Strategi Penerapan Pengajaran dan Pendidikan Islam
Pendidikan dan pengajaran sebenarnya merupakan salah satu komponen dakwah yang strategis. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun dalam melaksanankan amanah dakwahnya tidak pernah lepas dari kegiatan tarbiyah dan ta’lim tersebut.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) “(Dakwah) inilah jalanmu. Aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak kamu) menuju kepada Allah, berdasarkan bashirah (hujjah/ilmu yang jelas). Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf [12]: 108)
Dakwah berdasarkan bashirah artinya dengan acuan ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu pengetahun tentang syariat Allah. Dengan mengerti dan memahami syariat Allah inilah, dakwah dapat terlaksana secara baik. Agar seseorang da’i dapat melaksanakan dakwah berdasarkan bashirah, maka ia harus menguasai ilmu dan hukum syariat tentang apa sebenarnya yang didakwahkan, bagaimana cara berdakwah, dan seperti apa kondisi objek dakwah.[1]
Maka seseorang da’i tidak sekadar mengajak seseorang guna melakukan kegiatan tertentu yang menurut anggapannya termasuk ajaran Islam. Ia pun tidak menggunakan cara dakwah yang menurut anggapannya dibenarkan dalam Islam, padahal menyimpang dan salah menurut Islam.
Ia juga memahami objek dakwah yang membutuhkan bimbingan dan pelurusan. Ia tidak justru larut dalam kemauan objek dakwah yang notabene belum mengerti kebenaran, atau mengerti tetapi masih belum ada keinginan untuk mengikuti kebenaran. Jika ini dilakukan mengikuti keinginan objek dakwah berarti dakwahnya tak berdasarkan bashirah. Begitu pula dalam dunia pendidikan dan pengajaran.
Di sisi lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan salah satu macam tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dialah yang mengutus seorang Rasul (nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Quran) dan Hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah {62}: 2)
Artinya, Rasulullah mengajarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah, dan juga hikmah kepada para sahabat. Beliau tidak sekadar mengajarkan lafadz dan bunyi Al-Quran, tetapi beliau juga mengajarkan maknanya. Sebab, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS.An-Nahl [16]: 44)
Penjelasan Rasulullah terhadap al-Quran ini kepada umat dalam ayat ini mencakup penjelasan bacaan lafazh dan juga maknanya.[2]
Demikianlah, selanjutnya apabila seseorang dengan adil dan jujur memperhatikan Sejarah seluruh ulama sunnah dari generasi ke generasi, maka ia akan menemukan bahwa mereka selau menempuh pola-pola atau jalan yang sama atau serupa dalam menjalankan dakwah, yaitu selalu bedasarkan asas ilmu, belajar, dan mengajar. [3]
Bila asas ilmu, belajar, dan mengajar selalu dikembangkan secara benar, maka terwujudlah pola dakwah yang berdasarkan bashirah (kejelasan ilmu dan dalil). Jika demikian keadaan para ulama dalam berdakwah, maka demikian pula seyogyanya para pendidik dalam melaksanakan pendidikan.
Asas ilmu dalam berdakwah, begitu pula dalam Pendidikan dan pengajaran, dibangun berdasarkan tiga asas pokok, yaitu:
- Memahami kebenaran
- Mendakwahkan kebenaran
- Istiqamah dalam keadaan demikian[4]
Dari tiga asas tersebut, dapat disimpulkan ihwal adanya proses penjernihan ilmiah, hingga terpilah antara yang benar dengan yang salah, antara sunnah dan bid’ah, antara tauhid dengan syirik. Proses penjernihan ilmiah inilah yang disebut tashfiyah. Selanjutnya, supaya ada kemauan melaksanakan ilmu yang sudah dipahami secara benar, yang pada gilirannya timbul semangat dakwah serta sikap istiqomah, diperlukan proses tazkiyatun nufus (penyucian atau pembinaan jiwa). Jiwa yang suci adalah Jiwa yang bersedia mengamalkan kebenaran yang telah dipahaminya dan berusaha istiqamah di dalamnya. Hal ini dilakukan dengan proses tarbiyah.
