Akad-Akad Investasi Yang Di Syariatkan (Bagian 2)

akad investasi yang disyariatkan (bagian 2)

Akad-Akad Investasi Yang Di Syariatkan – Alhamdulillah puji syukur senantiasa Allah beri kita kenikmatan hingga sekarang ini. Sholawat beserta salam tak lupa kita hadiahkan kepada junjungan nabi muhamad shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga, sahabat, dan para pengikut nya.

Rukun Kedua: Objek Transaksi

Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan.

Pertama: Modal

Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:

Harus diketahui. Kalau tidak diketahui jumlahnya, hanya spekulatif, maka tidaklah sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika aliansi dibubarkan. Dan hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa mengetahui jumlah modal.

Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian. Karena dengan itulah aliansi ini bisa terlaksana, sehingga

eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.

Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang tertuduh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.

Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan syarat sahnya bentuk syarikah ini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau secara justifikasi. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari pengelola dan tanggung jawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam pengelolaan dan tanggung jawab bersama.

Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama jenisnya, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hanbaliyah. Misalnya salah satu pihak mengoperasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak lain dalam bentuk rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihitung dengan dua cara berbeda:

  1. 1. Kalau dalam mengelola bisnis-bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang tersebut secara bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru kemudian keuntungan yang ada dibagi dua.
  2. 2. Kalau mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi, sementara masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka dengan dasar itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh mata uang tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.

Kedua: Usaha

Adapun yang berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas mengoperasi kan hartanya, apalagi bisnis partner dalam syarikah ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan syarikah praktis, bukan syarikah substansial. Sementara dalam kasus ini yang terjadi adalah syarikah praktis dan sekaligus substansial secara bersamaan.

Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada yang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga: Keuntungan

Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:

Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak diketahui, syarikah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pembagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.

Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan presentasi tertentu. Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syarikah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syarikah dalam keuntungannya.

Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan

jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang lain, sehingga tidak rela bila keuntungan mereka disamaratakan. Itu adalah pendapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hanbaliyah.

Rukun Ketiga: Pelafazhan Akad (Perjanjian)

Akad dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan. Berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

◆ Berakhirnya Syarikah Ini

Asal daripada syarikah ini adalah bentuk kerja sama usaha yang dibolehkan (bukan lazim). Masing-masing dari pihak yang bersekutu boleh membatalkan perjanjian, kapan saja dia kehendaki. Namun kalangan Malikiyah berbeda pendapat dalam hal itu. Mereka menyatakan bahwa kerja sama itu terlaksana dengan semata-mata adanya perjanjian. Kalau salah seorang ingin memberhentikan kerja sama tersebut, tidak begitu saja dapat dipenuhi. Dan bila ia ingin mengambil kembali hartanya, maka hal itu harus diputuskan oleh hakim. Kalau hakim melihat sudah selayaknya sahamnya dijual, maka segera dijual, bila tidak, maka ditunggu saat yang tepat untuk menjualnya.

Firman Allah Subhanahu Wata’ala,

فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

Artinya : “tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu… ” (QS. An-Nisa: 12)

Pendapat yang benar menurut kami adalah syarikah itu terlaksana dengan berjalannya usaha, dan itu terus berlangsung hingga modalnya selesai diputar. Yakni setelah modal tersebut diputar dan kembali menjadi uang kontan, agar dapat mencegah bahaya terhadap pihak lain atas terjadinya keputusan mendadak setelah usaha baru dimulai.

Dan satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari syarikah ini menurut para ulama fikih adalah penjaminan dan amanah Masing-masing dari pihak yang beraliansi menjadi penjamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil. Sementara itu sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang juga dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi keinginannya di bawah intimidasi. Demikian juga hukum asal dari sistem syarikah ini, karena syarikah ini juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan sponsorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam sistem perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu terputus dengan pembatalan dari salah satu pihak, maka hak- hak kepemilikan bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan

modal pihak lain juga hilang. Inilah hukum asalnya. Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari berbagai kaidah umum yang mana kalangan Malikiyah sendiri juga tidak membantahnya, sehingga pendapat mereka yang menyatakan bahwa syarikah itu berlangsung hanya dengan sekedar adanya transaksi saja menjadi perlu dicermati dan dipertanyakan.

Hanya saja terkadang kita mendapatkan berbagai pelajaran praktis di hadapan kita yang mendorong kita untuk kembali meneliti persoalan ini, dan memberikan pertimbangan dan sudut pandang terhadap pendapat Malikiyah. Dimisalkan syarikah itu telah dimulai. Masing-masing anggotanya telah mulai mempersiapkan dan mengatur segala sesuatunya. Modal telah mulai dikucurkan untuk membeli berbagai bahan dan kebutuhan dagang. Dan pada umumnya, untuk memulai usaha itu membutuhkan kerja keras, banyak tanggungan dan biaya yang besar sekali. Tiba-tiba salah seorang pihak yang bekerja sama secara mengejutkan menganggap bahwa pasangannya itu menghanguskan modal dalam sekejap dan menuntut

untuk berhenti dalam usaha tersebut dan meminta ganti rugi serta menerima kembali modalnya dan mengundurkan diri dari syarikah. Dan perbuatannya itu bagi pasangan bisnisnya adalah tindakan yang melumpuhkan bahkan menghancurkannya.

Bagaimana sikap fikih Islam terhadap kondisi semacam ini? Di sini fikih Malikiyah menunjukkan satu sinyal terang yang dapat menerangi jalan, namun tetap korektif dan lentur.

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa kerja sama itu harus berlangsung dengan sekedar adanya perjanjian. Ganti rugi modal itu persoalannya dikembalikan kepada hakim, dikiaskan dengan hutang. Namun mereka tidak menyatakan bahwa hutang bisa berlaku hanya dengan adanya perjanjian, namun dengan mulainya usaha yang merupakan sebab yang diperkirakan akan berbahaya bagi perjanjian. Hal itu seharusnya diberlakukan juga pada syarikah. Wallahu a’lam.

Syarikah berakhir dengan kematian salah satu pihak yang beraliansi, atau karena gila, idiot dan sejenisnya.

 

REFERENSI:

Rujukan kitab : fikih ekonomi islam

Ditulis oleh : prof. Dr. Shalat ash-Shawi dan prof. Dr. Abdullah al-mushlih

Diringkas : Salman agusfani, pengabdian ponpes darul quran wal hadits oku timur sumatra selatan.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.