Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

BEBERAPA CARA MENJADI PEMBUKA PINTU KEBAIKAN

beberapa cara menjadi pembuka pintu kebaikan

Tiap jiwa sangat berhasrat kepada tujuan yang agung ini. Tentu diperlukan usaha keras untuk mencapainya. Bukan hanya hiasan bibir dan sekadar angan-angan semata. Dan tentunya, senantiasa mengharapkan pertolongan serta bimbingan Allah dalam mewujudkannya. Pertanyaan penting, yaitu: “Bagaimanakah Caranya Menjadi Pembuka Pintu Kebaikan?” jawabannya akan dibahas dalam beberapa tema berikut.

Ibnu Majah telah meriwayatkan dalam as-Sunan, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, dan juga perawi lain, hadits Anas bin Malik Rodhiallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam beliau  bersabda:

Sungguh, diantara manusia ada orang yang menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan. Dan sungguh diantara manusia ada yang menjadi pembuka pintu-pintu keburukan dan penutup pintu-pintu kebaikan. Maka berbahagialah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan! Dan celakalah orang yang Allah jadikan pembuka pintu keburukan![1]

Setiap muslim ingin mendapatkan kebahagiaan, keberuntungan dan kesuksesan hidup di dunia lebih-lebih di akhirat. Ketika menyimak hadits di atas, maka hati setiap muslim akan selalu rindu dan berharap agar masuk ke dalam golongan orang-orang yang menjadi pembuka pintu kebaikan. Dan dia membenci masuk ke dalam golongan orang-orang yang menjadi pembuka pintu keburukan. Ini adalah tujuan setiap muslim, dan itu sebuah keniscayaan.

Allah Sebaik-baik Pemberi Keputusan

Ketahuilah, bahwa al-Fattah “Dzat Yang Maha Memutuskan segala perkara”, Dialah Allah. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi keputusan. Al-Fattah adalah nama Allah yang sangat agung. Nama ini disebutkan dalam ql-Quran di dua tempat:

  1. Firman Allah عزوجل di dalam ayat yang menyebutkan doa Nabi Syu’aib:

رَبَّنَا ٱفتَح بَينَنَا وَبَينَ قَومِنَا بِٱلحَقِّ وَأَنتَ خَيرُ ٱلفَٰتِحِينَ ٨٩

Artinya: “…Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya”. (QS. Al  -A’raf [7]:89)

  1. Firman Allah عزوجل yang lainnya :

قُل يَجمَعُ بَينَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفتَحُ بَينَنَا بِٱلحَقِّ وَهُوَ ٱلفَتَّاحُ ٱلعَلِيمُ ٢٦

Artinya: “Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”. (QS. Saba’ [34]:26)

Sifat-Nya yang agung ini mempunyai beberapa makna. Yang oleh para ulama, sifat ini disebut sebagai konsekuensi dari nama al-Fattah.  Nama Allah al-Fattah, maknanya:

  • Allah memberi keputusan di antara para hamba-Nya dengan syariat-Nya
  • Allah memberi keputusan di antara para hamba-Nya dengan ganjaran-Nya.
  • Allah memberi keputusan di antara hamba-Nya dengan hukum-hukum-Nya yang bersifat qadar (takdir)

Allah عزوجل berfirman:

مَّا يَفتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحمَة فَلَا مُمسِكَ لَهَاۖ وَمَا يُمسِك فَلَا مُرسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعدِهِۦۚ وَهُوَ ٱلعَزِيزُ ٱلحَكِيمُ

Artinya: “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Fathir [35]:2)

Dialah Allah, yang Maha Pemberi keputusan. Maka itu, langkah yang harus ditempuh bagi siapa saja yang ingin menjadi pembuka pintu kebaikan adalah hendaklah dia memohon pertolongan kepada al-Fattah, dan “sebaik-baik Pemberi Keputusan”, seraya bertawassul (berdoa), merendahkan diri, penuh berharap karunia-Nya, dan bersikap tulus dalam beramal shalih.

