Bagaimana Seorang Pegawai Menjaga Amanah

Sifat amanah merupakan pondasi penting dalam pergaulan sesama manusia. Semua sisi pergaulan (mu’amalah) tak luput dari sifat amanah. Begitu pula dalam membangun kemitraan antara pekerja (pegawai) dengan pemilik pekerjaan (pimpinan), dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat amanah ini. Mengapa? Tulisan berikut ini membahas secara singkat sifat amanah ini, bagaimana keterkaitannya dengan seorang pegawai.

Sifat Amanah Merupakan Perintah Agama

Tidak lagi diperdebatkan bahwa menjaga amanah merupakan budi pekerti luhur. Amanah itu sendiri merupakan sifat universal. Artinya, sifat ini diterima semua pihak. Allah subhanahu wata’ala memasukkan sebagai bagian karakter yang menonjol pada seorang mukmin hakiki.

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَٱلَّذِينَ هُمْ لِأَمَٰنَٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَٰعُونَ (8)

Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al-Mu’minun/23:8)

Pengertiannya, bila seseorang diberi amanah maka ia tidak mengkhianatinya dan apabila berjanji tidak melanggarnya. Demikian ini merupakan sifat orang beriman, yang bertolak belakang dengan kebiasaan orang munafik.

Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih :

آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Artinya: Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat. (HR. Muslim, no.107).

Oleh karena itu, untuk membangun karakter yang baik ini, Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasalam mengeluarkan perintah supaya kaum Muslimin menunaikan semua amnah yang diembannya dan memperingatkannya dari berbuat khianat.

Adapun perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam yang menunjukkan mulianya sifat amanah ini, nampak dari larangan Rasullah shallallahu ‘alaihi wasalam terhadap kaum Muslimin agar tidak berkhianat, meskipun kita pernah dikhianati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ئْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Artinya: Tunaikanlah amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu. (HR. Abu Dawud 3535; at-Tirmidzi 1264, dan dihasankan oleh Al-Bani dalam ash shahihah, 424).

Satu Dayung, Meraih Gaji Sekaligus Menuai Pahala

Seorang pegawai atau karyawan yang menjalankan pekerjaan secara sungguh-sunnguh seraya mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala, hakikatnya telah menyelesaikan tanggung jawabnya.

Gaji menjadi haknya dapat ia peroleh di dunia ini. Disamping itu, ia pun mendapat kabar gembira berupa pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Ia terhitung sebagai timbangan amal baiknya di akhirat, disebabkan hatinya juga selalu mengharap ridha Allah asy-Syakur, yakni dengan upayanya untuk bekerja mencari rezeki. Terlebih lagi bagi seseorang yang sudah berkeluarga. Bekerja mencari rezeki merupakan pilihan dengan niat untuk menafkahi anggota keluarganya. Maka pahala yang besar telah ia peroleh, lantaran hasil jerih payah dan tetesan keringatnya untuk tujuan mulia, yaitu memberi nafkah kepada orang-orang yang ia kasihi.

Jam Kerja, Hanya Untuk Urusan Kantor

Adalah menjadi kewajiwan seorang pegawai untuk menggunakan jam kantornya (jam kerjanya) hanya untuk pekerjaan yang dipikulkan kepadanya. Karena, ketika seseorang melakukan akad untuk bekerja kepada pemilik pekerjaan, baik perseorangan, kantor, perusahaan maupun lembaga tertentu, pada hakikatnya ia telah mengikat dirinya dengan pekerjaan yang dibebankan oleh pihak kantor. Atas dasar demikian, maka seorang pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan yang bukan milik lembaga itu. Begitupula, ia tidak boleh memanfaatkan waktunya saat bekerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan inti pekerjaan.

Mengapa? Karena dengan akad tersebut, berarti waktu saat ia bekerja bukan milik sang pegawai dan pekerja itu lagi. Akan tetapi, menjadi milik pekerjaannya secara penuh. Yang dalam hal ini ia telah dan akan menerima upah sebagai imbalannya.

