabda kepadanya, ‘Kalau begitu, (nama panggilan) kamu adalah Abu Syuraih.’”[1]

Abu Dawud menuturkan, dari Mathraf bin Abdillah bin Syakhir, ia berkata: dari Bapakku, beliau berkisah:

انطلقتُ في وفدِ بني عامرٍ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فقلنا أنت سيدُنا .فقال: السيدُ اللهُ تبارك وتعالى . قلنا: وأفضلُنا فضلًا، وأعظمُنا طولًا . فقال : قولوا بقولِكم ، أو بعضِ قولِكم، ولا يَسْتَجْريَنَّكم الشيطانُ

Artinya: “Aku bertolak bersama delegai Bani Amir untuk menemui Rasulullah ﷺ. (Setibanya di sana) kamo berkata, ‘Anda adalah sayyiduna (tuan kami).’ Maka beliau mengoreksinya: As-Sayyid (yang hakiki) adalah Allah ﷻ.’ Kami berkata lagi, ‘Dan, Anda adalah seorang yang paling tinggi keutamaannya di antara kami dan yang terbesar jasanya.’ Beliau bersabda kepada mereka, ‘Katakanlah semua yang ingin kalian katakan, atau sebagiannya saja, namun jangan kalian diperdaya oleh syaithan.’”[2]

Hal ini tidak menafikan sabda Nabi ﷺ lainnya: أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ “Aku adalah sayyid (pemimpin) anak Adam.”[3]

Pasalnya, hal tersebut merupakan ikhbar (pemberitahuan) atas karunia yang Allah berikan kepada beliau ﷺ berupa siyadah (kepemimpinan) terhadap umat manusia serta keutamaan dan kemulian beliau atas mereka. Sedangkan mensifati Allah ﷻ bahwasanya Dialah as-Sayyid, maka sifat tersebut merupakan sifat bagi-Nya ﷻ secara mutlak. Pasalnya, Sayyidul Khalq adalah Dzat yang menguasai seluruh urusan mereka, kepada-Nya mereka akan kembali, dengan perintah-Nya mereka berbuat, dan atas dasar firman-Nya mereka diciptakan.

Maka, apabila semua Malaikat, jin, dan manusia adalah makhluk ciptaan-Nya dan berada dalam kekuasaan-Nya, maka sekejap mata pun mereka tidak bisa berlepas diri dari-Nya. Semua keinginan dan kebutuhan mereka tertuju kepada-Nya. Dengan demikian, Allah ﷻ adalah as-Sayyid yang sebenar-benarnya.

Ali bin Abi Thalhah berkata: “Dari Ibnu Abbas, ketika ia menafsirkan firman Allah الله الصَّمَدُ )) : ﷻ ))  Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.’ (QS. Al-Ikhlash [112]: 2), ia berkata: ‘Dia adalah as-Sayyid yang sempurna kepemimpinan-Nya.’”[4]

Intinya bahwa seorang pun tidak boleh memberikan nama dengan nama-nama Allah yang hanya dikhususkan bagi-Nya. Adapun nama-nama yang dipergunakan untuk Allah dan juga untuk yang selain-Nya, seperti as-Sami” (Mendengar), al-Bashir (Melihat), ar-Rauf (Lembut), dan ar-Rahim (Penyayang), maka kebolehannya hanya sebatas untuk memberitahukan makna-maknanya sesuai dengan kapasitasnya sebagai makhluk. Akan tetapi, nama-nama tersebut tidak boleh digunakan untuk mereka secara mutlak, yaitu tidak menggunakannya sama seperti mereka gunakan untuk Allah ﷻ.

  1.  
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7.  
  8.  
  9. Menamai dengan nama-nama al-Qur-an

Di antara nama-nama yang dilarang untuk disandangkan kepada seseorang adalah nama-nama al-Qur-an dan nama surat-suratnya, seperti Thâha, Yasin, dan Hâmim. Imam Malik menyatakan makruhnya memberikan nama dengan Yasin, sebagaimana diriwayatkan as-Suhaili. Adapun apa yang diutarakan oleh orang-orang awam bahwa Yasin dan Thâhâ termasuk nama Nabi ﷺ hal itu tidaklah benar. Pasalnya, tidak ada satu pun hadits shahih, hasan, hadits mursal, ataupun riwayat dari para Sahabat yang menjelaskannya. Yang benar, Yasin adalah huruf- huruf (awal surat dalam al-Qur-an), seperti halnya alif lâm mim, hà mìm, alif låm rå, dan sejenisnya.

  1. Menamai dengan nama-nama Nabi

Mengenai dimakruhkannya memberi nama dengan nama-nama para Nabi, para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok.

Pertama: Hal itu tidak dimakruhkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan milah yang benat. Kedua: Hal itu dimakruhkan.

