Hakikat Pembangunan Umat

hakikat pembangunan umat

Berbicara tentang umat, yang akan dibahas pertama kali adalah tentang pengertian umat terlebih dahulu. Kata Umat yang berasal dari Bahasa arab ini memiliki beberapa makna. Ibnu Faris (wafat 395 H) di dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah menukil perkataan beberapa ulama ahli lughah, 105 diantaranya perkataan al-Khalil berikut: “Al-Ummah adalah agama.” Ia membawakan dalil berupa Firman Allah Subhanahu Wata’ala;

إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ

Artinya: ‘… sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami berada [ada suatu agama . . . .’(QS. Az-Zukhruf {43}; 23)

Menurut Abu Zaid, Lafadz la’ ummata lahu artinya adalah tidak memiliki agama.

Nabi bersabda tentang Zaid bin Amr bin Nufail; ‘Dan dia kelak akan dibandingkan sebagai orang yang beragama sendirian’[1]

Demikian pula orang yang berada psda suatu agama yang benar dan menyelisihi semua agama lain (yang bathil), maka ia adalah umat (umat).  Tiap golongan manusia yang dinisbatkan kepada suatu kegiatan tertentu dan disebut memiliki sutau kegiatan tertentu, maka mereka adalah umat.  Masing-masing dari setiap generasi manusia juga disebut umat[2]

Dari keterangan Ibnu Faris diatas, disamping umat (umat) bermakna agama, juga berarti orang yang memeluk agama yang benar.  Sekelompok manusia di suatu jaman tertentu disebut pula suatu umat.  Zaman pun disebut umat.  Maka umat bisa berarti golongan manusia atau bangsa.

Masih menurut Ibnu Faris, Umat (umat) bisa pula berarti sekelompok ulama[3] sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (ulama) yang menyeru kepada kebaikan….” (QS. Ali Imran [3] : 104)

 

Ia pun menyebutkan bahwa kata umat bisa berarti saat atau waktu [4] ia membawakan firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وَٱدَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ

Artinya: “Dan teringat (kepada) Yusuf sesudah beberapa waktu lamanya ….” (QS. Yusuf [12]: 45)

 

Keterangan Ibnu Faris tentang beberapa Makna umat itu juga disebutkan oleh pakar Bahasa Arab lain, baik yang telah dinukil perkataanya oleh Ibnu Faris maupun ulama lainnya.

Syaikh Dr. Muhammad Bin Musa al-Nashr menyebutkan kata ‘umat’ bisa berarti salah satu diantara empat makna[5],

Pertama; millah, yaitu akidah dan agama.  Ini sebagaimana Firman-Nya,

إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٍ

Artinya: ‘Sungguh kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama (QS Az-Zukhruf [43]: 22)

 

Kedua; sekelompok manusia yang berkumpul demi sesuatu  hal, yang sebagianya memimpin yang lain.  sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …’ (QS. Ali Imran [3]: 110)

Ketiga: Imam/pemimpin yang patut diikuti jejaknya dalam kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam firman- Nya

إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا

Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang merupakan teladan, yang senantiasa patuh kepada Allah dan lurus.” (QS. An Nahl [16] : 120)

 

Keempat : waktu, sebagaimana di dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala,

وَٱدَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ

Artinya: “Dan ia teringat (kepada) Yusuf sesudah beberapa waktu lamanya.” (QS. Yusuf [12]: 45)

Juga Firman-Nya :

وَلَئِنْ أَخَّرْنَا عَنْهُمُ ٱلْعَذَابَ إِلَىٰٓ أُمَّةٍ مَّعْدُودَةٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya jika kami undurkan adzab dari mereka sampai pada suatu waktu yang ditentukan.” (QS. Hud [11]: 8)

 

Jadi kata umat memiliki beberapa pengertian.  tetapi yang dimaksud kata umat dalam pembahasan ini adalah golongan manusia atau bangsa, khususnya umat islam.

Pembangun umat bisa diartikan sebagai kegiatan melakukan perbaikan.  Lawan katanya adalah melakukan perusakan, atau membuat kerusakan.  kegiatan melakukan perbaikan mencakup perbaikan keyakinan, ibadah dan ketaatan kepada Allah sedangkan melakukan perbuatan merusak mencakup  semua perbuatan kufur, syirik, nifak, dan bentuk kemaksiyatan lainnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ  أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan,’ ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqoroh [2]:  11-12)

Al-Hafidz Ibnu Kastir mengatakan dalam kitab Tafsir-nya menukil perkataan as-Sudi, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih; keduanya berasal dari Ibnu Abbas.  juga dari Riwayat Murrah ath-Thayyib al-Hamdani yag berasal dari Ibnu Mas’ud serta beberapa orang sahabat Nabi tentang ayat tersebut.

As-Sudi mengatakan : mereka (orang-orang yang dimaksud dalam ayat ini) adalah orang-orang munafik, bila dikatakan kepada mereka; janganlah membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab : “Sesungguhnya kami justru mengadakan perbaikan.”  kerusakan yang dimaksudkan ialah kekafiran dan tindak kemaksiatan.[6]

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

Artinya: “Dan jangan lah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Allah dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)….” (QS.Al-Araf [7]: 56)

Al-Hafidz Ibnu Katsir mejelaskan  bahwa Allah melarang membuat kerusakan di muka bumi. betapa lebih parah lagi membuat kerusakan sesudah perbaikan.  Sebab jika segala sesuatu sudah berajalan dengan baik dan benar, namun terjadi perusakan sesudahnya, maka ha itu merupakan perkara yang lebih parah dan lebih berbahaya bagi umat. Karenanya Allah melarang berbuat kerusakan sesudah ada perbaikan di bumi.  Allah memerintahkan supaya hanya beribadah, berdoa, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya saja. [7]

Maka pembangunan umat artinya adalah membangun atau melakukan perbaikan terhadap suatu bangsa dan atau suatu masyarakat hingga menjadi masyarakat yang beribadah kepada Allah berdasar ilmu, bebas dari segala kemusyrikan, bid’ah, khurafat serta dari dosa-dosa, bebas dari sikap melampaui batas dan sikap mengabaikan.