Semua keputusan datang dari Allah. Kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat, beramal shalih, serta berakhlak mulia, Allahlah yang memutuskannya. Sebagian ulama Salaf pernah mengatakan, “Sesungguhnya akhlak itu adalah anugerah. Dan Allah bila mencintai hamba-Nya, Dia anugerahkan padanya akhlak mulia

Semua perkara berada dalam genggaman Allah sebelum dan sesudahnya. Manusia kadang dapat mendengarkan nasehat-nasehat yang baik, atau apa saja yang bermanfaat bagi dirinya, baik dalam urusan agama maupun dunianya. Ia pun mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, kebajikan dan keberuntungan. Tetapi hatinya terkadang berpaling dan membangkang, sedikit beramal dan berbagi.

Demikianlah karena taufik itu memang berada dalam genggaman-Nya, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya.

Mengesakan Allah عزوجل dan Ikhlas dalam beragama

Ketahuilah bahwa kunci-kunci kebaikan yang termulia dan agung secara mutlak adalah mengesakan Allah serta ikhlas dalam beragama untuk Allah. Kalimat tauhid merupakan kunci segala kebaikan, dan tauhid adalah kunci surga. Sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Umar bin al-Khathab bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

Tidaklah seseorang dari kalian berwudhu, kemudian dia meratakan air wudhunya, atau menyempurnakan wudhunya lalu membaca: Aku bersaksi bahwa tiada illah yang berhak diibadahi melainkan Allah semata dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, melainkan dibukakan baginya delapan pintu surga dan dia dipersilahkan masuk dari pintu mana saja yang dia suka.”[2]

Jadi, tauhid itu merupakan kunci surga. Siapa yang datang (pada hari kiamat) tanpa membawa kunci ini, yaitu kalimat tauhid, niscaya dia tidak akan bisa masuk surga. Karena itu, Allah berfirman tentang orang-orang kafir:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا وَٱستَكبَرُواْ عَنهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُم أَبوَٰبُ ٱلسَّمَآءِ وَلَا يَدخُلُونَ ٱلجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ ٱلجَمَلُ فِي سَمِّ ٱلخِيَاطِۚ وَكَذَٰلِكَ نَجزِي ٱلمُجرِمِينَ ٤٠

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.” (QS. Al-A’raf[7]:40)

Kalimat tauhid adalah لا إله إلا الله. Kalimat ini tidak akan berfungsi dan mengantarkan seorang hamba ke surga kecuali apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Al-Bukhari menyebutkan sebuah hadits dalam as-Shahih, dari Wahab bin Munabbih; seorang ulama generasi Tabi’in, bahwa dia pernah ditanya:

Bukankan kalimat “لا إله إلا الله” itu kunci surga? Dia menjawab: Ya, tetapi tidaklah disebut kunci kecuali jika memiliki gerigi-geriginya. Jika kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi, pintu itu akan terbuka, namun jika tidak, maka pintu itu tidak akan terbuka untukmu.”[3]

Para ulama menyebutkan bahwasanya syarat-syarat kalimat لا إله إلا الله ini ada tujuh. Mereka uraikan banyak dalil terkait dengan syarat tersebut di dalam kitab-kitab tauhid, dan secara singkat syarat-syarat kalimat لا إله إلا الله adalah:

  1. Mengetahui arti kalimat لا إله إلا الله dengan mengingkari semua yang disembah selain Allah, dan menetapkan ibadah hanyalah kepada Allah, dengan pengetahuan dan mengingkari kebodohan.
  2. Keyakinan yang menafikan keraguan.
  3. Kebenaran yang menafikan kedustaan.
  4. Keikhlasan yang menafikan kesyirikan dan riya.
  5. Kecintaan yang menafikan kebencian dan ketidaksukaan (keterpaksaan).
  6. Kepatuhan yang menafikan pengabaian.
  7. Penerimaan yang menafikan penolakan.

Karena kalimat tauhid yang agung ini adalah kunci surga, maka wajib atas setiap muslim yang ingin menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan untuk dirinya maupun orang lain agar mewujudkan tauhid dan keikhlasan hanya pada Allah, seraya mengharapkan wajah Allah dalam semua amal, ketaatan dan seluruh upaya pendekatan diri kepada-Nya.

Hendaklah ia dekatkan diri pada Allah عزوجل dengan cara beribadah kepada-Nya, berbuat baik ke sesama manusia dan bergaul dengan mereka secara baik.

