6 Landasan Utama Dakwah Salafiyyah

6 landasan utama dakwah salafiyah

6 Landasan Utama Dakwah Salafiyyah

Landasan pertama  bagian 1 : Mengikhlaskan Agama Kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

  1. Kedudukan Tauhid

Mengikhlaskan agama dan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wata’ala merupakan landasan utama dan pokok dari ajaran agama yang mulia ini. Ia merupakan inti tauhid yang dengan misi inilah Allah mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab, kepadanyalah para Nabi Alaihis Salam mengajak umat mereka mengumandangkan jihad, serta ini pula yang mereka perintahkan dan anjurkan kepada kaumnya untuk dilaksanakan.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

فاعبد الله مخلصاً له الدين. ألا لله الدين الخالصۚ

Artinya: “Maka beribadahlah kepada Allah dengan tulus ikhlas beragama kepadaNya. Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (Dari syirik)…” (QS. Azzumar(39): 2-3).

 

وما أمرُوٓا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الذين حنفَاء ويقيموا الصّلوة ويؤتوا الزّكوةۚ

Artinya: “Padahal mereka diperintah hanya beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata hanya menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan Zakat…” ( QS. Al-Bayyinah 98 : 5)

Allah Subhanahu Wata’ala berkata kepada Nabi-Nya:

قل الله أعْبد مخلصاً لّه دينی . فاعبدوا ماشئتم مّن دونهِۗ

Artinya: “Katakanlah: ‘Hanyalah Allah yang aku ibadahi dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) Agamaku. Maka, sembahlah selain Dia sesukamu! ( wahai orang-orang yang musyrik )…(QS. Az-Zumar 39: 14-15)

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

قلْ إنّ صلاتی ونسكی ومحيای ومماتی لله ربّ العٰلمين. لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أوّل المسلمين

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)’  ( QS. Al-An’am 6: 162-163).

 

Dengan demikian, status dan kedudukan tauhid adalah seperti sebuah bangunan. Imam Ibnul Qoyyim Subhanahu Wata’ala berkata: “Siapa yang hendak meninggikan bangunannya, ia berkewajiban untuk mengokohkan, memantapkan, dan sungguh-sungguh mencurahkan segala perhatiannya kepada fondasinya, karena ketinggian sebuah bangunan sangatlah bergantung pada kekuatan dan ketangguhan azaznya. Amal-amal kebaikan dan tingkatan-tingkatannya itu ibarat badan suatu bangunan, sedangkan keimanan adalah sebagai asas dan fondasinya.”

Orang yang cerdas, tentu perhatiannya terfokus pada pembenahan dan pengukuhan fondasi. Sedangkan orang yang bodoh, dia akan terus saja meninggikan bangunannya meskipun dengan tanpa fondasinya, sehingga dengan serta merta bangunannya akan Roboh.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

أفمنْ أسّس بنيٰنه علی شفا جرفٍ هارٍ فانهار به في نار جهنّمۗ

Artinya: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan(masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan itu roboh bersama dengan dia ke dalam jahannam…? ( QS. Attaubah 9: 109).

Ayat ini di turunkan kepada orang-orang munafik yang mendirikan sebuah masjid untuk mendirikan shalat di dalamnya. Akan tetapi, karena mereka mengerjakan amalan yang mulia dan utama ini tanpa ada sedikit pun rasa ikhlas, maka amal itu tidak bermanfaat bagi mereka sama sekali, bahkan bangunan itu jatuh bersama mereka ke dalam Neraka jahanam sebagaimana yang di sebutkan pada ayat di atas.

Imam ibnu al-Jauziyyah melanjutkan dengan mengatakan: “Azas ini mencakup dua hal:

  1. Pengenalan seseorang tentang Allah perintahnya, nama-namanya, dan sifat-sifatnya secara benar
  2. Pemurnian kepatuhan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya tidak kepada selainNya.