Abu Bakar bin Ahi Syaibah dalam Bab ‘Nama-nama yang Dimakruhkan’, ia menyebutkan: “Al-Fadhl bin Dikkin meriwayatkan kepada kami, dari Abu Khaldah, dari Abul Aliyah, dia mengatakan ‘Kamu melakukan yang lebih jelek dari itu, yaitu menamai anakmu dengan nama-nama para Nabi, kemudian kamu mencela mereka!’”[5]

Lebih jelas lagi yaitu apa yang disebutkan Abul Qasim as-Suhaili dalam ar-Raudh, ia berkata: “Pendapat Umar bin al-Khathab dalam hal ini, yaitu makruh hukumnya memberi nama dengan nama para Nabi.”[6]

Menurut saya (Ibnul Qayyim), ulama yang berpendapat haramnya memberi nama dengan nama para Nabi, bermaksud untuk memelihara nama-nama mereka (para Nabi) dari penghinaan dan perkataan jelek yang dilayangkan kepada para pemilik nama tersebut ketika dalam keadaan marah ataupun keadaan lainnya. Sa’id bin al-Musayyab pernahberkata: “Nama yang paling dicintai Allah yaitu nama para Nabi.”

Dalam Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah disebutkan: Thalhah memiliki sepuluh orang anak, masing-masing diberi nama dengan nama Nabi. Sedangkan az-Zubair mempunyai sepuluh anak, semuanya dinamakan dengan nama syahid (orang yang gugur dalam jihad di jalan Allah). Thalhah pernah berkata kepada az-Zubair: “Aku menamakan semua anakku dengan nama para Nabi, dan kamu menamakan masing-masing anakmu dengan nama-nama para syuhada, (apakah alasannya?).”Sesungguhnya aku sangat berharap agar anak-anakku kelak menjadi orang-orang yang gugur sebagai syahid di medan perang, dan kamu tentu tidak berharap agar anak-anakmu itu menjadi para Nabi!” terangnya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Musa -semoga Allah meridhainya.” ia berkata: “Aku dikaruniai seorang anak, lalu aku membawanya kepada Nabi, lalu beliau menamainya Ibrahim dan men-tahnik-nya dengan kurma.”

Al-Bukhari di kitab Shahih-nya menulis: “Bab: Orang yang Diberi Nama dengan Nama Para Nabi”. Lalu al-Bukhari menyebutkan: “Ibnu Numair meriwayatkan kepada kami, ia berkata: “Ibnu Bisyr meriwayatkan kepada kami, ia berkata: “Isma’il meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abi Aufa: ‘Apakah kamu pernah melihat Ibrahim, putra Nabi Ibnu Abi Aufa menjawab: “la (Ibrahim) meninggal dunia dalam usia masih kecil. Sekiranya ditakdirkan ada Nabi setelah Muhammad ﷺ tentu ia akan dipanjangkan umurnya, tetapi tidak ada Nabi setelah beliau.[7]

Setelah itu Imam al-Bukhari menuturkan hadits al-Bara’: “Ketika Ibrahim meninggal dunia, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّةِ

Artinya: “Sesungguhnya ia memiliki ibu yang menyusuinya di Surga.”[8]

Dalam kitab Shahih Muslim menuliskan sebuah judul bab, yaitu: “Bab Pemberian Nama dengan Nama Para Nabi dan Nama Orang-orang Shalih”. Lalu, dicantumkan sebuah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah yang berkata: “Ketika aku tiba di Najran, mereka bertanya kepadaku: “Pastinya kamu telah membaca firman Allah ﷻ: Artinya: ‘Wahai saudara perempuan Harun (Yaitu, Maryam binti Imran, ibunda ‘Isa)…’(QS. Maryam [19]: 28).

Sedangkan Musa (saudara kandung Harun) hidup dalam jarak waktu yang cukup jauh sebelum ‘Isa, (bagaimana menurutmu?)’ Maka, ketika menghadap Rasulullah ﷺ, aku pun menanyakan tentang hal itu. Beliau menjawab:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُوْنَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ

Artinya: ‘Sesungguhnya mereka diberi nama dengan nama-nama Nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.’”[9]

Kita masuk sedikit pada sub bab berikutnya, yakni tentang mengubah nama anak.