Salah satu sosok ulama yang menonjolkan dalam masalah dakwah dan Pendidikan yang berpijak pada asas ilmu, yang kemudian oleh Syaikh Ali bin Hasan disebut asas Tashfiyah wat tarbiyah, adalah Ibnu Taimiyah. Beliau menjadikan asas ini menjadi fokus karena beliau secara pasti berkeyakinan bahwa asas ini merupakan pondasi pertama untuk membangun sebuah masyarakat mejemuk yang memiliki latar belakang keyakinan, adat istiadat, dan norma yang berbeda-beda.
Untuk membentuk sistem ini menjadi konkret dan mudah dipahami dalam kehidupan nyata, maka Ibnu taimiyah bekerja keras mensosialisasikan sistem tarbiyah yang sesuai as-Sunnah sebagai counter (kritik) terhadap system-sistem Pendidikan lain yang menyusup ke dalam Islam. Sistem yang banyak membuat fitnah (kerusakan) di tengah masyarakat muslim dan memecahkan-belahkan menjadi banyak gagasan serta pola-pola yang menyebabkan masyarakat saling menjauhi.[5]
Salah satu yang menunjukan betapa besar kepedulian beliau terhadap masalah tashfiyah dan tarbiyah ini adalah perkataanya: “Wajib hukumnya mengajarkan ilmu yang oleh Allah diperintahkan untuk mengajarkannya kepada anak-anak kaum muslimin, dan wajib mentarbiyah mereka untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya[6]
Jadi asas ilmu, belajar, dan mengajar akan berkembang melalui proses tashfiyah, yaitu penjernihan ilmiah. Sehingga pemahaman orang yang diajarkan menjadi benar.
Tazkiyah, yaitu penjernihan dan penyucian jiwa dari segala noda yang mengotorinya, adalah salah satu tugas pokok yang karenaNya Allah telah mengutus Rasul-Nya, nabi Muhammad, saat masarakat mengalamai fase vacuum (jeda kosong) dari para rasul.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu Seorang rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamua yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 151)
Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:
لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman Ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan Jiwa mereka. Dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhkan sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran [3]: 164)
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dialah Allah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari Kalangan mereka, membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah [62]: 2)
Tiga ayat di atas menjelaskan bahwasanya salah satu tugas pokok Rasulullahﷺ adalah membersihkan jiwa manusia. Proses pembersihan jiwa ini sangat penting dilakukan oleh setiap pendidik muslim, karena tanpa tindakan tazkiyatun nufus, proses pembelajaran ilmiah tidak akan banyak memberi manfaat, karena tazkiyatun nufus merupakan tugas seluruh nabi sebelumnya. Tetapi, tazkiyatun nufus ini tidak dapat terealisasikan tanpa dukungan tarbiyah.[7]
Tazkiyatun nufus itu sendiri harus dilakukan dengan benar sesuai denan tuntunan Rasulullah tidaklah benra dilakukan menurut rekayasa (pandangan )sendiri. Tidak ada amal-amal serta cara-cara tertentu untuk melakukan Tazkiyatun nufus selain syariat Islam.
Seluruh ajaran Islam yang meliputi Aqidah dan hukum, ujung-ujungnya kepenyucian jiwa, dan akan berakhir untuk tujuan takwa. Hingga dengan demikian jiwa manusia menjadi lurus baik secara individu, secara kelompok, maupun secara keseluruhan.[8]
Contoh secara konkret dari pada Tazkiyatun nufus adalah sebagai berikut.
Tauhid
Mentauhidkan Allah, hanya beribadah kepadaNya, dan sama sekali tidak berbuat syirik tergolong tazkiyatun nufus. Sebab dengan bertauhid berarti kita membersihkan hati dari kotoran syirik.
Justru tauhid yang intinya mempersembahkan peribadatan hanya kepada Allah saja ini merupakan penyucian jiwa yang paling besar, penting dan pokok. Sebab tauhid adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Orang yang bersih tauhidnya, berarti dia adalah orang yang bersih jiwa dan hatinya.
Lawan dari tauhid adalah syirik. Jika tauhid merupakan pembersih jiwa paling besar dan pokok, maka sebaliknya bahwa syirik adalah pengotor jiwa yang paling besar. Allah berfirman إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang musrik itu najis.” (QS At Taubah [9]: 28)
Imam Ibnu Katsir dan Asy-Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat diatas bukanlah Najis dalam arti fisik. Tetapi najis jiwa dan agamanya.