Syaikh Al-Muammar Al-Baghdadi (wafat 507H) pernah menyampaikan masukan kepada Nizamul-Mulki yang menjabat sebagai menteri pada masanya. Diantara untaian nasihat beliau sebagai berikut.

“telah dimaklumi bersama, wahai pemuka islam, bahwa setiap orang mempunyai pilihan dalam keinginan dan perbuatannya. Apabila mereka berkehendak maka akan meneruskannya. Dan bisa saja mereka mau, akan menghentikannya. Adapun orang-orang yang berada di bawah kekuasaan suatu lembaga (instansi), maka ia tidak mempunyai pilihan dalam keinginan maupun tindakannya. Sebab, barangsiapa yang menjabat sebagai pemimpin rakyat, pada hakikatnya ia sebagai orang sewaan yang telah menjual waktunya dan mengambil upah (sebagai imbalannya). Maka, tidak tersisa lagi waktu siangnya untuk ia pergunakan sesuai dengan kemauannya. Ia tidak boleh melakukan shalat sunnah, i’tikaf (saat waktu kerjanya), karena semua itu hanya bersifat fadilah atau (keutamaan tambahan) saja. Sedangkan pekerjaannya merupakan kewajiban yang harus ia kerjakan”. (kayfa, hlm. 11-12 lihat dzailu thabaqatil-hanabilah ibnu rajab, 1/107)

Sebagaimana seseorang ingin selalu menerima upahnya secara penuh dan tidak suka bila upahnya berkurang, meski hanya seribu rupiah, maka hendaklah ia tidak mengurangi waktu kerja nya untuk mengerjakan kesibukan diluar pekerjaannya. Misalnya memanfaatkan waktu kerjanya, atau bahkan menghabiskannya untuk keluyuran dipasar, atau tempat lain, atau justru pulang ke rumah. Karena ini berarti mengurangi kewajibannya yang menjadi hak pemilik pekerjaan.

Tanpa disadari, dengan memanfaatkan waktu yang tidak terkait dengan pekerjaan, hakikatnya ia telah melakukan tindak korupsi, menghianati amanah. Korupsi itu sendiri tidak hanya menyangkut menilep uang negara, perusahaan, atau kantor. Akan tetapi, mengurangi jam kantor untuk keperluan pribadi termasuk dalam kategori korupsi “kecil-kecilan”. Begitu pula dengan pemandangan yang nampak di perkantoran-perkantoran, seperti “bersantai ria” tanpa melakukan aktifitas yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, perbuatan ini sangat ironis, berlawanan dengan tuntutan sang pegawai yang menginginkan agar upah tetap diterima secara penuh. Tetapi giliran melakukan penyunatan waktu kerja dengan memanfaatkannya untuk urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, ia melakukannya tanpa beban, seolah diperbolehkan. Kemudian ketika mendapat pengurangan upah, ia tidak menerimanya dan mengajukan keberatan.

Memberikan Pelayanan Terbaik Dengan Sepenuh Hati

Setiap orang ingin mendapatkan pelayanan secara baik dari orang lain. Begitulah yang semestinya dlakukan oleh para pegawai kantor yang pekerjaannya melayani masyarakat. Oleh karena itu, ia dituntut memberikan pelayanan secara baik kepada orang lain yangmembutuhkan bantuaannya.

Timbulnya ungkapan jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Atau kalau rela dan bisa dimintai”dana tambahan”, mengapa tidak? Ungkapan seperti ini menunjukkan adanya gambaran rusaknya mental sebagian pegawai di kantor-kantor, apalagi di tempat-tempat yang di kenal sebagai “lahan basah”. Padahal kewajiban sebagai pegawai ialah melayani kepentingan masyarakat secara baik. Bahkan mental demikian ini bisa menunjukkan tingkat keimanan seseorang.

