Halal Haram Bisnis Online (Part 3)

halal haram bisnis online bagian 3

Halal Haram Bisnis Online (Part 3)Kedua, bolehnya melakukan transaksi apapun terhadap barang, termasuk dengan menjual kembali keorang lain atau menyewakannya, dst.

Sebelum menjadtai taqabudh, barang belum boleh dijual kembali oleh pembeli meskipun barang itu sudah menjadi miliknya. Sahabat Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu bercerita; saya menjual makanan sebelum saya terima, dan saya mendapatkan keuntungan darinya. Ketika saya mendatangi Nabi dan aku sampaikan kasusuku kepadanya, beliau mengatakan,

لا تبعه حتئ تقبضه

Artinya: “jangan kamu menjualnya sampai kamu menerimanya” (HR. Nasai 4620, ibnu Hibban 4985 dan dishahihkan syuaib al-Arnauth).

Dalam hadits lain, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

من ابتا طعا ما فلا يبعه حتئ يستو فيه

Artinya: “siapa yang membeli makanan, janganlah dia jual, sampai dia terima. (Bukhori (2136) & Muslim (3913)).

Kasus dalam transaksi Online

Perhatikan ilustrasi berikut, Paijo membeli barang x secara online dari paidi. Setelah transfer barang dikirim. Bolehkah paijo menjual barang x ke mukidi ketika barang itu masih dala proses pengiriman? Jawabannya, tidak boleh, karena paijo belum menerima barang itu. Meskipun dia sudah membelinya, sudah memilikinya, sudah memiliinya bahkan sudah membayarnya secara tunai. Paijo baru boleh menjualnya dan menyewakannya setelah barang x sampai ditempatnya.

Kapan Taqabudh Terjadi?

Pada dasarnya, batasan terjadinya taqabudh, kembali kepada urf yang ada dimasyarakat. Yang intinya telah keluar dari wilayah penjual. Sehingga berbeda-beda antara satu barang dengan barang yang lainnya,

  1. Taqabudh tanah atau rumah adalah dengan menyerahkan sertifikat dan mengizinkan pembeli untuk memanfaatkan.
  2. Taqabudh emas dan mata uang, dengan dilakukan secara tunai, dari tangan ketangan.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

الذ هب بالذهب والفضة بالفضة مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فاذا اختلفت هذه الاصناف فبياعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد

Artinya: “emas dengan perak, perak dengan perak, harus sama kadarnya dan dari tangan ketangan (tunai). Jika jenisnya berbeda, silahkan kalian jual dengan ada selisih sesuai yang kalian inginkan, selama dari tangan ke tangan (tunai). (HR. Muslim (4147))

Emas dan Perak Tidak Boleh Dijual Online

berdasarkan hadits diatas, transaksi emas dan perak tidak boleh dilakuakn secara online. Karena bisa dipastikan tidak akan tunai. Bagian dari karakter transaksi online, uang dibayar diawal sementara barang dikirim. Sehingga ketika pembeli mentransfer uang, emas belum diserahkan, karena harus melalui proses pengiriman. Dan transaksi semacam ini termasuk bentuk riba nasi’ah. 

  • Makanan dan komoditas lainnya, disebut taqabudh jika sudah diterima oleh pembeli.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

لا تبعه حتى تقبضه

Artinya: “jangan kamu jual, sampai kamu terima barang itu.” (HR. Nasai 4620 dan Ibnu Hibban)

Dalam Ma’asyir syar’iyah yang diterbitkan oleh AAOIFI ada penjelasan tentang taqabudh dalam transaksi online,

يتحقق القبض شرعا في العقود المبرمت بالانترنت بكل الوسا ئل المتعارف عليها في القبض القيقي او الحكمي

Terjemahannya: “Serah terima yang legal syar’I dalam akad via internet bisa terjadi dengan semua sarana yang sudah biasa dikenal sebagai bentuk serah trima baik hakiki maupun hukmi.” (al-Ma’ayir as-Syar’ayah, hlm. 521-pasal 7- 1/7)

Catatan: Taqabudh haqiqi adalah serah terima dalam bentuk barang rill. Tagabudh huqmi artinya serah terima berupa sesuatu yang dianggap mewakili barang. Misalnya surat atau kelengkapan administrasi lainnya.

Kaidah dalam Transaksi Online

Ada beberapa kaidah umum yang bisa kita jadikan sebagai pertimbangan dalam memahami hukum transaksi online.

Pertama, bahwa hukum asal transaksi adalah mubah, selama tidak melanggar aturan syariat

Dalam masalah muamalah, syariat memberikan kelonggaran bagi masyarakat untuk mengembangkannya, selama tidak melanggar larangan. Manusia diizinkan melakukan transaksi apapun, sesuai dengan kondisi yang menurutnya menguntungkan. Kaidah ini berlaku sejak masa silam dan akan terus berlaku sampai akhir zaman.

Sehingga ketika ada model transaksi baru, baik offline maupun online, bika kita dekati dengan kaidah ini, bahwa hukum asal transaksi adalah mubah selama tidak melanggar larangan. Semua transaksi yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, bukan beliau yang menciptakannya. Namun itu sudah ada sejak zaman jahiliyah. Beliau hanya  memberikan aturan tambahan, untuk membatasi nama yang dibolehkan dan nama yang dilarang.

Sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau tidak pernah mengetahui adanya transaksi salam. Karena model akad ini tidak makruf di Mekah.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma menceritakan,

قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة والناس يسلفون فى الثمر العام والعامين فقل من سلف فى تمر فليسلف فى كيل معلوم ووزن معلوم

Artinya: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat telah melakukan transaksi salam untuk kurma kering selama setahun atau dua tahun. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang melakukan akan salam untuk kurma , silahkan lakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas.” (HR. Bukhari 2239 & Muslim 4202).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru menjumpai akad salam ketika beliau tiba di Madinah. Dan ketika mengetahui itu, beliau tidak melarang transaksi salam, namun beliau hanya memberi batasan. Agar tidak menjadi transaksi yang gharar dan memicu sengketa di belakang.

Dalam dunia online, ada banyak sekali model transaksi baru yang bermunculan. Sejarah internet dimulai pada 1969. Fiqh seputar internet tidak akan kita jumpai dalam kitab fiqh klasik. Masa itu sudah masuk era ulama kontemporer. Dan mereka selalu menekankan, pada prinsipnya manusia diberi kebebasa untuk melakukan akad apapun selama tidak melanggar larangan.

Kedua, Bukan syarat dalam transaksi harus terjadi pertemuan secara fisik antara penjual dan pembeli

Bukan termasuk syarat jual beli, harus terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli. Selama penjual telah membuka transaksi, maka pembeli boleh membelinya, sekalipun dia tidak bertemu dengan penjualnya. Karena bagian yang paling prinsip adalah adanya saling ridha. Sehingga ketika penjual telah membuka transaksi, berarti ia telah menyatakan bahwa barang yang dia tampilkan akan dijual. Ketika harga sudah tertera, pembeli berhak memiliki barang itu dengan menyerahkan uang senilai harga kepada penjua, dengan teknis seperti yang disepakati. Ini merupakan bentuk jual beli mu’athah yang dibolehkan oleh jumhur ulama.  Seperti transaksi jual beli pad kantin kejujurann atau jual belu yang dilayani dengan mesin, seperti minuman yang didisplay di mesin vending.

Ad-Dasuqi- Rahimahullah mengatakan, Transaksi jual beli terhitung sah dengan pernyataan akad apapun yang menunjukkan saling ridha secara urf. Baik sesuai makna bahasa ataupun tidak. Baik berupa ucapan, tulisan, isyarat ucapan atau tulisan atau salah satunya. ( al-Mausu’ah al-fiqhiyah, 9/19)

Dalam transaksi online di marketplace, transaksi jual beli dilayani dengan mesin. Sehingga sama sekali tidak terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli. Ketika penjual telah memposting barang di marketplace, menjelaskan kriteria, dan menyebutkan harganya, berarti dia telah membuka transaksi untuk barang itu. Selanjutnya, transaksi jual beli akan dilayani dengan mesin.

Ketiga, Bukan syarat dalam transaksi objek transaksi harus ada di majlis akad

Bukan termasuk syarat dalm jual beli, barang harus ada di hadapan pembeli. Kecuali untuk transaksi benda-benda ribawi yang sejenis, yang insyaAllah akan dibahas secara khusus di kaidah ke empa, adanya transaksi salam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan bukti akad hal itu, Muhammad bin Abil Mujallid -rahimahullah- bercerita,

Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah menyuruhku untuk menemui Abdullah bin Abi Aufaa radliallahu ‘anhuma dan keduanya berkata, “Tanyakanlah kepadanya apakah para sahabat nabi dizaman nabi mempraktekanjual beli salaf pada biji gandum?” abdullah menjelaskan, ”kami mempraktekan salaf dengan para petani bangsa syam untuk gandum halus, gandum kasar dan zaitun dengan takaran yang pasti sampai waktu yang pasti pula.”

Aku bertanya: ”apakah akad salamnya dengan orang yang memiliki asal barangnya ?”

Dia berkata: ”kami tidak pernah menanyakan hal ini kepada mereka.”

Kemudian keduanya mengutus aku untuk menemui Abdurrahman bin Abza lalu akan bertanya kepadanya, maka dia berkata, ”para sahabat nabi mempraktekan salaf dizaman nabi dan kami tidak pernah menanyakan kepada mereka memiliki pertanian atau tidak?”

Ketika akad salam dilakuakan, objek akad (barang) sama sekali tidak ada, tapi kriteria barang jelas. Penjual tidak memiliki barang dan bisa jadi bukan petani. Artinya, dia murni trader. Kulak barang sesuai pesanan dari syam, kemudian dibawa kemadinah sesuai pesanan pembeli. Keteragan lebih rinci seputar salam, bisa disimak di bab tentang salam. Dalam akd salam, penjual memiliki tanggungan untuk mendatangkan barang sesuai kriteria yang dipesan (al-mausuf fi dzimmah). Dalam transaksi online, barang tidak ada dimajlis akad, tapi barang dijelaskan dalam bentuk foto atau penjelas kriteria.

Bersambung…

Referensi:

Halal Haram Bisnis Online, Ammi Nur Baits, Pustaka Muamalah Jokja, Cetakan ke2, Dzul Qa’dah 1441.

Di ringkas oleh: Ulfa Salimatun Nisa (Pengabdian Ponpes DQH Oku Timur)

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.