Bacalah Terkait Amalan Hati – Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi yang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Amma ba’du
Bahkan orang-orang yang ekstrim di antara mereka tidak bisa membedakan antara perintah dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan apa yang ada dari keadaan yang terjadi pada orang-orang kafir. Mereka menganggap bahwa semua itu terjadi karena takdir dari Allah semata dan karena kehendak-Nya, juga termasuk dalam kekuasaan-Nya. Tidak membedakan antara wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya, antara orang-orang mukmin dan kafir, antara orang yang selalu taat dan orang yang selalu maksiat. Berdalil dari perkataan yang bersifat umum dari beberapa ulama atau dari ulama mereka sendiri.
Inilah perkara yang harus diperhatikan bagi yang mengharap pahala dari Allah, karena menyepelekannya bisa membawa kepada kekufuran dan kefasikan sebagaimana yang terjadi pada mereka. Bahkan mereka akan ikut andil dalam permusuhan dan pemberontakan kepada pemimpin yang dzhalim dan anarkis, seperti halnya yang membantu orang-orang yang melakukan kerusakan, dengan anggapan bahwa keadaan mereka ini bisa menjadikan mereka wali-wali Allah, karena hati pengaruhnya lebih besar dibanding anggota badan, kalau hati itu baik maka pengaruhnya positif dan apabila jelek maka pengaruhnya negatif. Kondisi dan keadaan itu bisa dicintai atau tidak oleh Allah. Para fuqaha’ menyebutkan bahwa qishas itu wajib bagi yang membunuh orang lain secara sembunyi, dengan alasan bahwa bathin dan luar mereka termasuk al-amr al-kauniy, serta mereka beranggapan bahwa setiap kejadian yang di luar batas manusia, entah itu berupa penampakan yang mereka lihat atau pengaruh atas sesuatu yang sesuai hawa nafsunya maka itu adalah karamah. Mereka tidak mengetahui bahwa itu (sebenarnya) adalah kehinaan, sedangkan karamah itu hanya didapat dengan selalu istiqamah. Dan Allah tidak akan memberikan seorang sebuah karamah yang lebih besar dibanding di beri taufiq untuk selalu mengerjakan apa yang dicintai dan di ridhai-Nya serta mencintai wali-wali-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Mereka lah wali-wali Allah yang disebutkan dalam firman-Nya:
ألآ إنّ أولياًء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون.
Artinya: “Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)
Jika mereka melakukan apa yang Allah wajibkan maka mereka termasuk golongan al-muqtashidin, dan jika melakukan apa yang diwajibkan dan apa yang dicintai-Nya maka mereka termasuk golongan al-muqarrabin, meskipun setiap yang diwajibkan ini dicintai Allah dan tidak setiap yang dicintai-Nya belum tentu menjadi kewajiban. Adapun hal hal yang menimpa seseorang dari kesenangan yang diluar batas manusia maka itu bukan karamah, dan musibah yang menimpa bukan sebuah kehinaan baginya. Semua itu kembali kepada mereka, bila mereka taat maka akan bahagia, jika mereka maksiat maka akan sengsara.
Manusia dalam hal ini terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: mereka yang derajatnya naik dengan perkara-perkara di luar batas manusia (karamah) jika mereka gunakan dalam ketaatan.
Kedua: mereka yang akan mendapat adzab jika mereka gunakan dalam maksiat. Seperti cerita Bai’am dan yang lainnya.
Ketiga: mereka yang mendapatkannya, tetapi menjadi perkara yang mubah saja.
Golongan pertama adalah mereka yang benar-benar beriman dan selalu di atas petunjuk Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang merupakan pemimpin anak cucu adam. Mereka mempunyai keyakinan bahwa karamah yang ada padanya itu untuk menegakkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau digunakan untuk ketaatan kepada-Nya. Dikarenakan banyak penyelewengan dalam masalah ini, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam pun telah melarang berbicara berlebihan (secara mendalam) dalam masalah qadar tanpa ada keinginan dan semangat untuk melakukan kebaikan. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
المؤمن لقويّ خير وأحبّ إلى الله من المؤمن الضّعيف، وفي كلّ خير. احرص على ما ينفعك وستعن با لله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل: لو أنّي فعلت كان كذا وكذا ولكن قل: قدّر الله وما شاء فعل، فإنّ لو تفتح عمل الشّيطان.
Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah pada hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu maka jangan mengucapkan, ‘Seandainya aku melakukannya, maka akan terjadi demikian dan demikian,’ akan tetapi ucapkanlah, ‘Allah telah menakdirkan dan jika Dia berkehendak maka akan Dia lakukan.’ karena sesungguhnya kata ‘seandainya’ membuka amalan syaithan.” (Shahih, HR. Muslim dalam shahihnya)
Sesungguhnya semangat terhadap sesuatu yang bermanfaat itu merupakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Subhnahu Wa Ta’ala; setiap hal yang bermanfaat juga merupakan ketaatan kepada-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat baginya hal itu; dan setiap hal yang digunakan untuk ketaatan maka itu termasuk ketaatan meskipun itu adalah hal yang mubah. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela sifat lemah, yang mana hal itu adalah tidak menuaikan kewajiban dengan sepenuhnya. Kelemahan itu menghilangkan kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dan bukan yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Pertama, mereka yang hanya memperhatikan sisi perintah, larangan dan ibadah serta mengakui bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk disembah, namun tidak memperhatikan sisi qadha dan qadar serta tawakkal dan isti’anah. Mereka ini banyak terdapat pada ahli fiqih dan ahli ibadah. Meskipun niat mereka sangat baik namun kelemahan dan kerendahan mereka sangat dominan. Bukankah meminta tolong kepada Allah, berdo’a dan bertawakal kepada-Nya merupakan sebab-sebab yang menguatkan seseorang dan memudahkan segala urusannya. Sebagian ulama mengatakan, “Barang siapa ingin menjadi orang yang paling kuat dan tegar, maka hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.”
Kedua, mereka meyakini Rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sangat butuh kepada-Nya, dan mereka juga meminta pertolongan kepada-Nya tetapi dalam hal yang sesuai hawa dan keinginan mereka saja tanpa memperhatikan hakikat perintah dan larangan atau yang berkaitan dengan ridha Allah atau marah-Nya. Mereka ini banyak dari golongan shufi dan faqir, maka dari itu kebanyakan dari mereka beramal pada keadaan tertentu yang biasa dilihat saja, dan tidak berniat untuk mencari ridha Allah dan cinta-Nya. Lebih parah lagi, mereka mengira bahwa maksiat kepada Allah itu merupakan upaya memperoleh keridhaan-Nya sehingga menjadikan mereka menyelisihi perintah dan larangan. Itu yang mereka namakan dengan hakikat. Mereka juga mengira bahwa hakikat qadar itu adalah berbicara (secara mendalam) dan tidak harus memperhatikan perihal hakikat perintah Allah yang bisa mendatangkan keridhaan dan cinta-Nya.
Keadaan mereka bermacam-macam. Di antara mereka ada yang kembali kepada kemaksiatan dan kefasikan, bahkan banyak di antara mereka yang kufur. Sebenarnya tolak ukurnya adalah ketakwaan, yang tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya maka dia bukan orang yang bertakwa. Ada di antara mereka yang mengerjakan perbuatan bid’ah yang biasa dilakukan orang musyrik dan menganggapnya bagian dari syari’at. Ada juga yang beragumen dengan takdir atas maksiat yang mereka lakukan. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyebutkan dalam surah al-An’am dan al-A’raf kesalahan orang-orang musyrik dalam hal ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menegur dan mencela atas apa yang mereka haramkan yang sebenarnya itu tidak haram, dan atas apa yang mereka ada-adakan dalam urusan agama.
Ketiga, mereka yang enggan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka ini adalah golongan yang paling buruk.
Keempat, golongan terpuji. Mereka yang merealisasikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang artinya: “Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah kami kami memohon pertolongan.” Dan dalam firman-Nya yang lain yang artinya: “Maka beribadahlah kepada-Nya dan bertawakkallah kepada-Nya.” Maka mereka selalu meminta tolong kepada Allah dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya. Mereka bersaksi bahwa Allah adalah Ilah mereka yang tidak boleh diibadahi kecuali hanya Dia, yaitu dengan menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya.
Sebagian ulama mengatakan, “Terlalu bergantung pada sebab-sebab (dalam bertawakkal) adalah syirik; tidak menjadikannya sebagai sebab adalah tanda akal tidak sempurna; dan tidak melakukan hal itu sama sekali sama saja mencela syari’at. Tawakkal adalah hal yang di dalamnya terdapat tauhid, akal dan syari’at.” Maka barangsiapa yang mengira bahwa tawakkal itu dilakukan oleh orang-orang yang menempuh jalan (kepada Allah) secara umum, maka dia telah salah. Seperti yang dikatakan oleh penulis ‘Ilal Maqamat’ dan beliau termasuk guru besar. Serta muridnya, penulis kitab Mahasinul Majalis. Argumen mereka lemah, karena mereka mengira bahwa tawakkal itu hanya dilakukan pada perkara yang mubah saja, dan sebenarnya meraih yang diinginkan dengan tawakkal tidak bermanfaat sama sekali. Kesalahan ini juga terdapat pada perkara do’a dan mengerjakan amalan yang diperintahkan. Seperti halnya orang yang bertawakkal tanpa melakukan usaha-usaha yang mana itu merupakan ibadah. Tidak melakukan usaha-usaha dalam bertawakkal adalah keliru.