Tugas pembangunan umat semacam ini merupakan tugas penting para pendidik dan lembaga pendididkan, terutama pendididik muslim dan lembaga pendidikan islam. Semenjak dahulu, tugas pembangguan umat merupakan tugas para Rasul Allah.  Karena dakwah para rasul tidak lain kecuali supaya umat benar-benar menauhidkan Allah yaitu mengesakan peribadatan hanya kepada Allah dan berlepas diri dari kemusyrikan.

Rasulullah Subhanahu Wata’ala menegaskan dalam sabdanya, yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelum aku, kecuali menjadi kewajibannya untuk menunjukan kebaikan yang diketahuinya untuk mereka, dan memperingatkan umatnya dari kebutukan yang ia ketahuinya kepada mereka.”[8]

Jadi setiap nabi pasti mengajak umatnya melakukan apa yang baik dan memperingatkan mereka agar tidak melakukan suatu keburukan apapun. Padahal kebaikan serta keadilan terbesar adalah tauhid.  Sedangkan kedzaliman, ketidakadilan, serta keburukan atau kerusakan yang paling besar itu adalah kemusrikan, yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah.  Karena itu tauhid merupakan perintah  Allah terbesar, dan kemusyrikan merupakan larangan Allah terbesar.[9]

Umat dalam arti bangsa di sebuah negara akan menjadi bangsa yang eksis bila paling tidak memiliki dua unsur pokok, yaitu pemimpin dengan segala perangkat pendukungnya, dan yang dipimpin dengan segala lapisannya.  Unsur pemimpin ini harus ada, bagaimanapun keadaaanya.  Dikatakan orang-orang terdahulu, walau pemimpinnya jahat dan memerintah selama enam puluh tahun dengan kejahatan, itu lebih baik daripada sehari kehidupan umat tanpa seorang pemimpin[10]

Tiap-tiap pemimpin dan yang dipimpin, supaya bangsa dapat merasakan  hidup damai dan sejahtera, harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.  Dalam hal ini, Allah yang mengatur hak dan kewajiban tersebut dalam ayat-Nya:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا .يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh Allah memberi pengajaran yang terbaik kepadamu.  Sesungguhnya Allah adalah yang maha mendengar lagi melihat.  Hai orang-oarnag yang beriman, tattilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri diantara kamu.  kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu.  Maka kembalikanlah kepda Allah (Al-Quran) dan rasul (sunnah)nya,  jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.  Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4]: 58-59)

Ayat pertama itu berkaitan dengan kewajiban pemimpin, yaitu harus menunaikan Amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila mengadili orang-orang yang dipimpin, ia harus mengadili dengan adil.

Ayat kedua turun berkenaan dengan kewajiban orang-orang yang dipimpin, yaitu mereka harus menaati perintah serta ketetapan pemimpin, selama perintah atau ketetapan itu bukan kemaksiyatan. bila perintah atau ketetapan pemimpin adalah kemaskiyatan maka kemaksiyatan itu tidak ditaati. jika mereka memperselisihkan sesuatu, maka harus dikembaikan kepada kitabullah dan Sunnah Rasul.

Namun jika pemimpin itu tidak melaksanakan tugasnya dengan amanah dan terbukti bersikap tidak adil, maka umat sebaiknya tetap mentaati perintah pemimpin ini yang tidak termasuk bentuk kemaksiyatan.  Sebab mentaati pemimpin termasuk wujud ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.  Umat harus tetap menunaikan kewajiban mereka kepada pemimpin sebagai mana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,

Selanjutnya, pada suatu kondisi tertentu, suatu bangsa pastinya akan mengalami kendala-kendala internal.  Kondisi ini secara umum menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin terbagi menjadi empat, dan kendala kendala ini akan dibahas pada artikel selanjutnya, Insyaa Allah.

 

Referensi : Pendidikan Islam basi Pembangunan Umat

Penulis  : Ahmas Faiz Asifudin, Lc. MA

Diringkas oleh : Iis Rosmi Rojibah S.S. (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadist)

 

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya dengan lafadz; Ummatan Wahidatan, dengan sanad dha’if Wallahu alam

[2] Lihat Mu’jam Maqayis al-Lughah (hlm. 27).

[3] Mu’jam Maqayis al-Lughah (hlm.27).

[4] Mu’jam Maqayis al-Lughah (hlm.28).

[5] Muhammad bin  Musa an0Nasr, al-Intishar bin Syarhi ‘Aqidati Aimmanati al-Amshar wa Huwa al- musamma ‘Qurratu al-Ainain bin Syarhi ‘Aqidati ar-Raziyyain” (hlm. 137-1380. ad Dar al Atsariyah – Amman, Yordania, cet I, no 2104/2008

[6] Ibnu katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim (1/hlm. 79), tafsir surah Al-Baqoroh ayat 11.

[7] Tafsir al-Quran al-Adzim (ii/hlm.297)

[8] HR Musim. An-Nawawi, Syarh Shahih muslim (XII/hlm. 436, no 4753)

[9][9] LIhat Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarh Tsalatsah al-Ushul (hlm. 39-40).

[10] Ibnu Taimiyah, as-Siyasah asy-syariyah fi Ishlahi ar-Rai wa ar-ra’iyyah (hlm. 170). Dar alj=kitab al-arabi, tanpa tahun.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.