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: Tidaklah beriman slah seorang dari kalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya sendiri. (HR. Al-Qur’an-Bukhari, 13 dan Muslim, no.45 dari sahabat Anas)

Mendahulukan Orang Yang Pertama Datang

Seorang pegawai kantor, baik pegawai pemerintah maupun lembaga lain yang bersinggungan dengan kepentingan publik, dalam melayani kepentingan masyrakat haruslah bersikap adil. Salah satu yang menujukkan indikasi sikap adil, yaitu melayani berdasarkan urutan kehadirannya. Siapapun yang datang lebih awal, dialah ang berhak didahulukan untuk mendapatkan pelayanan. Sehingga bukan justru mengutamakan orang berdasarkan tingkat sosial, kekayaan atau standar lainnya. Nili positif dari pelayanan yang adil ini, akan menumbuhkan ketenangan, bik bagi diri pegawai maupun masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Tidak Menerima Suap!

Sudah menjadi kewajiban setiap pegawai untuk menjaga kehormatan dirinya, berjiwa besar, serta menjauhkan diri dari memakan harta manusia dengan cara batil, seperti suap, walaupun si pemberi menamakannya sebagai hadiah, bingkisan, atau uang jasa, atau ungkapan terima kasih.

Dalam Islam, menerima suap dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Karena dengan menerima suap, berarti ia telah memakan harta orang lain dengan cara batil. Perbuatan ini tentu menimbulkan dampak buruk. Diantaranya, do’anya tidak dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُنْتِنُ مِنْ اْلإِنْسَانِ بَطْنُهُ فَمَنْ اسْتَطَا عَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلاَّ طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ

Artinya: Sesungguhnya, yang pertama kali membusuk dari manusia (setelah meninggal) ialah perutnya. Maka barangsiapa mampu tidak makan kecuali yang baik-baik, maka hendaklah ia lakukan. (HR. Al-Bukhori No.7152 dalam shahihnya, dari jundub bin Abdillah).

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَيُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Artinya: Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang seseorang tidak lagi memperdulikan harta yang diambil, apakah dari yang halal atau dari yang haram. (HR. Al-Bukhari, 2083).

Pada zaman yang dilukiskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam tersebut, banyak manusia yang nantinya menganggap barang halal, ialah barang yang telah berada dalam genggamannya. Adapun yang haram, karena belum sampai kepadanya. Ukuran ini tentu sangat berbeda dengan yang ditetapkan syariat Islam. Karena menurut Islam, barang halal ialah yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul Nya, sedangkan barang haram ialah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan RasulNya.

Pimpinan, cermin keteladanan dan kemalasan

Menjaga amanah dalam bekerja tidak hanya menjadi kewajiban pekerja, pegawai atau bawahan nya saja, tetapi juga harus dijaga oleh pimpinan selaku pemberi tugas (pekerjaan). Karena pekerja yang sudah baik, tetap membutuhkan keteladanan dari para pimpinan. Para pimpinan mempunyai andil dalam mempengaruhi etos kerja bawahannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila para pejabat teras disebuah instansi menegakkan kewajibannya dengan baik dan sempurna, maka otomatis mereka menjadi cermin keteladanan bagi para bawahannya. Tetapi sebaliknya, jika mereka tidak bekerja dengan baik, maka tanpa disadari, mereka turut andil menurunkan etos kerja bawahannya, bahkan sangat mungkin bawahannya bersikap pasif dan apatis. Oleh karena itu, setiap pemimpin harus menyadari bahwa pertanggung jawaban seorang pemimpin tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, yang artinya:

setiap dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Seorang ‘Amir yang memimpin manusia adalah pemimpin mereka dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas tugas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang budak pemimpin pada harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang itu, ingatlah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinannya. (HR. Al-Bukhari, 2554, dan Muslim, 1829, dari sahabat ‘Abdullah bin Umar).

Semgoga Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin, terutama orang-orang yang sedang menerima amanat, agar mereka mampu melaksanakannya dengan cara-cara yang dapat mendatangkan keridoan Allah dan keberkahan dari Nya.

Naskah diadaptasi oleh Ustadz Muhammad Ashim Musthofa, dari kitab Kaifa Yu-addil Muwazhzhaful-Amanah, karya Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-Qur’an-Badr.

Diringkas dari Majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan 06-07/Tahun Xi/1428H/2007M

Di Ringkas Oleh: Afifah Evi Utami (Idad Muhaffidzat Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.