Jadi yang bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan meminta perkara-perkara mubah saja dia termasuk orang-orang biasa, dan meminta hal-hal yang mustahabb dan wajib maka dia termasuk golongan yang istimewa. Sebagaimana orang yang meminta sesuatu yang diharamkan maka dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Orang yang tidak bertawakkal maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia menunjukkan imannya yang tidak sempurna, serta itu bukan tawakkalnya orang-orang yang istimewa. Terkadang, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan kalimat “hasbiyallaah” dalam hal untuk mendatangkan manfaat, dan di waktu yang lain dalam hal menghilangkan bahaya.
Ridha dan tawakkal selalu mengiringi sesuatu yang ditakdirkan, tawakkal sebelum tersebut terjadi, sedangkan ridha setelahnya. Adapun sebelum terjadi sesuatu yang ditakdirkan maka itu sejatinya adalah kemauan untuk ridha dan bukan ridha itu sendiri. Oleh karena itu, sebagian ulama ber’azzam untuk ridha sebelum terjadinya musibah, apabila terjadi musibah maka ‘azzam tersebut adalah menjadi ridha, sebagaimana halnya dalam kesabaran dan yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
و لقد كننتم تمنّون الموت من قبل أن تلقوه فقد رأيتموه وأنتم تنظرون.
Artinya: ”Dan kalian benar-benar mengharapkan mati (syahid) sebelum kalian menghadapinya, maka (sekarang) kalian sungguh telah melihat dan kalian menyaksikannya.” (QS. Ali Imran: 143).
Oleh karena itu, tidak dianjurkan bagi seseorang untuk melazimkan sesuatu atas dirinya dengan hal yang tidak diwajibkan, seperti dengan janji dan nadzar atau yang lainnya. Seperti meminta wilayah (kepemimpinan), atau mendatangi tempat yang tersebar penyakit tha’un (kolera). Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya dengan tujuan ibadah. Ibadah adalah satu nama yang menghimpun kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah hingga puncaknya dan bentuk kesempurnaan kehinaan dirinya kepada-Nya hingga puncaknya. Tidak menjadi ibadah kecintaan yang kosong dari kehinaan kepada Allah dan tidak menjadi ibadah kehinaan yang kosong dari kepada Allah. Ibadah itulah yang menggabungkan kedua hal yang sempurna tadi. Karena itu, ibadah ini harus ditujukan kepada Allah semata, meskipun manfaatnya kembali kepada hamba-Nya, karena Allah adalah Dzat Yang Mahakaya yang tidak membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya, dan ibadah tersebut hanyalah untuk-Nya jika dilihat dari cinta dan ridha-Nya. Karena itulah disebutkan bahwa Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya, dibanding seorang yang kehilangan untanya yang padanya terdapat bekal makanan dan minumannya di tengah padang pasir yang mencekam, ketika ia tidur dalam keadaan putus masa lalu dia terbangun dan mendapati kembali untanya yang hilang, namun sesungguhnya Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya dibanding orang tersebut terhadap hewan tunggangannya itu. Dan ini memiliki kaitan dengan perkara-perkara yang sangat agung, dan kami telah menjelaskannya panjang lebar di tempat lain.
Tawakkal dan isti’nah adalah bagian untuk hamba-Nya karena ia adalah sarana yang digunakan oleh seorang hamba untuk mencapai ibadah yang merupakan maksud dan tujuannya. Isti’anah itu seperti do’a dan memohon kepada Allah. Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kitab ad-Du’a, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam, sesungguhnya ada empat perkara: satu untuk-Ku dan satu untukmu; satu antara Aku dan engkau dan satu lagi antara engkau dan makhluk-Ku yang lain. Adapun yang untuk-Ku adalah engkau beribadah kepada-Ku dan tidak berbuat syirik, sedangkan yang untukmu adalah amalanmu yang Aku balas dan itu lebih engkau butuhkan. Adapun yang satu antara Aku dengan engkau adalah do’amu yang Aku kabulkan, sedangkan yang satu antara engkau dan makhluk-Ku adalah bergaullah dengan manusia dengan sesuatu yang mana engkau suka diperlakukan dengannya (akhlak yang baik).'”
Referensi :
Amalam Hati, Kewajiban Beramal Atas Seluruh Hamba-Nya, Griya Ilmu, Cetakan ke tiga Rabi’ul Awwal 1442 H/ November 2020 M
Diringkas oleh: Adzra Balqis (pengabdian ponpes DQH OKu Timur)
BACA JUGA :
Leave a Reply