Jadi kemusyrikan itu kotoran jiwa. Alhasil jika orang ingin melakukan proses pembersihan jiwa, maka hal pertama dan utama yang harus dilakukannya adalah membersihkan tauhid pribadinya dari segala unsur kesyirikan, besar maupun kecil.
Wudhu
Wudhu termasuk proses penyucian jiwa pula. Dan secara fisik juga membersihkan anggota badan dari kotoran. Imam an-Nawawi di dalam Riyadhus Sholihin, membawakan satu ayat tentang keutamaan wudhu, yaitu firman-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan Kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh Perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih): sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah [5]:6)
Shalat
Shalat juga merupakan pembersihan jiwa. Sebab shalat dapat membersihkan hati, bahkan anggota badan dari perbuatan keji dan mungkar. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar….” (QS Al-Ankabut [29]: 45)
Sesungguhnya dalam shalat itu terkandung tiga unsur : Ikhlas, takut kepada Allah dan zikir serta mengingat Allah.
Shalat juga merupakan tali hubungan antara hamba dengan Allah. Pelakunya akan merasa malu jika menghadap Allah sedangkan ia dalam keadaan membawa dosa-dosa dan perilaku keji. [9] Di dalam sebuah hadist, Rasulullah menjelaskan tentang kekuatan shalat sebagai pembersih jiwa: “Terangkanlah kepadaku sekiranya di depan pintu rumah salah seorang di antara kalian terdapat Sungai (yang jernih), yang ia setiap hari mandi lima kali di dalamnya, apa yang kalian katakan? Apakah masih menyisakan kotoran pada dirinya?” para sahabat menjawab “Tidak akan menyisakan kotoran pada dirinya sedikitpun. “ Nabi bersabda: “Itulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[10]
Zakat dan Haji
Zakat dan haji merupakan rukun Islam juga mrupakan ibadah pembersih jiwa. Zakat ini akan membersihkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil, serta menyucikan jiwa dari dosa-dosa.
Pelaksanaan semua syariat Allah
Bahwa setiap amalan adalah tazkiyatun nufus. Begitulah tazkiyatun nufus dimaksudkan supaya hamba menjadi bertakwa dan menerapkan secra konsisten ilmu yang telah dipahaminnya dengan baik dan benar.
Referensi :
Pendidikan Islam basis Pembangunan Umat
Penulis : Ahmas Faiz Asifudin, Lc. MA
Diringkas oleh : Iis Rosmi Rojibah S.S. (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadist)
[1] LIhat al-Utsaimin, syarh Tsalatsati al-Ushul (hlm. 22).
[2][2] LIhat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir (hlm.35), Dar Al-Quran al-Karim – Beirut, tahqiq Dr. Adnan Zarzur, cet, III, 1399 H/1979 M
[3] LIhat Ali bin Hasan al-Halabi, at-Tashfiyyah wat Tarbiyyah wa Atsaruhuma (hlm.12)
[4] At Tashfiyyah wat Tarbiyah wa Atsuruhuma (hlm. 12)
[5] At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Atsaruhuma (hlm.14)
[6] Ibnu Taimiyah, majmu’ Fatawa (XI/hlm. 504
[7] Ali bin Hasan al-halabi, at-Tashfiyah wat tarbiyah wa Atsaruhuma (hlm. 109).
[8] Al-Hilali, manhaj al-Anbiya’ fi tazkiyati an nufus (hlm. 59)
[9] Al halali, manhaj al-Anbiya’ fi tazkiyati an-Nufus (hlm.63-64)
[10] Shahih al-Bukhari: Fathu al-Bari (II/11, no.528) dan shahih muslim: Syarh an Nawawi (V/174, no. 1520); atau shahih Muslim (no 582), nuakhah Mukharrajah ‘alabal kutub at-Tis’ah, Kitab “Mawaqit ash-shalah’, Bab “ash-Shalawat al-Khams Kaffarah”, Dar Ibni al-Jauzi – Kairo.
Baca juga artikel:
Leave a Reply