Inilah fondasi yang paling kokoh bagi seorang hamba yang mendirikan bangunan si atasnya, tinggi bangunan yang dikehendakinya tergantung pada asas ini. Maka itu, perkuat asas, pelihara kekuatannya, dan terus mengawasinya.

Kedudukan tauhid ibarat akar pohon. Dibawah sebuah bahasa dengan judul “Pohon keikhlasan”, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: ” Setahun ibarat sebatang pohon, bulan-bulan panjang sebagai rantingnya, jam-jam sebagai daunnya. Barang siapa hembusan-hembusan nafasnya selalu dalam ketaatan pada Allah Subhanahu Wata’ala niscaya pohon tersebut akan menghasilkan buah yang baik, dan siapa yang hembusan-hembusan nafasnya dalam kemaksiatan, niscaya akan menghasilkan buah yang pahit. Sedang musim panen itu hanya pada hari kiamat. Maka di saat itulah, akan tampak dengan jelas buah yang manis dari buah yang pahit.”

Keikhlasan dan tauhid ibarat sebuah pohon yang tumbuh dalam hati. Cabang-cabangnya adalah amal perbuatan, dan buahnya adalah kedamaian yang di rasakan oleh kehidupan di dunia ini serta kenikmatan yang kekal di akhirat kelak. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan pernah terputus dan terlarang, demikian pula halnya “buah” keikhlasan dan tauhid di dunia ini tidak akan terputus dan terlarang.

Kesyirikan, dusta, dan riya juga ibarat sebatang pohon yang tumbuh dalam hati manusia. Buahnya di dunia adalah ketakutan, kekhawatiran, kebingungan, dan kesempitan yang dirasakan di dalam dada serta kegelapan yang menimpa hati. Sedangkan buahnya di akhirat kelak adalah buah zaqqum( yaitu sebatang pohon yang tumbuh fi dasar Neraka) dan adzab yang kekal. ( Lihat al-fawaaid karya Ibnul Qoyyim, hal.204).

Allah telah menyebutkan kedua pohon ini dalam surah Ibrahim, yang artinya: “Tidaklah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya( menjulang ) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabbnya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah di cabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap(tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang telah teguh (dalam kehidupan) didunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (QS.Ibrahim 14: 24۔27)

Pada ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwasanya seala upaya perbaikan dimulai dengan memperbaiki tauhid dan berakhir(juga) dengan memperbaiki tauhid serta mengonsentrasikan perhatian terhadap tauhid selama upaya itu di lakukan sejak awal hingga akhir.

Apabila kedudukan tauhid bagaikan fondasi sebuah bangunan atau akar sebatang pohon, maka masalah pertama yang di jumpai ketika membuka mushaf Al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala:

يأيهاالنّاس اعْبدوا ربّكم الذی خلقكم والذين من قبلكم لعلّكم تتّقون

Artinya: “Wahai manusia! Beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” ( QS. Al-baqorah 2: 21)

 

Setelah perintah untuk beribadah dan bertauhid hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala dilanjutkan dengan larangan mengerjakan kesyirikan yang merupakan lawan dari tauhid. Yaitu firman Allah Subhanahu Wata’ala:

فلا تجعلوالله أندادًا وأنتم تعلمون

Artinya: Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2: 22).

Perkara ini adalah sesuatu yang penting untuk diketahui. Karena Allah Subhanahu Wata’ala tidak hanya memerintahkan kita saja, tetapi Dia juga melarang kita dari segala yang bisa membatalkan peribadahan tersebut, yaitu beribadah kepada selainNya.

 

Bersambung…

 

REFERENSI:

Diringkas oleh Budianto Staf pondok pesantren Darul Qur’an Wal Hadits Ogan komering Ulu timur)

Sumber Pustaka imam Asy-Syafi’i Karya ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramafhani, judul asli sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, Cetakan kelima Rajab 1438 H/ April 2017 M.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.