إِنَّمَا نُطعِمُكُم لِوَجهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآء وَلَا شُكُورًا ٩

Artinya: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insan[76]: 9)

Berbuat dan melakukan semua amalan, semata-mata hanya ingin meraih pahala dari Allah, dan mencari janji Allah yang besar yang telah dijanjikan oleh-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas.

Ilmu yang bermanfaat

Yaitu ilmu yang bermanfaat bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Ilmu adalah asas. Agar menjadi pembuka pintu kebaikan, setiap hamba harus berilmu. Orang yang tidak berilmu, bagaimana mungkin ia bisa membedakan mana pintu kebaikan dan mana pintu keburukan? Bagaimana membedakan antara sunnah dan bid’ah? Bagaimana membedakan antara jalan petunjuk dan kesesatan? Bagaimana ia akan menjaga diri dari kebathilan sedangkan ia tidak memiliki ilmunya? Bagaimana bisa menjauhi sesuatu, orang yang tidak mengetahui cara menjauhinya?

Allah عزوجل berfirman:

قُل هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلمُشرِكِينَ ١٠٨

Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik (QS. Yusuf [12]: 108)

Allah عزوجل juga berfirman:

أَفَمَن يَعلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ ٱلحَقُّ كَمَن هُوَ أَعمَىٰٓۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلأَلبَٰبِ ١٩

Artinya: Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’d [13]: 19)

 Dan firman-Nya:

أَمَّن هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيلِ سَاجِدا وَقَآئِما يَحذَرُ ٱلأٓخِرَةَ وَيَرجُواْ رَحمَةَ رَبِّهِۦۗ قُل هَل يَستَوِي ٱلَّذِينَ يَعلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلأَلبَٰبِ ٩

Artinya: “Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Siapa yang ingin menjadi pembuka pintu kebaikan, dia harus semangat mencari ilmu yang bermanfaat dan memberikan perhatian yang maksimal dan mendalam. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih dari hadits Abud Darda dan hadits lainnya dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

Siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga dengan sebabnya.”[4]

Ilmu adalah akar dan pondasi yang kuat. Maka itu, sudah semestinya seorang hamba memberikan perhatian penuh kepada ilmu. Hanya dengan ilmulah dia menjadi bagian dari para pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Orang yang tidak menghiasi diri dengan ilmu berpotensi terjerumus dengan berbagai resiko seperti, kesesatan, bid’ah, dan amalan yang bersumber dari hawa nafsu, padahal ia menganggap dirinya telah berbuat kebaikan.

Hadits dari Abdullah bin Mas’ud sendiri, yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dia berkata:

Sungguh Rasulullah telah diajarkan pembuka-pembuka pintu kebaikan maupun penutupnya, dan juga kumpulan kebaikan.[5]

Jika anda mau menjadi pembuka pintu kebaikan, pelajarilah فوالخير وخواتمه وجوامعه yang kesemuanya itu terhimpun di dalam perkataan Imamul Khoir, panutan seluruh makhluk; yakni Muhammad bin Abdullah.

Demikian tiga cara untuk menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan, In syaa Allah cara-cara yang lainnya akan disampaikan pada artikel berikutnya. Mudah-mudahan beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat dimudahkan untuk mengamalkannya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin…

 

Referensi:

Al-Badr, Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin. 2019. Pembuka Pintu-Pintu Kebaikan. Jakarta: Pustaka Imam Asy-syafi’i,.

Diringkas oleh: Sesi Winarni (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur)

 

[1] Sunan Ibnu Majah (no. 337); as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim (no,297); Musnad ath-Thayalisi (no.2082); dan Syu’abul Iman,  al-Baihaqi (no. 698). Hadits ini derajatnya hasan menurut al-Albani dalam ash-Shahihah (no.1332).

[2] Shahih Muslim (no.234)

[3] Dikeluarkan oleh al-bukhari secara mu’allaq di dalam Kitab “al-Janaiz”

[4] HR. Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no.2682), Ibnu Majah (no. 223). Hadits ini  dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul Jami’ (no.6297)

[5] Al-Musnad (no.4160)

 

baca juga:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.