  • Mengubah Nama dengan Tujuan Baik

Dari Ibnu umar -semoga Allah meridhai mereka berdua-, bahwasanya Rasulullah ﷺ mengubah nama Ashiyah (artinya: durhaka). Beliau ﷺ berkata kepada pemilik nama tersebut: “Nama kamu adalah Jamilah (cantik).”[10]

Dalam kitab Shahihul Bukhari disebutkan: Dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَن زَيْنَبٍ كَانَ اسمها برة فقيل تزكي نفسها فسماها رسول الله صل الله عليه وسلم زينب

Artinya: “Dahulu Zainab bernama Barrah (baik), lalu ada yang berkata: ‘Dia telah mensucikan dirinya sendiri. Maka, Rasulullah pun menggantinya dengan nama Zainab,”[11]

Di kitab Sunan Abu Dawud, terdapat sebuah hadits dari Sa’id bin al-Musayyab, dari ayahnya, dari kakeknya, ia menuturkan:

أن النبي صلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اسْمُكَ قَالَ حُزْنٌ قَالَ أَنْتَ سَهْلَ قَالَ لَا السَّهْلَ يُوطَأُ ويمتهن قَالَ سَعِيدٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُصِيبُنَا بَعْدَهُ حُزُونَة

Artinya; “Bahwasanya Nabi bertanya kepadanya: “Siapakah namamu?’ ‘Huzn’ (sedih),’ jawabnya. Beliau pun mengubahnya: “Nama kamu adalah Sahl (mudah). Tetapi ia malah menolak: “Tidak, Sahl itu nama yang selalu diinjak dan direndahkan.” Sa’id mengungkapkan: “Setelah kejadian itu, kesedihan selalu menyertai kami.”[12]

Dalam kitab Shahihul Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِالْمُنْذِرِ بْنِ أَبِي أُسَيْدٍ حِينَ وُلِدَ؛ فَوَضَعَهُ عَلَى فَخِذِهِ فَأَقَامُوهُ، فَقَالَ: أَيْنَ الصَّبِيُّ؟ فَقَالَ أَبُو أُسَيْدٍ: أَقْلَبْنَاهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: مَا اسْمُهُ؟ قَالَ: فُلَانٌ، قَالَ: لَا ، وَلَكِنِ اسْمُهُ الْمُنْذِرُ

Artinya: “Bahwasanya al-Mundzir bin Abu Usaid dihadapkan kepada Rasulullah pada hari kelahirannya, lalu beliau memangku bayi itu di atas pahanya. Setelah itu, mereka membuat beliau berdiri (dari duduknya), lalu beliau berkata: ‘Anak itu di mana?’ ‘Kami telah membawanya pulang, wahai Rasulullah!’ jawab Abu Usaid. ‘Siapa namanya?’ tanya beliau. Abu Usaid menjawab: ‘Fulan (nama simbolis, penamaan yang buruk). Maka beliau bersabda: ‘Tidak, tetapi namanya adalah al-Mundzir.’”[13]

Abu Dawud dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Usamah bin Ukhdari, bahwa ada seorang yang bernama Ashram- salah satu utusan yang datang kepada Rasulullah-lalu beliau bertanya: “Siapa namamu?” “Ashram (yang paling berani),” jawabnya. Beliau berkata: “Tidak, namamu adalah Zur’ah (bercocok tanam).”

Abu Dawud menuturkan: “Beberapa nama yang diubah (diganti) oleh Rasulullah di antaranya: al-Ash, Aziz, ‘Utlah, Syaitan, al-Hakam, Ghurab, dan Syihab. Hubbab diganti dengan Hasyim, Harb diganti dengan Salm, Mudhthaji’ diganti dengan Munba’its. Begitu pula nama daerah, seperti: ‘Ufrah diganti dengan Khudrah, Sya’bud Dhalalah diganti dengan Sya’bul Huda, Banuz Zinah diganti dengan Banur Rusydah, dan Banu Maghwiyah diganti dengan Banu Risydah. Dalam hal ini, jelas Abu Dawud, aku tidak menyebutkan sanadnya, dengan tujuan untuk meringkasnya.”

Masyaallah pembahasan yang sangat menarik dan masih panjang dari apa yang dipaparkan di buku yang sangat fenomenal ini.

Insyaallah bersambung ke artikel berikutnya.

REFERENSI:

Disusun oleh: Tamim Abu Zubair, S.T. (Staff Ponpes DQH OKU Timur)

Referensi:

Qayyim, Ibnu (2022). Hanya Untukmu Anakku. (Harianto, terjemahan). Hal: 201-210. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii.


[1] HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, ath-Thabrani, dan lainnya.

[2] HR. Adu Dawud, al-Bukhari, Ahmad, an-Nasa’i, dan lainnya.

[3] HR. Muslim.

[4] HR. ath-Thabrani.

[5] HR. Ibnu Abi Syaibah.

[6] HR. ath-Thabrani.

[7] HR. al-Bukhari.

[8] Idem.

[9] HR. Muslim.

[10] Idem.

[11] HR. al-Bukhari dan Muslim.

[12] HR. Abu Dawud.

[13] HR. al-Bukhari dan Muslim.

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.